Berkaitan Fakta Prabowo, Ini Harusnya yang Dilakukan Agum Gumelar

Berkaitan fakta Prabowo melakukan penculikan aktivis, ini harusnya yang dilakukan Agum Gumelar.
Agum Gumelar (kiri) dan Ganjar Pranowo (kanan) menghadiri haul ke-9 Gus Dur di kediaman keluarga Gus Dur di Ciganjur Jakarta. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

Jakarta, (Tagar 13/3/2019) - Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Agum Gumelar memberikan kesaksian ihwal sidang pemecatan Prabowo Subianto dari dinas militer. Agum menegaskan, bahwa Prabowo telah melakukan pelanggaran HAM berat sehingga ia dipecat dari tentara.

Dalam catatan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, Agum Gumelar baru membocorkan peristiwa pembunuhan aktivis 1998 untuk kali pertama ke publik. Fakta mengenai kasus ini, dikatakan Usman, semestinya berada dalam lingkup penyelidikan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dan bersifat internal, terbatas pada lingkungan militer yang ketika itu masih bernama ABRI.

“Jika ingin dibuka, maka sebaiknya dilakukan secara resmi agar memberikan manfaat yang positif bagi upaya pengusutan perkara kemanusiaan yang penting ini,” ucapnya dalam pesan singkat pada Tagar News, Selasa (12/3) malam.

Menurut Usman, dalam kapasitas resminya sebagai anggota Wantimpres, seharusnya besan mantan atlet nasional Taufik Hidayat dapat memberi pertimbangan langsung kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi, untuk kemudian orang nomor satu di Indonesia itu dapat memerintahkan Panglima TNI bersama Menteri Pertahanan untuk menyodorkan dokumen terkait peristiwa HAM 1998 kepada Presiden sesuai hukum yang berlaku.

“Hal itu dilakukan, demi menjaga nama baik TNI dan juga pemerintah secara umum,” ujarnya.

Lebih lanjut Usman menjelaskan, langkah selanjutnya adalah, Presiden dapat langsung memanggil Komnas HAM dan Jaksa Agung untuk menerima dokumen laporan DKP.

“Dokumen ini penting karena selama ini Jaksa Agung selalu beralasan tidak cukup bukti untuk bisa meningkatkan penyelidikan Komnas HAM ke fase penyidikan. Dengan hasil DKP tersebut diserahkan kepada Komnas HAM dan atau Jaksa Agung, maka semestinya polemik di kedua lembaga tersebut dapat menemukan solusi,” paparnya.

Untuk membantu kelancaran tugas-tugas Jaksa Agung, menurut Usman, Presiden selanjutnya dapat segera menerbitkan Keppres tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Sebab, telah sesuai dengan rekomendasi DPR-RI pada tahun 2009 yang justru tidak dilanjutkan oleh rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala menjadi Presiden RI.

“Yang antara lain, menyarankan pembentukan pengadilan dan pencarian kejelasan nasib dan keberadaan korban HAM 1998 yang masih hilang,” tandasnya

“Dokumen DKP akan sangat membantu para petinggi lembaga negara yang berniat untuk menyelesaikan perkara ini. Jadi, tanpa membawa dokumen tersebut ke jalur yang seharusnya, dan hanya membukanya di media, maka terkesan itu hanya langkah politik elektoral jelang pemilihan presiden, ketimbang langkah baik untuk menyelesaikan perkara penculikan dan penghilangan aktivis,” tutup Usman. []

Baca juga:

Berita terkait