MiSPI Aceh Nilai Bab Poligami Tak Penting

Mispi Aceh menilai bab tentang poligami di dalam rancangan Qanun hukum keluarga yang sedang dibahas DPR aceh tidak penting.
Ketua Mitra Sejati Kerja Perempuan Indonesia (MiSPI) Aceh, Syarifah Rahmatillah. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil)

Banda Aceh - Ketua Mitra Sejati Kerja Perempuan Indonesia (MiSPI) Aceh, Syarifah Rahmatillah menilai bahwa bab tentang poligami di dalam Rancangan Qanun (Raqan) Hukum Keluarga yang sedang dibahas oleh DPR Aceh tidak penting dan lebih baik dihapus saja.

Saran untuk menghapus bab tersebut bukan tanpa alasan. Menurut Syarifah, apa yang dibahas di bab poligami sama dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan.

"Menurut saya tidak perlu ada bab poligami itu, kalau memang itu isinya," kata Syarifah dalam sebuah diskusi tentang poligami di Banda Aceh , Rabu 10 Juli 2019.

Seharusnya, kata Syarifah, pemerintah Aceh dan DPRA tidak membuang-buang waktu untuk membahas bab tentang poligami tersebut.

Ada hal-hal lain yang seharusnya dimasukkan dalam Raqan Hukum Keluarga yang sedang digodok tersebut, seperti memberi mahar gratis bagi yang belum menikah.

"Raqan itu tidak ada yang luar biasa, kecuali ada mahar gratis yang diberikan pemerintah Aceh, pembatalan nikah untuk suami yang tidak adil," ujar Syarifah.

Untuk diketahui, poligami memang sudah legal dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 1 Undang-Undang tersebut, hukum perkawinan Indonesia berasaskan monogami.

Asas tersebut lebih ditegaskan lagi di dalam bunyi Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Di mana seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ini berarti sebenarnya yang disarankan oleh Undang-Undang adalah perkawinan monogami.

Akan tetapi, UU Perkawinan memberikan pengecualian, sebagaimana disebutkan pada Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan, yang mana pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Artinya, seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang, maka wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya, seperti diatur dalam Pasal 4 ayat [1] UU Perkawinan.

Kemudian, dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan lebih lanjut bahwa pengadilan hanya akan memberikan izin kepada si suami untuk beristeri lebih dari satu memenuhi beberapa syarat.

"Jadi masyarakat saya pikir kalau qanun ini nanti keluar juga harus jeli, jangann dikacaukan dengan informasi yang keliru," ujarnya. []

Artikel terkait:

Berita terkait