Jakarta - Wacana untuk melegalkan ekspor ganja untuk keperluan farmasi dan medis yang pertama kali digulirkan politisi Partai Keadilan Sosial (PKS) Rafli terus menuai pro kontra. Tak sedikit politisi yang tidak setuju dengan wacana ganja menjadi komoditas ekspor. Bahkan Ketua Umum Gerakan Gerakan Nasional Antinarkotika (Granat) Henry Yosodiningrat menentang keras dan siap melawan ide politisi PKS itu.
Bila di Indonesia wacana ekspor ganja masih menjadi perdebatan, ada beberapa negara yang telah menerapkan kebijakan ekspor komodiitas negara, salah satunya adalah Zambia di Afrika di bagian Selatan. Dua bulan lalu, Zambia mengeluarkan pengumuman rencana untuk melegalkan ekspor ganja atau canabis dengan tujuan mendorong peningkatan perekonomian negara yang tengah dilanda kiris utang dan untuk pengobatan.
Anggota parlemen mendukung kebijakan pemerintah Zambia untuk melegalkan ganja menjadi komoditas ekspor yang diharapkan bisa mendongkrak perekonomian. Juru bicara pemerintah Dora Siliya pada Senin, 03 Februari 2020 mengatakan, kabinet pada dasarnya menyetujui untuk penanaman, pemrosesan dan ekspor ganja untuk tujuan ekonomi dan pengobatan.
Bila jadi melegalkan ekspor ganja maka Zambia menjadi negara pertama di Afrika yng menerapkan kebijakan legalisasi ekspor ganja. Namun menurut Siliya, rencana tersebut masih dalam tahap awal. Komite menteri masih akan merumuskan rencana tersebut. "Kementerian Kesehatan nantinya akan ditunjuk mengatur masalah penerbitan izin penanaman, pemrosessan, dan ekspor," katanya seperti diberitakan dari canex.co.uk.
Legalisasi penanaman dan ekspor ganja akan diatur dalam peraturan Narkotika Obat dan Psikotropika Zat Act Cap 96. Penanaman hanya dibisa dilakukan setelah mendapat izin dari Kementerian Kesehatan. Saat ini Afrika Selatan menjadi satu-satunya negara yang secara resmi melagalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis. Afrika Selatan dan Kerajaan Lesotho telah melegalkan ganja menjadi komoditas ekspor.
Meskipun ganja merupakan tanaman ilegal di sebagian besar benua Afrika, ternyata masih banyak dibudidayakan. Larangan penanaman ganja berdampak pada penurunan permintaan untuk tanaman tembakau, dan yang menyebabkan melonjaknya tingkat pengangguran.
Afrika diperkirakan menghasilkan sekitar 38.000 ton ganja setiap tahun. Presiden dari parta oposisi Green Party Peter Sinkamba telah berkampanye untuk perubahan kebijakan mengenai ganja sejak tahun 2013. Menurutnya, jika komoditas ganja bisa menjadi produk ekspor maka akan memberikan sumbangan ke pemerintah hingga 36 miliar dolar AS.[]