Siapa yang Akan Bayar Biaya Pembangunan Kembali Gaza?

Perkiraan awal menunjukkan bahwa jumlahnya bisa mencapai €46,4 miliar, atau lebih dari Rp 780 triliun
Warga Palestina bersepeda melewati bangunan yang hancur di Kota Gaza pada Rabu, 29 November 2023, hari keenam gencatan senjata sementara antara Hamas dan Israel. (Foto: voaindonesia.com/AP)

TAGAR.id - Kekerasan terus berlanjut namun diskusi mengenai rekonstruksi sudah dimulai. Masalahnya, pendanaan untuk Gaza serta proyek Palestina lainnya selalu lebih dari sekadar tentang uang. Cathrin Schaer melaporkannya untuk DW.

Bahkan ketika pertempuran, kematian, dan kehancuran terus berlanjut, perdebatan mengenai uang telah dimulai.

Jumlah korban jiwa dalam konflik di Gaza sudah tidak terhitung. Namun biaya untuk membangun kembali kehancuran akibat pemboman Israel di Gaza sudah bisa dihitung. Perkiraan awal menunjukkan bahwa jumlahnya bisa mencapai €46,4 miliar, atau lebih dari Rp 780 triliun.

Pekan ini, media Israel melaporkan bahwa pemimpin Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan kepada Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan bahwa Arab Saudi dan UEA bersedia membayar biaya rekonstruksi Gaza. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa Israel belum menyusun rencana siapa yang akan memerintah Gaza jika Israel berhasil menghancurkan Hamas.

Ada pula yang menyatakan bahwa negara-negara Eropa akan menanggungnya. Uni Eropa, khusus Jerman, telah menjadi donor jangka panjang untuk bantuan kemanusiaan ke wilayah-wilayah pendudukan Palestina. Amerika Serikat adalah salah satu donor terbesar dan kemungkinan besar akan diminta mendanai rekonstruksi.

Namun, baik di AS maupun Eropa, orang dalam melaporkan bahwa di balik layar, para pengambil keputusan bertanya-tanya mengapa mereka harus membayar jutaan uang pajak untuk membangun kembali infrastruktur yang mungkin akan terkena bom lagi dalam waktu dekat.

"Saya telah mendengar para pejabat senior UE mengatakan dengan tegas bahwa Eropa tidak akan membiayai rekonstruksi Gaza. (Jumlah uang yang dibutuhkan oleh Ukraina sudah sangat mencengangkan)," tulis Gideon Rachman, kepala komentator urusan luar negeri di media Inggris, Financial Times, minggu ini. "Kongres AS (juga) tampaknya menentang segala bentuk bantuan asing.”

warga gaza di reruntuhan bangunanWarga Jalur Gaza di reruntuhan bangunan setelah pengeboman oleh Israel, 12 Desember 2023 (Foto: dw.com/id - Hatem Ali/AP/picture alliance)

Akankah Israel membayar biaya rekonstruksi Gaza?

Ada juga seruan agar Israel membayar kerugian yang telah mereka timbulkan selama ini. Pada 2010, Israel setuju untuk memberi kompensasi kepada badan utama PBB yang bekerja di Gaza, yakni Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) sebesar $10,5 juta. Dana ini untuk membangun gedung-gedung yang hancur dalam operasi dengan skala yang jauh lebih kecil tahun 2009.

Hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan warga Israel, yang mempertanyakan apakah pembayaran tersebut berarti mereka mengakui telah melakukan kesalahan. Selain itu, organisasi hak asasi manusia mengatakan bahwa seharusnya Israel membayarkan lebih banyak uang kepada para korban dan keluarganya. Namun, ini adalah hal yang jarang terjadi ketika Israel menyetujui pemberian kompensasi.

Sejak kelompok militan Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober, Israel telah membom Jalur Gaza, yang dihuni lebih dari 2 juta warga Palestina. Hamas diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh Jerman, Uni Eropa, AS, dan beberapa negara lainnya. Israel juga melancarkan serangan darat ke Jalur Gaza dan memblokir pengiriman makanan, air, listrik, dan sebagian besar bantuan ke wilayah tersebut.

Akibatnya, lebih dari separuh perumahan di Gaza hancur. Selain itu, puluhan rumah sakit, ratusan sekolah dan gedung pemerintah telah hancur, begitu pula fasilitas pertanian. Banyak di antaranya dibangun dengan dana dari donor internasional.

