TAGAR.id - Untuk menghadapi beragam ancaman terhadap stabilitas regional di Asia Tenggara, apakah negara-negara di kawasan perlu membentuk semacam NATO (North Atlantic Treaty Organization - Pakta Pertahanan Atlantik Utara) versi lokal? Julian Ryall (Tokyo) melaporkannya untuk DW.
Sekelompok politisi konservatif Amerika Serikat (AS) mengusulkan rancangan undang-undang ke Kongres yang akan membentuk panel pencari fakta sebagai langkah pertama dalam pembentukan aliansi pertahanan semacam NATO versi Indo-Pasifik. Aliansi itu dimaksudkan sebagai jawaban atas meningkatnya ancaman agresi China dan Korea Utara.
Gagasan itu diajukan oleh Perwakilan Partai Republik Mike Lawler dari New York. "Musuh kita – China, Rusia, Iran dan Korea Utara – telah membentuk aliansi .… untuk mengganggu dan mengacaukan stabilitas dunia,” katanya dalam sebuah pernyataan yang dirilis kantornya awal Desember.
"Perjanjian keamanan kolektif berpotensi mencegah agresi dan melindungi kekuatan demokrasi di Indo-Pasifik,” tambah pernyataan itu. "Sangat penting bagi negara-negara demokrasi di kawasan ini dan dunia untuk bekerja sama demi memerangi ancaman yang meningkat ini.”
Tantangan terhadap perdamaian dan stabilitas
Berbagai peristiwa yang terjadi baru-baru ini memang memperlihatkan tantangan yang semakin besar terhadap perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik barat. China melanjutkan kampanye tekanannya terhadap Taiwan menjelang pemilihan umum di negara pulau itu pada 13 Januari mendatang. China juga mengerahkan kekuatan angkatan lautnya untuk menghadang angkatan laut Filipina di sekitar pulau kecil di Laut China Selatan yang disengketakan dan diklaim Beijing sebagai miliknya.
Pada 14 Desember, dua pesawat militer China dan empat pesawat militer Rusia memasuki Zona Identifikasi Pertahanan Udara Korea Selatan tanpa peringatan, sehingga Korsel mengerahkan pesawat tempurnya untuk menghadang. Jepang juga sempat mengerahkan jet tempurnya di atas laut Jepang.
Lalu hari Minggu lalu (17/12/2023), Korea Utara menembakkan rudal balistik jarak jauh dari peluncur bergerak di luar Pyongyang. Rudal jarak jauh itu kemudian jatuh di laut Jepang, di luar zona ekonomi eksklusif Jepang. Rudal tersebut merupakan rudal jarak jauh kelima yang diluncurkan Korea Utara sepanjang tahun ini.
Meskipun berbagai peristiwa dan beragam ancaman itu, para analis mengatakan sangat kecil kemungkinan negara-negara di Indo-Pasifik akan membentuk aliansi militer semacam NATO. "Pembicaraan mengenai hal ini sudah sering terjadi sejak Perang Dingin, namun menurut saya hal ini tidak akan lebih dari sekadar gagasan,” kata Ryo Hinata-Yamaguchi, asisten profesor hubungan internasional di Universitas Tokyo, Jepang.
"Salah satu penyebabnya adalah kurangnya kepercayaan di antara banyak pemerintahan di kawasan ini.., sementara negara-negara lain tidak melihat perlunya lembaga formal seperti NATO di sini,” katanya kepada DW.
Perbedaan jadi kendala pembentukan aliansi militer
Tapi sudah ada beberapa aliansi kecil. Secara bilateral, Jepang baru-baru ini menandatangani perjanjian untuk menyediakan kapal patroli pantai ke Malaysia dan Filipina, dua negara yang berselisih dengan Beijing dalam upaya memperluas wilayah kendalinya di Laut China Selatan, kata Hinata-Yamaguchi.
Stephen Nagy, profesor hubungan internasional di Universitas Kristen Internasional Tokyo, juga mengatakan saat ini kecil kemungkinan negara-negara di kawasan ini akan menghilangkan perbedaan politik mereka sedemikian rupa sehingga bisa menjadi sebuah blok semacam NATO.
"Banyak negara di kawasan ini berada dalam posisi yang hati-hati antara China dan AS, dan banyak yang lebih memilih untuk membangun aliansi multi-kutub daripada bersekutu dengan Washington atau Beijing,” jelasnya.
Trennya, kata Nagy, adalah ke arah "mini-lateralisme” dibandingkan multilateralisme, dengan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat negara yang mempunyai pandangan yang sama dalam suatu isu terbatas.
Tapi bagi negara-negara lain, aliansi Indo-Pasifik seperti NATO akan menjadi solusi terbaik terhadap meningkatnya ancaman, kata Stephen Nagy. Profesor politik dan hubungan internasional di Universitas Prefektur Fukui, Yoichi Shimada, setuju dengan pandangan itu. "Saya sepenuhnya mendukung gagasan tersebut, meskipun saya menyadari akan sangat sulit untuk menciptakan dan menjalankan mekanisme keamanan seperti itu,” katanya. (hp/yf)/dw.com/id. []