Aung San Suu Kyi, From Hero to Monster

Sutradara Joko Anwar hari ini men-tweet status From Hero to Monster, sembari menyertakan foto pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi.
Aung San Suu Kyi

Jakarta, (Jakarta 2/9/2017) - Sutradara Joko Anwar hari ini men-tweet status From Hero to Monster, sembari menyertakan foto pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi.

Tentu cukup mudah memaknai maksud status sutradara 'Pengabdi Setan' ini. Tak  hanya Joko Anwar, anggota DPD dari DKI Jakarta Fahira Indris pun men-tweet status yang ditujukan kepada Aung San Suu Kyi. "Kebiadaban mereka harus diprotes dengan aksi nyata. Usir Dubes Myanmar dan tarik dubes kita. Tangguhkan semua kerjasama dengan Myanmar," tulis Fahira di Twitter.

Bahkan kemarin, hashtag #UsirDubesMyanmar sempat beberapa jam menjadi trending topic di Twitter. Mulai dari masyarakat biasa, anggota DPR, tokoh politik seperti Jimly Asshiddiqie pun berbicara mengutuk kekerasan dan kekejaman yang dilakukan tentara Myanmar terhadap etnis Muslim Rohingya di Provinsi Rakhine di Myanmar. Menurut Jimly, hadiah Nobel Perdamaian yang pernah diterima Aung San Suu Kyi harus ditarik kembali karena dia sudah tak pantas menjadi tokoh perdamaian karena membiarkan kekerasan dan pembantaian etnis terjadi di negaranya.

Suara yang sama disampaikan Masyarakat Profesional bagi Kemanusiaan Rohingnya. Mereka meminta Komite Hadiah Nobel untuk mencabut penghargaan Nobel Perdamaian yang diberikan kepada tokoh nasional Myanmar Aung San Suu Kyi karena mendiamkan kekerasan terhadap etnis Rohingnya.

"Aung San Suu Kyi sangat tidak pantas menerima Nobel Perdamaian. Untuk itu, kami mendesak Komite Hadiah Nobel mencabut penghargaan tersebut," kata Andi Sinulingga saat melakukan demonstrasi di depan Gedung Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta, Sabtu (2/9).

Seharusnya, menurut dia, Aung San Suu Kyi berusaha keras menghentikan aksi pengusiran dan kekerasan terhadap etnis Rohingnya atas dasar nilai kemanusiaan.

Apalagi, Aung San Suu Kyi kini merupakan pemimpin de facto Myanmar meskipun tidak menjabat secara formal dalam struktur pemerintah.

Ia juga meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah-langkah diplomatik yang lebih tegas terhadap Myanmar agar menghentikan tindak kekerasan pada Rohingnya.

"Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk menerima pengungsi Rohingnya untuk sementara waktu sambil melakukan langkah-langkah diplomatik," ucap Andi.

Komunitas profesional yang terdiri atas 100 s.d. 200 orang itu juga mengingingkan agar Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) segera mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas praktik genosida terhadap etnis Rohingnya.

Masyarakat Profesional bagi Kemanusiaan Rohingnya menyerukan hal tersebut sebagai respons terkait dengan perkembangan kekerasan terhadap etnis Rohingnya di Myanmar yang berpotensi mengancam situasi keamanan dan stabilitas kawasan Asia Tenggara.

Sekitar 3.000 warga Rohingnya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh karena kekerasan militer Myanmar terburuk dalam 5 tahun belakangan yang telah menewaskan 104 orang. (Fet/Ant)

Berita terkait