Benarkah Indonesia Dijajah Belanda Selama 350 Tahun?

Indonesia genap 74 tahun pada 17 Agustus 2019. Buku sejarah sejak awal menyebutkan Tanah Air ini dijajah Belanda selama 350 tahun. Benarkah?
Lomba panjat pinang kolosal dalam rangka HUT ke-73 Kemerdekaan RI di Pantai Karnaval, Ancol, Jakarta, 18 Agustus 2018. (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga).

Jakarta - Kemerdekaan Indonesia genap berusia 74 tahun pada 17 Agustus 2019. Pada awalnya negeri di garis khatulistiwa ini merupakan bentangan wilayah terpisah, terdiri dari kerajaan dan kesultanan yang pernah mengalami penjajahan dari negara-negara kolonial.

Yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini adalah perihal lamanya waktu penjajahan atas wilayah-wilayah di nusantara, sebelum akhirnya sepakat menggabungkan diri menjadi sebuah negara bernama Indonesia.

Tagar mewawancarai sejumlah warga masyarakat rentang usia pelajar hingga generasi tua. Hasilnya, rata-rata menyebut Indonesia dijajah selama 350 tahun oleh Belanda, dan 3,5 tahun oleh Jepang. Benarkah?

Menurut catatan sejarah, pernyataan 'Indonesia dijajah selama 350 tahun' pertama kali disampaikan Presiden ke-1 Republik Indonesia Soekarno, dalam pidato pada 1950.

Namun, menurut G.J. Resink, seorang akademisi Universitas Indonesia berdarah Belanda, melalui buku berjudul Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory, mengatakan, Soekarno menyebut angka tersebut hanya sebagai "dramatisasi politik" untuk membakar semangat rakyat Indonesia. Sebab, dalam kenyataannya tidak seluruh wilayah takluk oleh pendudukan kolonial. Perlawanan rakyat di Aceh bahkan disebut terus bergulir hingga tahun 1942.

Pengertian kalimat 'Indonesia dijajah 350 tahun' dianggap sebagai sebuah kesalahan oleh Etnolog Inggris James Richardson Logan. Melalui artikel  Ethnology of the India Archipelago yang dimuat di The Journal of Indian Archipelago and East Asian Edisi IV, Logan mengatakan nama Indonesia baru disebut oleh kalangan ilmuwan pada tahun 1850.

Wilayah Indonesia sebelum tahun 1945 dikenal dengan sebutan Hindia Belanda, yang berarti Indianya Belanda, atau India jajahan Belanda. Sebutan itu sebagai pembeda antara Hindia Barat atau India yang menjadi jajahan Inggris.

***

Sebelum sebutan Hindia Belanda dikenal, wilayah-wilayah itu juga telah memiliki sebutan masing-masing sebagai daerah atau otoritas kerajaan-kerajaan semisal Mataram, Bali, Sunda, Gowa, Pajajaran, Andalas, Melayu, Pagaruyung, Banten dan lain-lain.

Fakta lain terkait kalimat 'Indonesia dijajah 350 tahun' diungkap oleh seorang sejarawan bernama Handijo dalam artikel berjudul 'Omong Kosong 350 Tahun', yang dia tulis dan dimuat di situs arsipindonesia.com.

Menurut penemuannya, angka 350 tahun keluar pertama kali dari mulut seorang Gubernur Hindia Belanda bernama Bonifacius Cornelis de Jonge (1931-1936). Mulanya, sekitar pertengahan tahun 1930-an, sang gubernur memberikan keterangan pers bahwa sebuah Hindia Belanda yang merdeka masih jauh dari kenyataan.

"Kami sudah ada di sini sejak hampir 350 tahun yang lalu, dan kami akan tetap di sini sampai 300 tahun kemudian," ujar Bonifacius, dalam artikel Handijo.

Sejarah mencatat, pertama kali armada Belanda menjejakkan kaki di tanah nusantara adalah pimpinan Cornelis de Houtman pada 22 Juli 1596, atau Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwijck pada 1 Mei 1598. Jika dihitung dari waktu kedatangan tersebut, pernyataan Bonifacius jelas merupakan sebuah kesalahan.

Tak hanya itu, kesalahan menjadi berlipat dua lantaran faktanya, kedatangan Cornelis de Houtman, tau Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwijck melalui Pelabuhan Banten kala itu, hanyalah untuk berbisnis semata dan bukan dalam rangka untuk menjajah atau menguasai wilayah.

