Aceh Masih Miskin Belum Tepat Poligami

Wacana rancangan qanun hukum keluarga melegalkan poligami di nilai tidak cocok di terapkan di banda Aceh. ini alasannya,
Perempuan yang menolak dipoligami. (Foto: geotimes.co.id)

Banda Aceh - Wacana rancangan qanun hukum keluarga yang di dalamnya mengatur secara khusus pelegalan poligami disambut secara beragam oleh masyarakat. Salah satunya Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Suraiya Kamaruzzaman yang menganggap pengaturan dengan sangat khusus tentang pelegalan poligami masih belum tepat, mengingat masih banyak masrakat Aceh yang masih hidup dalam garis kemiskinan.

"Masih banyaknya persoalan sosial lain yang ada di masyarakat lebih urgensi untuk diatur dan diprioritaskan," kata Suraiya, Kamis 11 Juli 2019.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh masuk dalam peringkat angka kemiskinan tertinggi di Sumatra, dan nomor enam tertinggi di Indonesia dengan persentase 15,97 persen.

"Itu dianggap lebih penting untuk diselesaikan dari pada urusan melegalkan poligami," terangnya.

Balai Syura menambahkan, melihat hal ini tidak mengakomodir kepentingan perempuan, namun akan menyebabkan semakin maraknya praktik-praktik poligami di Aceh.

Artikel terkait: MiSPI Aceh Nilai Bab Poligami Tak Penting

"Kebijakan ini tentu hanya akan menguntungkan pihak-pihak yang akan melakukan poligami, tapi diragukan akan menguntungkan perempuan dan anak," ujarnya.

Karena dari banyak kajian menyebutkan bahwa anak-anak dan perempuan akan lebih sejahtera dan bahagia apabila hidup dalam perkawinan monogami, dimana hanya ada keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.

Persepsi yang terlalu maskulin dalam melihat poligami hanya akan menguntungkan pihak laki-laki dan dipakai dalam merumuskan kebijakan ini.

Seharusnya qanun ini diarahkan untuk kepentingan penguatan ketahanan keluarga, menyelesaikan persoalan-persoalan kesejahteraan keluarga.

"Bukan fokus pada melegalkan praktik poligami yang menyebabkan istri dan  anak yang dalam banyak paktik malah menjadi terlantar," katanya.

Secara hukum, pengaturan dan pelegalan poligami telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dengan syarat-syarat khusus . Pengaturan kembali tentang poligami dalam Rancangan qanun ini, akan menjadi tidak produktif dan tumpang tindih yang menimbulkan kebingungan dalam praktek pelaksanaannya.

Kata Suraiya, pengaturan poligami untuk menyelesaikan persoalan nikah siri, dan perlindungan perempuan dan anak dalam pernikahan siri sangat tidak beralasan.

Artikel terkait: Bukan Perda Poligami, Tapi Perda Hukum Keluarga

"Sebenarnya untuk penyelesaian nikah siri, seharusnya kebijakan penghapusan nikah siri yang harus dibuat, bukan sebaliknya poligami yang dilegalkan dan beberapa pasalnya malah sangat diskriminatif dan merugikan perempuan dan anak," ujar dia.

Jika eksekutif dan legislatif yang sedang membahas raqan keluarga, memuat pasal poligami dengan tujuan untuk perlindungan perempuan dan anak, meskinya pengaturan poligami  fokus untuk mengatur cara mencegah problem sosial poligami.

"Seperti penelantaran nafkah keluarga, apa sanksinya kalau ditelantarkan dan apa skema pemenuhan nafkah jika terjadi penelantaran," ucapnya.

Maka dari itu Balai Syura mendesak Pemerintah Aceh untuk menijau kembali pengaturan tentang pelegalan poligami di dalam kebijakan daerah.

"Seharusnya lebih fokus mengatur pencegahan nikah siri dan berbagai upaya lain, untuk mensejahterakan masyarakat, termasuk anak-anak, perempuan dan kelompok rentan lainnya," katanya.[]

Berita terkait