Selama serangan Israel di Gaza di tahun 2021, sekitar 60 sekolah, 1.000 unit perumahan dan komersial hancur dan 16.257 unit lainnya rusak. Biaya rekonstruksi pada saat itu diperkirakan sekitar 7,4 miliar euro atau lebih dari Rp 125 triliun.

warga gaza mengungsiPBB mengatakan 85% penduduk Gaza, atau 1,9 juta orang, telah menjadi pengungsi. (Foto: dw.com/id - Abed Rahim Khatib/Anadolu/picture alliance)

Pendanaan Gaza ibarat bola panas politik

Jadi siapa yang paling mungkin menanggung tagihan besar, dan masih terus bertambah, untuk semua ini?

Jawabannya sulit. Pendanaan untuk bantuan dan rekonstruksi di Gaza, serta untuk wilayah-wilayah pendudukan Palestina dan proyek-proyek terkait Palestina lainnya, telah dipenuhi permainan politik selama beberapa dekade.

Fakta bahwa Hamas telah menguasai daerah kantong tersebut sejak 2007 menimbulkan masalah bagi para donor. Mereka bertanya bagaimana cara memberikan bantuan dan uang kepada mereka yang membutuhkan, tanpa berisiko mendanai kegiatan militer Hamas.

Blokade Gaza selama 16 tahun oleh Israel dan Mesir, serta pengabaian selama bertahun-tahun oleh Hamas telah menyebabkan degradasi perekonomian Gaza. Pada 2022, diperkirakan 80% orang di Gaza bergantung pada bantuan, menurut PBB.

UNRWA memberikan banyak bantuan sebelum krisis ini terjadi, termasuk layanan kesejahteraan sosial, sekolah dan klinik kesehatan. Mereka adalah tempat pemberi pekerjaan terbesar kedua di Gaza, yang sering kali dikritik karena dinilai bias.

Para menteri senior di pemerintahan Israel mengatakan mereka ingin menghapuskan UNRWA, sementara politisi moderat di negara-negara donor percaya bahwa organisasi tersebut sangat penting.

Contoh lain dari kontroversi seputar rekonstruksi adalah apa yang disebut Mekanisme Rekonstruksi Gaza (GRM). GRM dibentuk tahun 2014 sebagai tindakan sementara untuk mencegah Hamas menggunakan bahan bangunan, misalnya untuk membangun terowongan.

Namun organisasi ini akhirnya menjadi sistem yang rumit dan terlalu birokratis, yang menyebabkan penundaan signifikan dalam pengiriman bahan bangunan ke Gaza. Selain itu, biaya pembangunan juga meningkat hingga 20%, sehingga menimbulkan tuduhan bahwa kontraktor Israel mempermainkan sistem tersebut demi keuntungan. Para pembangun di Gaza bahkan pernah memboikot material yang disetujui GRM.

Masih belum ada solusi

Kontroversi ini tidak akan hilang hanya karena meningkatnya kehancuran, prediksi Nathan Brown, peneliti senior di program Timur Tengah di lembaga nonpemerintah Carnegie Endowment for International Peace. Faktanya, ini akan menjadi lebih buruk.

"Pendanaan tidak akan menjadi masalah, politiklah yang menjadi masalah,” kata Brown kepada DW. Banyak donor yang bersedia menyumbang jika masalah tersebut bisa terselesaikan secara permanen, kata Brown.

Selama beberapa hari terakhir, ada beberapa laporan bahwa UEA akan menanggung pembangunan kembali Gaza, tetapi hanya jika ada jaminan solusi dua negara. "Jika tidak, mereka pada dasarnya mendanai apa yang, bagi penduduk mereka sendiri, tampak seperti pendudukan kembali Israel di Gaza,” kata Brown.

Sayangnya, sesuai dengan pengamatan Brown, tampaknya untuk saat ini belum ada solusi jangka panjang. "Saya tidak melihat apa pun yang terjadi selain serangkaian pengaturan sementara,…” ujar Brown.

Sementara Yara Asi, peneliti non-residen di Arab Center Washington DC, mengatakan untuk saat ini, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Di sisi lain, ia menekankan bahwa jika masyarakat Eropa dan Amerika benar-benar tidak senang karena rumah-rumah kaca, sekolah, dan rumah sakit yang mereka bantu bangun terus hancur akibat siklus kekerasan yang berulang. Harus ada upaya yang lebih gigih untuk membantu memecahkan siklus ini. (ae/yf)/dw.com/id. []

Berita terkait
Presiden Biden Sebut Otoritas Palestina Harus Memerintah Gaza dan Tepi Barat
Biden menggunakan opini tersebut untuk mencoba menjawab pertanyaan tentang apa yang AS inginkan untuk Gaza setelah konflik selesai