Bagaimana China dan Corona Pengaruhi Ekonomi RI

Tidak bisa dipungkiri saat ini China menjadi kekuatan ekonomi dunia, dengan cadangan devisa mencapai 3.168 miliar dolar AS.
Anggota staf kesehatan dengan pasien di Wuhan, China. (Foto: businessinsider.sg/THE CENTRAL HOSPITAL OF WUHAN VIA WEIBO/via REUTERS)

Jakarta - Tidak bisa dipungkiri, saat ini China telah menjadi kekuatan utama ekonomi dunia. Data Bank Dunia pada 2018 menyebutkan bahwa Negeri Tirai Bambu itu disebut-sebut memiliki cadangan devisa terbesar di dunia dengan 3.168 miliar dolar AS. Sementara Amerika Serikat yang mengklaim sebagai negara adi daya (super power), hanya menempati urutan keenam dengan 449 miliar dolar AS.

Artinya, China saat ini merupakan negara paling kaya di seantero bumi menurut simpanan kekayaan. Hal tersebut jelas memberikan perspektif singkat bahwa Tiongkok memainkan peranan penting dalam perekonomian dunia, khususnya dari sisi perdagangan.

Apa pengaruhnya terhadap Indonesia?

Lantas, apa pengaruhnya terhadap Indonesia? Kemudian, bagaimana pula pandemi corona COVID-19 dapat mempengaruhi aktivitas makro ekonomi di dalam negeri?

Penjabaran paling umum bisa dilihat dari kondisi industri manufaktur di negara Asia Timur itu. Sebagai informasi, hampir seluruh perusahaan top dunia yang memiliki kapasitas produksi massal pasti berkitan dengan industri di China. Entah itu pendirian pabrik secara komprehensif atau sekedar mengambil komponen bahan baku tertentu.

Pertumbuhan Ekonomi IndonesiaKendaraan melaju di antara gedung bertingkat di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis, 14 November 2019. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 5 persen pada 2019 yang disebabkan oleh pelemahan permintaan global dan meningkatnya ketidakpastian perang dagang Amerika Serikat dengan Cina. (Foto: Antara/Aprillio Akbar)

Ketergantungan industri dunia pada Tiongkok sangat besar. Sebagai contoh, China menjadi negara utama pemasok kebutuhan komponen elektronik AS untuk produk telepon seluler. Apabila negara ini mengalami guncangan (shocking), seperti Covid-19, maka akan menimbulkan gangguan terhadap rantai pasok bahan baku produk industri Amerika Serikat.

Hal ini tentu saja akan membawa dampak buruk bagi kinerja manufaktur AS karena tidak bisa menghasilkan barang produksi. Apabila hal tersebut berlanjut, maka dapat mengancam industri eksisting di Amerika yang berimbas pada sektor tenaga kerja. Inilah yang disebut sebagai efek supply shock yang timbul akibat kondisi dalam negeri Tiongkok.

Selain berperan sebagai pemasok, negara ini juga memainkan peranan penting dalam menyerap sumber daya alam sebagai bahan baku manufaktur. Salah satu negara yang diuntungkan adalah Indonesia karena mendapatkan permintaan raw material (bahan baku) dari China. Beberapa komoditas andalan yang diekpor ke Tiongkok antara lain, minyak sawit dan batu bara

Demand shock berimbas buruk terhadap PHK

Dua produk andalan ini laku keras di Tiongkok sebagai bahan baku berbagai industrinya. Sehingga, apabila pabrik-pabrik di China mengalami masalah produksi, maka akan berimbas pada permintaan komoditas ekspor Indonesia yang dikirim ke sana. Inilah yang kemudian disebut sebagai demand shock atau gangguan terhadap permintaan pasar. Kondisi ini pula yang menjadi jawaban mengapa harga batu bara dan minyak sawit mengalami penurunan dalam beberapa waktu terakhir.

