Kenapa Kasus Pelanggaran HAM Prabowo Berhenti di Tengah Jalan?

Uman Hamid tuntut Prabowo pertanggungjawaban pelanggaran HAM berat.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

Jakarta, (Tagar 12/3/2019) - Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra disebut-sebut masih punya 'PR' terkait kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Menurut catatan penyelidikan Komisi Nasional (Komnas) HAM, Prabowo terlibat dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM kategori berat, dan salah satunya kasus penculikan aktivis 1997-1998.

Namun, hasil penyelidikan Komnas HAM yang bersifat publik dan projustitia ini mandeg. Padahal, menurut Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, hasilnya wajib dilanjutkan dengan penyelidikan ad hoc oleh Jaksa Agung.

"Hasil penyelidikan Komnas HAM lebih bersifat publik dan projustitia. Hasilnya wajib dilanjutkan dengan penyidikan ad hoc oleh Jaksa Agung," jelas dia saat dihubungi Tagar News, Senin (11/3).

"Dan jika ditemukan bukti yuridis yang memadai, maka itu wajib dilanjutkan dengan penuntutan ad hoc oleh Jaksa Agung. Untuk hal ini, Presiden dan DPR perlu duduk bersama untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc," sambungnya.

Sanksi administratif sebenarnya telah dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang beranggotakan jenderal-jenderal senior yaitu Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo sebagai ketua dan enam anggota berpangkat Letnan Jenderal, yaitu Djamari Chaniago, Fachrul, Yusuf Kartanegara, Agum Gumelar, Arie J. Kumaat, dan Susilo Bambang Yudhoyono, pada Prabowo Subianto pada Agustus 1998.

Kala itu, Prabowo Subianto yang merupakan Letnan Jenderal Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) diberikan sanksi pemberhentian dinas militer. Sebab, sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Prabowo dinilai melakukan kesalahan salah satunya menggerakkan pasukan tanpa sepengetahuan atasan yakni penculikan aktivis 1997-1998.

Memang, sanksi dari penyelidikan DKP diakuinya kebih dari cukup sebagai bukti pertanggungjabawan Prabowo. Tapi, itu bersifat internal bukan eksternal. Menurut Usman, seharusnya ada juga pertanggungjabawan secara eksternal yakni melalui pengadilan.

"Semestinya bisa sampai ke pertanggungjawaban eksternal melalui pengadilan sehingga pembuktian salah tidaknya ditentukan oleh bukti-bukti yuridis, pembelaan diri, dan vonis hakim. Sayangnya itu tidak pernah terjadi," terang dia.

Sebab, hasil pengadilan DKP tidak membuat keluarga korban puas. Hingga kini belum ada kepastian dari pemerintah mengenai nasib korban penculikan 1997-1998 itu. Keluarga dari korban masih bertanya-tanya, kemanakah keluarga mereka yang hilang satu per satu tersebut.

"Mereka tidak diberitahukan oleh negara di mana sebenarnya mereka yang masih hilang. Bukan hanya di mana, tapi kejelasan dari nasib mereka seperti apa, hidup atau mati. Jika mati, di mana mereka dikuburnya," tegas dia.

Pegiat HAM ini, sebenarnya tidak peduli dengan Prabowo Subianto yang mencalonkan diri sebagai presiden. Baginya, yang paling penting adalah pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM berat, termasuk penghilangan paksa aktivis 1997-1998.

"Saya hanya menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM berat, termasuk penghilangan paksa 1997-1998, saya tidak berhak untuk mendukung atau menghalangi siapa pun, termasuk Prabowo untuk dapat atau tidak mencalonkan diri di pemilihan umum untuk presiden," tukas dia. []

Berita terkait
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.