Wonderful Indonesia Ternyata Hanya Sebatas Slogan

Pemerintah menggalakkan sektor pariwisata untuk menggenjot devisa dan mendorong perekonomian masyarakat tapi branding pariwisata tidak mendukung
Salah satu objek wisata di Bali (Foto: Instagram Kemenpar)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id - Salah satu sektor di bidang perekonomian yang tidak terpengaruh resesi, bahkan resesi global sekalipun, adalah pariwisata. Beberapa negara mengandalkan devisa dari sektor pariwisata. Bahkan, negara-negara yang dikenal sebagai petro dolar karena cadangan minyak bumi pun kini beralih melirik pariwisata sebagai sumber devisa.

Sektor pariwisata pulalah yang dilirik Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk diandalkan sebagai sumber devisa dan motor penggerak perekonomian masyarakat. Jokowi kemudian mengembangkan ’10 Bali Baru’ yaitu daerah tujuan wisata (DTW) baru selain Bali dan Yogyakarta.

1. Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Akan Hospitality

’10 Bali Baru’ tsb. adalah Danau Toba (Sumut), Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (Jakarta), Borobudur (Jateng), Bromo Tengger Semeru (Jatim), Mandalika (NTB), Labuan Bajo (NTT), Wakatobi (Sultra), dan Morotai (Malut).

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sendiri justru berkutat di ranah ‘wisata halal’ yang justru kontra produktif terhadap pengembangan pariwisata nasional. Jumlah wisatawan mancanegara (Wisman) di tahun 2018, misalnya, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat 15,81 juta. Bandingkan dengan Malaysia yang kedatangan 25,83 juta wisatawan pada tahun yang sama.

Baca juga: Tugas Menteri Pariwisata Meningkatkan Kedatangan Wisman

Celakanya, warga dunia hanya mengenal dua DTW di Indonesia, yaitu Yogyakarta dan Bali. Dua DTW ini dikenal luas di dunia pariwisata karena banyak faktor, seperti tingkat hospitality (keramahtamahan) yang tinggi. Di Bali dan Yogyakarta Wisman yang berpakaian minim tidak pernah jadi objek pelecehan verbal dan fisik. Hal yang mustahil terjadi di daerah lain, termasuk di ’10 Bali Baru’.

Dari aspek lain pariwisata (tourism) berbeda dengan darmawisata, piknik, melancong, rekreasi, tamasya, dll. Pariwisata erat kaitannya dengan kehidupan riil masyarakat al. ciri-ciri khas budaya dan agama menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai realitas sosial yang hidup di social settings. Ciri-ciri khas itu tidak menimbulkan gejolak sosial ketika berhadapan dan bersentuhan dengan budaya dan agama Wisman dan wisatawan nusantara (Wisnus).

Ciri-ciri khas itu pun menunjukan identitas masyarakat secara jelas dan kasat mata. Seperti di Yogyakarta yang selalu diwarnai dengan kehidupan ’orang Jawa’ yang ditunjukkan dengan cara bertutur-sapa, berpakaian, dll. Hal yang sama juga terjadi di Bali. ”Orang Bali’ selalu ada sepanjang hari dengan pakaian yang khas: kain sarung kotak-kotak dan penutup kepala serta kembang di telinga. Pagi dan sore sembahyang di tempat peribadatan, seperti Pura.

2. Semboyan Bali and The Beyond

Kondisi di Yogyakarta dan Bali berbeda dengan daerah lain yang berbenturan dengan budaya dan agama setempat. Di Banda Aceh, misalnya, kita tidak bisa melihat orang Aceh. Bahkan, di Pulau Samosir, pulau di Danau Toba, Sumut, sekalipun kita tidak bisa melihat ’orang Batak’ di daerah yang disebut-sebut sebagai asal muasal orang Batak.

Di Tanah Papua memang kita bisa melihat orang Papua, tapi kita tidak bisa melihat kehidupan orang Papua di social settings. Begitu pula dengan di Tana Toraja. Orang Toraja hanya bisa dilihat ketika upacara kematian yang disebut ‘rambu solo’. