Jakarta - Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan kasasi atas vonis bebas terhadap Sofyan Basir sudah tepat. Komisi antirasuah mesti melakukan perlawanan terhadap vonis yang terbilang mengejutkan itu. Bebasnya Sofyan tentu menimbulkan tanda tanya mengingat sejumlah tersangka yang terlibat kasus ini sudah lebih dulu divonis bersalah.
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin, 4 November 2019, memvonis bebas mantan direktur utama Perusahaan Listrik Negara itu. Ketua Majelis Hakim, Hariono, menyatakan Sofyan tak terbukti terlibat kasus suap Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1.
Vonis bebas terhadap tuntutan KPK termasuk langka. Selama ini hampir seluruh terdakwa koruptor yang diajukan KPK ke meja hijau berakhir dengan masuk bui. Dari ratusan tersangka yang diajukan KPK, sejauh ini tak lebih dari tiga terdakwa yang lolos. Dalam persidangan yang berlangsung terbuka, publik bisa menyaksikan bagaimana bukti-bukti yang disodorkan KPK membuat terdakwa tak berkutik.
Sofyan didakwa korupsi dalam kasus Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 yang rencananya beroperasi pada 2024. Jaksa menyebut pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo telah mengucurkan dana miliaran rupiah demi mendapat proyek ini. Di antaranya menggelontorkan Rp 4,6 miliar untuk mantan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih yang bersama Plt Ketua Umum Golkar saat itu, Idrus Marham, melobi PLN.
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menyebut Sofyan diduga telah menunjuk Johannes Kotjo secara sepihak mengerjakan pembangunan PLTU Riau-1. Penunjukkan dilakukan sebelum terbitnya Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikkan yang menugaskan PLN membangun infrastruktur ketenagalistrikan.
Hakim telah memvonis Eny, politikus Golkar, 6 tahun penjara dan Johannes Kotjo 2 tahun 6 bulan penjara. Hukuman Johannes pada tingkat banding naik menjadi 4,5 tahun penjara. Adapun Idrus, yang saat ditetapkan jadi tersangka menjabat menteri sosial, divonis 3 tahun penjara yang kemudian di tingkat banding naik menjadi lima tahun penjara. Menurut jaksa, Idrus menerima fulus Rp 2,2 miliar dari Johannes Kotjo.
Dari sisi logika, sulit membantah bahwa Sofyan, misalnya, tak mengetahui kongkalikong proyek ini. KPK menunjukkan sejumlah bukti adanya pertemuan-pertemuan antara Sofyan, Johannes Kotjo, Idrus, dan Eny. Pertemuan itu, antara lain, berlangsung di Hotel Fairmont, Jakarta. Menurut jaksa, Sofyan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan melakukan kejahatan dengan memfasilitasi Eni, Idrus, Johannes Kotjo, dan direksi PLN.
Atas dasar itulah Jaksa KPK menuntut Sofyan hukuman lima tahun penjara karena melanggar Pasal 12 b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu, juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Pasal ini, selain mengatur soal gratifikasi, juga menghukum pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal hadiah atau janji tersebut diberikan karena adanya kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan yang dimilikinya. Dengan bukti dan konstruksi pasal itu, lolosnya Sofyan dari jerat hukum, sementara yang lain masuk bui, cukup mengejutkan.
Vonis hakim memang belum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Sistem peradilan memberi kesempatan KPK untuk membuktikan bahwa Sofyan Basir memang terlibat kejahatan itu. Kita mengharap Komisi antirasuh menyodorkan bukti-bukti telak keterlibatan Sofyan dalam memori kasasinya. []
Penulis: pengamat hukum