Adakah Langkah Konkret Kementerian Kesehatan RI untuk Kendalikan Penyakit di Indonesia?

Penyebab kematian di Indonesia adalah penyakit tidak menular, ini jadi tantangan bagi Kementerian Kesehatan RI untuk meredam penyakit-penyabkit tsb
Ilustrasi (Sumber: fdiworlddental.org)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 9 Desember 2019. Redaksi. 

TAGAR.id - Beberapa jenis penyakit menular dan degeneratif (tidak menular) gagal ditanggulangi pemerintah, seperti HIV/AIDS. TBC, virus Hepatitis B, stroke, penyakit jantung, diabetes, virus kanker serviks, dan lain-lain. Selain membebani biaya pengobatan dan perawatan yang menggerogoti BPJS Kesehatan penyakit-penyakit itu juga berdampak buruk terhadap sumber daya manusia (SDM).

Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan selalu mengingatkan SDM yang ungul untuk Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045. Prof Dr Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, pakar HIV/AIDS mengingatkan bahwa kita gagal menanggulangi TB. Hal ini disampaikan Prof Zubairi kepada Tagar.id di sela-sela ulang tahun Yayasan Pelita Ilmu (YPI) di Jakarta, 4 Desember 2019. Celakanya, TB merupakan penyebab utama kematian Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Sampai tahun 2019 jumlah penderita TB di Indonesia dilaporkan 842.000. Jumlah ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-3 jumlah kasus TB terbanyak di dunia. Sedangkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia, seperti dilaporkan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 27 Agustus 2019, dari tahun 1987 sd 30 Juni 2019 sebanyak 466.859. Padahal, estimasi di tahun 2016 jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia 640.000. Itu artinya ada 173.141 warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah salah satu mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kegagalan penanggulangan TB jadi bumerang bagi kesehatan masyarakat karena terkait dengan HIV/AIDS. Orang-orang yang mengidap TB mudah tertular HIV ketika melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS, seperti laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, misalnya pekerja seks komersial (PSK) dan cewek prostitusi online. Sedangkan pada Odha TB jadi pemicu kematian.

Padahal, “TB bisa disembuhkan,” kata Prof Zubairi. Persoalannya adalah tidak ada pengawas minum obat (PMO) dan tingkat kesadaran warga yang sangat rendah untuk membawa anggota keluarga yang mengidap TB berobat ke Puskesmas atau rumah sakit. Dulu warga yang periksa TB ke Puskesmas atau rumah sakit diganti ongkosnya dan diberikan makan siang. Lalu, ada pula PMO sehingga kepatuhan pasien minum obat TB terawasi.

Ada pula virus Hepatitis B. Prevalensi hepatitis B di Indonesia antara 5-10 persen dari jumlah penduduk atau setara dengan 13,5 juta. Jumlah ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-3 jumlah penderita Hepatitis B di Asia. Salah satu faktor risiko penularan virus hepatitis B adalah melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yang tidak aman persis sama dengan penularan HIV/AIDS. Tidak ada gejala yang khas pada orang-orang yang tertular virus hepatitis B sehingga banyak yang tidak menyadari dirinya tertular virus hapatitis B. Akibatnya, terjadi penyakit kronik menahun yang sewaktu-waktu bisa muncul dengan indikasi sirosis hati.

Selain penyakit-penyakit tsb. ada lagi persoalan kesehatan di Indonesia yaitu kelahiran prematur. Kelahiran prematur adalah kelahiran bayi sebelum usia kandungan 37 minggu. Kelahiran prematur jadi penyebab utama kematian bayi di banyak negara. Sekitar 15 juta bayi lahir tiap tahun di dunia, 1 dari 10 kelahiran terjadi prematur. Dari jumlah bayi yang lahir prematur 1,1 juta di antaranya meninggal setiap tahun. Yang bertahan hidup pun jika tanpa perawatan yang pas akan menderita beberapa jenis cacat fisik, neurologis serta membutuhkan biaya untuk kesehatan dan pengobatan sepanjang hidupnya.