***

Soal usaha penjajahan, armada Portugis justru telah berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511. Portugis kemudian mulai memasuki wilayah Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku, untuk memburu 'mutiara dari timur', yakni rempah-rempah yang ada di kepulauan tersebut.

Penyair Portugal Luis vaz de Camoes bahkan tercatat pernah membahas perihal rempah-rempah di Ternate dan Tidore, dalam satu karya puisi epiknya yang berjudul The Lusiads pada tahun 1572.

"Lihatlah, betapa laut-laut di Timur ditebari pulau-pulau tidak terkira banyaknya. Tengoklah Tidore lalu Ternate dengan puncak gunung yang membara dan meluncurkan api. Pandanglah kebun-kebun cengkeh yang panas. Dibeli oleh Portugis dengan darah mereka. Dan burung cenderawasih yang terbang tidak pernah melangit. Tetapi jatuh ke bumi ketika mereka berhenti terbang," Luis vaz de Cam-cs. The Lusiads (1572). Canto. 132.

Setahun kedatangan Portugis di Maluku, langsung mendapat perlawanan seorang pemuka masyarakat yang bernama Pate Kadir (Katir). Pate Kadir merupakan tokoh masyarakat (kepala suku) Jawa yang ada di Malaka. Tahun 1513 pasukan Demak berkekuatan 100 perahu dan ribuan prajurit juga mulai melancarkan serangan ke Malaka.

Portugis sudah memasuki wilayah Kepulauan Nusantara tahun 1511, kemudian sampai ke Maluku tahun 1521. Begitu juga Spanyol memasuki Maluku pada tahun 1521. Tetapi Belanda datang ke wilayah Nusantara baru pada tahun 1596.

Sementara itu, orang-orang Inggris juga sampai ke Indonesia pertama kali tahun 1579, dipimpin oleh Francis Drake dan Thomas Cavendish. Inggris tercatat membentuk beberapa kantor dagang dari kongsi dagang East India Company (EIC) di Indonesia pada tahun 1604, misalnya di Ambon, Makasar, Jepara, Jayakarta.

***

Deretan catatan tersebut, meluluh-lantakkan bukan hanya argumen tentang lamanya waktu sejak kehadiran armada Belanda di Indonesia sampai tahun 1930an yang ternyata belum genap 350 tahun seperti yang dikemukakan Bonifacius, namun juga menguak fakta tentang bukan hanya Belanda dan Jepang saja yang pernah datang dan berusaha menguasai nusantara, melainkan ada juga negara kolonial lain semisal Portugis, Spanyol dan Inggris.

Soekarno adalah tokoh yang paling mengerti dan pandai menggunakan sejarah sebagai bagian konstruksi nasionalisme politik yang biasa disebut mitos kebangsaan.

Jepang sendiri datang paling akhir, di era jelang kelahiran Indonesia sebagai negara baru yang merdeka. Yakni pada tahun 1942 kala pasukan pesawat tempur mereka berhasil menghantam pelabuhan vital Pearl Harbour milik Amerika.

Pendudukan dan penjajahan, baik oleh tentara maupun perusahaan dagang Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda, selalu mendapat perlawanan dari masyarakat pribumi. Sejumlah titik hampir selalu ada pergolakan perlawanan baik dari kerajaan-kerajaan maupun sekelompok masyarakat biasa.

Pergolakan tersebut banyak yang pada akhirnya meningkat menjadi peperangan. Diantaranya ada kerajaan Aceh yang melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka, perang antara tentara Sultan Agung dari Mataram, di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa yang menyerang VOC di Batavia, pertempuran Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC di Banten, hingga perlawanan Pangeran Nuku dari Tidore bersama rakyat Maluku, melawan kekejaman kompeni Belanda.

Perlawanan kemudian dikenal dengan nama populer semisal Perang Tondano, Perang Pattimura, Perang Padri, Perang Banjar, Perang Batak dan Perang Bali.

Selain banyak wilayah yang menolak tunduk kepada dominasi kolonial, di Nusantara juga terdapat satu daerah yang sama sekali tidak tersentuh oleh jajahan kolonial, yakni kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara.

