YLKI Desak Pemerintah Reformasi Pengelolaan BPJS

YLKI mengajukan empat poin sikap jika pemerintah tetap menaikkan tarif iuran. Untuk itu, YLKI mendesak pemerintah mereformasi BPJS
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat kerja bersama komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 21 Agustus 2019. Rapat kerja membahas pengesahan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) RUU Bea Materai dan BPJS Kesehatan. (Foto: Antara/Fakhri Hermansyah)

Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah dan manajemen Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk mereformasi total pengelolaan BPJS  bila tetap bersikeras menaikkan iuran. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan ada empat poin sikap  jika pemerintah tetap menaikkan tarif iuran BPJS.

Pertama, katanya, menghilangkan kelas tarif iuran BPJS. Hal ini selaras dengan spirit asuransi sosial yaitu gotong royong. "Jadi iuran BPJS Kesehatan hanya satu kategori saja," ucap Tulus kepada Tagar, Kamis, 10 Oktober 2019. Kedua, daftar peserta BPJS kategori PBI (Penerimaan Bantuan Iuran) harus diverifikasi ulang. Agar lebih transparan dan akuntabel, nama penerima PBI harus bisa diakses oleh publik. Ketiga, Manajemen BPJS harus membereskan tunggakan iuran dari kategori mandiri/pekerja bukan penerima upah, yang mencapai 54 persen.

Menurut Tulus, fenomena tunggakan ini bila dibiarkan akan menjadi benalu bagi finansial BPJS Kesehatan. "Di sisi lain, kenaikan iuran untuk kategri peserta mandiri juga akan memicu tunggakan dari peserta mandiri akan semakin tinggi," ucapnya. YLKI juga mengusulkan untuk menjadi mitra faskes tingkat pertama, seperti puskesmas dan klinik, juga harus dilakukan verifikasi, khususnys terkait ketersediaan dan jumlah dokter yang ada.

Soal tarif iuran, Tulus mengatakan jika dilihat dari besaran iuran yang berlaku saat ini, memang masih jauh dibawah biaya pokok (cost structure). Dengan demikian usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani soal kenaikan iuran secara signifikan lebih dari 100 persen merupakan hal yang rasional. Hanya pertanyaannya, apakah kenaikan itu harus dibebankan ke konsumen atau ada potensi skema lain untuk menekan tinggi defisit finansial BPJK Kesehatan. "Artinya, tidak serta merta kenaikan iuran itu menjadi solusi tunggal untuk dibebankan ke konsumen," jelasnya.

Pemerintah bisa saja merelokasi sebagian subsidi energi yang masih mencapai Rp 157 triliun menjadi subsidi BPJS Kesehatan. Atau yang urgen menaikkan cukai rokok secara signifikan dan dialokasikan sebagian untuk subsidi BPJS Kesehatan. Skema seperti ini selain tidak membebani konsumen BPJS, juga sebagai upaya preventif promotif, sehingga sangat sejalan dengan filosofi BPJS.

"Selain itu pemerintah bisa menambah suntikan subsidi di BPJS Kesehatan. Kalau untuk subsidi energi saja pemerintah mau menambah, kenapa untuk subsidi BPJS tidak mau? Padahal keberlangsungan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah tanggung jawab pemerintah," jelas Tulus.

Menurut Tulus, YLKI memberikan toleransi untuk usulan kenaikan tarif. Formulasinya, untuk kategori peserta PBI kenaikannya pada kisaran Rp 30 ribu - Rp 40 ribu dan peserta non PBI, usual tarifnya rata-rata Rp 60 ribu. Sebelumnya Menteri Keuangan mengusulkan kenaikan untuk peserta kelas mandiri I dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per bulan. Kelas mandiri II naik dari Rp 59 ribu menjadi Rp 110 ribu dan iuran kelas mandiri III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu per bulan.

Berita terkait
Iuran BPJS Jadi Naik Tahun Depan
Meningkatnya jumlah peserta dan pengguna BPJS mendorong pemerintah berencana menaikkan tarif premi asuransi kesehatan untuk menambal defist.
Tunggakan BPJS di Jatim Capai Rp 2,5 Triliun
Tunggakan hutang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tersebar di 325 rumah sakit di Jawa Timur mencapai Rp 2,5 triliun
PKS Sebagai Oposisi Pemerintah Soroti BPJS dan KPK
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Mardani Ali Sera mengatakan catatan partainya sebagai oposisi bagi pemerintahan.