Data Badan Kesehatan Sedunia (WHO) menunjukkan ada 10 negara penyumbang kelahiran prematur terbanyak di dunia. Dari 10 negara tsb. Indonesia menempati peringkat ke-5 dengan jumlah kelahiran premature 675.700 per tahun (Lihat tabel).

Bayi prematurPeringkat Indonesia dalam negara-negara dengan kasus prematur terbanyak (Dok Pribadi).

Masalah kesehatan di Indonesia tersandung pula dengan stunting yaitu pertumbuhan dan perkembangan bayi karena kekurangan gizi kronis, terutama pada 1000 Hari Pertama Kelahiran (1000 HPK), sehingga tidak sesuai dengan standar pada usia tertentu. Misalnya, semua anak-anak umur 2 tahun dijejer, kalau ada yang lebih pendek dan lebih kurus itu bisa jadi merupakan stunting. Disebut juga kerdil tapi bukan karena turunan.

Data menunjukkan 37 persen balita atau setara dengan 9 juta balita di Indonesia mengalami stunting. Dengan kondisi ini Indonesia ada di peringkat ke-4 dunia dengan jumlah bayi stunting. Bayi yang lahir dengan stunting akan menghadapi masalah kesehatan semasa bayi, anak-anak sampai dewasa, seperti sering sakit-sakitan, IQ rendah, dll. Hitung-hitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) stunting akan memicu kerugian ekonomi sebesar dua persen dari PDB (produk domestik bruto) nasional. Diperlukan kerja keras agar stunting diturunkan. Tahun 2013 prevelensi balita stunting di Indonesia 37,8 persen, sedangkan pada tahun 2019 prevalensi stunting 27,67 persen.

Ada pula angka kematian ibu dan bayi. Pada tahun 2015, kasus kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia 305 per 100.000 kelahiran. Angka yang direkomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah 102 per 100.000 kelahiran. Penyebab kematian ibu dan bayi baru lahir, al. kualitas pelayanan kesehatan, sistem tujukan kesehatan, kebijakan pemerintah daerah terkait kesehatan dan faktor budaya yang merupakan ketimpangan jender. Misalnya, untuk memutuskan seorang ibu melahirkan di rumah sakit harus izin suami atau keluarga sehingga menghabiskan waktu yang berimbas pada kondisi si ibu.

Kasus virus kanker serviks di Indonesia dilaporkan terbanyak kedua di dunia dengan kasus yang dilaporkan pada tahun 2016 sebanyak 348.809. Sedangkan data Global Cancer Observatory di tahun 2018 diperkirakan setiap tahun ada 32.469 kasus kanker serviks, dengan angka kematian 18.279.

Dari 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di Indonesia ternyata hanya satu penyakit menular yaitu TB, selainnya adalah penyakit tidak menular, yaitu stroke, jantung, diabetes, hipertensi, penyakit pernapasan, penyakit hati, kecelakaan lalu lintas, pnemonia dan diare.

Tanpa langkah-langkah yang konkret penyakit-penyakit yang mengganggu penyediaan SDM unggul dan penyebab kematian akan terus jadi masalah besar di Indonesia. Apa yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI? []

* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Tanggulangi AIDS Jadi PR Menkes Kabinet Jokowi Jilid II
Kasus HIV/AIDS baru terus terdeteksi di Indonesia, tapi tidak ada program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Ini jadi tugas Menkes baru.
Kemenkes Minta Kominfo Blokir Iklan Rokok di Medsos
Kementerian Komunikasi dan Informatika akan memblokir iklan rokok di medsos atas permintaan Kementerian Kesahatan.
Bantah Menkes, BPOM Klaim Percepat Izin Edar Obat
Menkes menilai perizinan edar obat di BPOM terlalu panjang sehingga membuat harga obat mahal.
0
Adakah Langkah Konkret Kementerian Kesehatan RI untuk Kendalikan Penyakit di Indonesia?
Penyebab kematian di Indonesia adalah penyakit tidak menular, ini jadi tantangan bagi Kementerian Kesehatan RI untuk meredam penyakit-penyabkit tsb