***

Peristiwa pengeboman Pearl Harbour pada tahun 1941, menunjukkan kemenangan Jepang terhadap Sekutu pada PD II dalam peristiwa Perang Pasifik. Kemenangan itu membuka jalan bagi Jepang untuk memasuki negara di Asia, termasuk Indonesia.

Pada Januari 1942, Jepang mendarat dan memasuki Indonesia. Tentara Jepang ini masuk ke Indonesia melalui Ambon dan menguasai seluruh Maluku. Meskipun pasukan KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger) dan pasukan Australia berusaha menghalangi, tapi kekuatan Jepang tidak dapat dibendung.

Daerah Tarakan di Kalimantan Timur kemudian dikuasai oleh Jepang bersamaan dengan Balikpapan (12 Januari 1942). Jepang kemudian menyerang Sumatra setelah berhasil memasuki Pontianak. Bersamaan dengan itu Jepang juga melakukanm serangan ke Jawa (Februari 1942).

Pada tanggal 1 Maret 1942, kemenangan tentara Jepang dalam Perang Pasifik menunjukkan kemampuan Jepang dalam mengontrol wilayah yang sangat luas, yaitu dari Burma sampai Pulau Wake di Samudra Pasifik. Setelah daerah-daerah di luar Jawa dikuasai, Jepang memusatkan perhatiannya untuk menguasai tanah Jawa sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda.

Sewaktu awal pendudukan Jepang di Indonesia, mereka melakukan pembentukan Pemerintahan Militer dan Pemerintahan Sipil, di hampir seluruh wilayah di Nusantara. Pemerintahan militer Angkatan Darat, yaitu Tentara Kedua Puluh Lima (Tomi Shudan) untuk Sumatra. Pusatnya di Bukittinggi.

Pemerintahan militer Angkatan Darat, yaitu Tentara Keenam Belas (Asamu Shudan) untuk Jawa dan Madura. Pusatnya di Jakarta. Kekuatan pemerintah militer ini kemudian ditambah dengan Angkatan Laut (Dai Ni Nankenkantai). Pemerintahan militer Angkatan Laut, yaitu (Armada Selatan Kedua) untuk daerah Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pusatnya di Makassar.

***

Pada era pendudukan Jepang, sejumlah organisasi diizinkan untuk dibentuk. Dari organisasi sosial, pendidikan, kesehatan, keagamaan, hingga organisasi militer dan semi militer.

Diantaranya ada Gerakan Tiga A, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Majelis Syura Muslimin (Masyumi), Hizbullah, Barisan Pelopor, hingga  Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang menjadi embrio Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Badan Keamanan Rakyat (BKR) hingga kemudian menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang kini telah berubah nama menjadi tentara Nasional Indonesia (TNI), setelah pemisahan dari angkatan kepolisian.

Jepang kemudian mengaku kalah tanpa syarat kepada tentara sekutu, setelah  Hiroshima dan Nagasaki, dua kota di Negeri Matahari Terbit itu hancur lebur di bom atom oleh Amerika Serikat pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Menyusul kekalahan Jepang, Indonesia memerdekakan diri melalui proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Terkait kesalahpahaman masyarakat terhadap pengetahuan soal lamanya waktu penjajahan di Indonesia, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menegaskan bahwa kesalahan bisa saja terjadi dari kurikulum pelajaran sejarah yang pernah diajarkan di sekolah-sekolah.

Pihaknya bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengaku sangat terbuka jika memang kesalahan ada pada kurikulum yang diajarkan di sekolahan. Namun, usaha pelurusan sejarah harus berasal dari kalangan yang benar-benar memahami sejarah itu sendiri.

"Masyarakat ini kan saya kira pengetahuannya dari sekolah, kemudian referensi-referensi kita seperti itu menyebutkannya. Bagaimana kalau referensi kita, sumber pengetahuan kita tentang sejarah seperti itu?," kata Abdul Fikri Faqih, kepada Tagar, di gedung DPR RI, Senayan Jakarta Pusat, Senin 24 Juni 2019.

"Saya kira sejarah itu, harus ada yang bisa meluruskan. Tentu harus seorang pakar sejarah. Kalau dulu kan, menterinya ahli sejarah ya, Bapak Nugroho Notosusanto. Disamping dia pakar, tetapi kementerian itu juga konsern terhadap hal itu. Tetapi, kalau ada masukan lain atau apa, kita terbuka lah," kata dia menegaskan.