Cairan DisinfektanPetugas Damkar menyemprotkan cairan disinfektan di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu, 22 Maret 2020. Pemprov DKI Jakarta melakukan penyemprotan fasilitas umum menggunakan cairan disinfektan di lima wilayah DKI Jakarta untuk mencegah penyebaran virus Corona atau COVID-19. (Foto: Antara/Aprillio Akbar)

Apabila demand shock ini terus berlanjut, maka dampaknya akan menjalar pada sektor ketenagakerjaan. Imbas terburuknya adalah bakal terjadi pemutusan hubungan kerja alias PHK. Jika demikian, maka akan berlanjut pada penurunan daya beli masyarakat. Padahal, salah satu unsur penopang ekonomi Indonesia adalah konsumsi dalam negeri.

Di sisi lain, penurunan demand minyak sawit dan batu bara berarti menaikan potensi hilangnya permintaan negara lewat pajak maupun aktivitas kepabeaan. Apabila penerimaan negara berkurang, maka akan berpengaruh pada kemampuan belanja pemerintah, yang salah satunya menyasar kegiatan sosial serta stimulus ekonomi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa ekspor komoditas nonmigas Indonesia ke China pada Februari 2020 sebesar 1,8 miliar dolar AS, atau menurun 245 juta dolar AS dari posisi Januari 2020 dengan 2,1 miliar dolar AS.

Gangguan terhadap momentum pertumbuhan ekonomi

Hal serupa terjadi pula pada impor nonmigas dari Tiongkok dari sebelumnya 347 juta dolar AS pada Januari 2020 menjadi 261 juta dolar AS pada akhir Februari 2020. Sebagian besar, penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya bahan baku serta barang modal industri berupa mesin dan peralatan elektrik.

Sementara itu, potensi gangguan ekonomi akibat imbas Covid-19 tidak kalah hebat. Pandemi asal Wuhan, China ini bahkan diprediksi mampu menghentikan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia secara signifikan.

Gambaran sederhana terlihat dari pendekatan pelaku usaha di Tanah Air dalam mematuhi arahan pemerintah terkait social distancing atau menjaga jarak antar manusia. Dalam pengaplikasiannya di lapangan, para pebisnis kemudian memangkas jumlah pegawai yang masuk kerja dan juga mempersingkat waktu operasional.

Hal tersebut kemudian membawa ekses pada penurunan produktivitas industri tertentu. Situasi ini tentu saja menjadi hambatan dalam menggenjot roda perekonomin nasional.

Untuk diketahui, Indonesia sebenarnya telah susah payah untuk mempertahankan momentum pertumbuhan dalam kurun waktu dua tahun belakangan. Pada 2018 silam, pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,17 persen dan 2019 sebesar 5,02 persen.

Malahan, sebelum virus corona menghantam Indonesia, pemerintah cukup optimitis angka pertumbuhan dapat bertengger dikisaran 5,3 persen. Angka ini kemudian direvisi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan berada pada level 4,5 persen hingga 4,9 persen.

Koreksi serupa juga dilakukan oleh Bank Indonesia yang memangkas proyeksi laju pertumbuhan dari sebelumnya 5 persen hingga 5,4 persen menjadi 4,2 persen hingga 4,6 persen.

Untuk diketahui, 1 persen pertumbuhan ekonomi biasanya dikorelasikan dengan 2 juta lapangan pekerjaan baru. Artinya, jika terjadi penurunan ekonomi sebesar 1 persen, maka akan ada sekitar 2 juta masyarakat yang kehilangan pekerjaannya.[]

Baca Juga:

Berita terkait
Faisal Basri: Dampak Corona Bagi Ekonomi Indonesia
Indonesia memiliki hubungan dagang paling erat dengan China. Tujuan ekspor terbesar Indonesia adalah China. Ulasan Faisal Basri.
Jokowi Antisipasi Efek Corona ke Ekonomi Indonesia
Presiden Jokowi melakukan antisipasi dampak virus corona terhadap perlambatan ekonomi Indonesia.
Laju Ekonomi Indonesia Lambat Akibat Virus Corona
CIPS menyatakan penyebaran virus corona atau Novel Coronavirus (2019-nCoV) di China berdampak terhadap kondisi perekonomian global.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.