***

Sementara sejarawan JJ Rizal mengatakan, tidak bijak jika mencari siapa yang paling berdosa dalam kesalahpahaman sejarah '350 tahun Indonesia Dijajah'. Menurutnya, akan lebih elok jika manusia masa kini mengambil hikmah soal bagaimana sejarah digunakan Bung Karno.

Bahkan pada 1950, GJ Resink sudah membongkar mitos itu melalui esai-esainya, yang kemudian diterbitkan menjadi buku, (yang) kemudian diterjemahkan oleh Penerbit Djambatan menjadi 'Negara dan kerajaan yang merdeka di Indonesia'. Kemudian lagi diterbitkan ulang oleh Penerbit Komunitas Bambu dengan judul baru 'Bukan 350 Tahun Dijajah'," ujarnya.

"Padahal justru dengan mengoreksi ulang, artinya memberi interpretasi ulang atas soal 350 tahun dijajah itu, akan dapat wawasan baru dan hikmah sejarah. Misalnya dengan bukti bahwa tidak ada kawasan Indonesia yang dijajah 350 tahun. Kalau pun ada 300 tahun maka hanya dua yaitu Batavia dan Ambon. Aceh 1905 baru takluk, Minang 1837, Batak 1907 dan Jawa kolonialisme benar-benar terasa dalam arti penguasaan pada Abad 19," ujar dia.

"Jadi harusnya bukan siapa yang paling berdosa di sini. Tetapi, bagaimana sejarah dimanfaatkan. Soekarno adalah tokoh yang paling mengerti dan pandai menggunakan sejarah sebagai bagian konstruksi nasionalisme politik yang biasa disebut mitos kebangsaan itu. Tetapi, Soekarno sendiri menyadari bahwa mitos kebangsaan terkait '350 tahun' ada umurnya (lifetime), sebatas menghadapi comeback-nya Belanda dengan Sekutu," kata JJ Rizal melalui wawancara tertulis dengan Tagar, Selasa, 25 Juni 2019.

"Bahkan pada 1950, GJ Resink sudah membongkar mitos itu melalui esai-esainya, yang kemudian diterbitkan menjadi buku 'Indonesia Between Myths', (yang) kemudian diterjemahkan oleh Penerbit Djambatan menjadi 'Negara dan kerajaan yang merdeka di Indonesia'. Kemudian lagi diterbitkan ulang oleh Penerbit Komunitas Bambu dengan judul baru 'Bukan 350 Tahun Dijajah'," ujarnya.

***

Kalau kemudian ada pernyataan 'sejarah yang benar sejarah masa kini' yang artinya tiap generasi harus menulis ulang sejarahnya, kata Rizal, maka sejarah dalam periode panjang Soekarno digulingkan tidak pernah ada koreksi, dan justru semakin dikampanyekan dengan masuk ke dalam kurikulum.

"Padahal justru dengan mengoreksi ulang, artinya memberi interpretasi ulang atas soal 350 tahun dijajah itu, akan dapat wawasan baru dan hikmah sejarah. Misalnya dengan bukti bahwa tidak ada kawasan Indonesia yang dijajah 350 tahun. Kalau pun ada 300 tahun maka hanya dua yaitu Batavia dan Ambon. Aceh 1905 baru takhluk, Minang 1837, Batak 1907 dan Jawa kolonialisme benar-benar terasa dalam arti penguasaan pada Abad 19," ujar dia.

"Dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Nusantara tidak selemah yang mudah ditaklukkan Belanda. Mereka punya kekuatan otot juga otak, pandai berperang juga berdiplomasi. Indonesia bukan bangsa yang lemah," kata Rizal. []

Baca juga:

Berita terkait
Indonesia dan 20 Negara Merdeka Bulan Agustus
Selain Indonesia, ada 20 negara yang merayakan hari kemerdekaan di bulan Agustus. Apa saja negara itu?
Sambut Hari Kemerdekaan, Dapur Bantaeng Siapkan Kejutan
Dapur Bantaeng menyiapkan menu spesial, khusus untuk menyambut hari kemerdekaan Indonesia. Variasi makanan yang disiapkan mampu menggugah selera.
Video: Momen Unik Lomba di Hari Kemerdekaan
Berbagai kegiatan lomba dikemas dengan cara yang unik, lucu, dan menghibur. Berikut ini momen-momen yang terjadi pada perlombaan 17 Agustus.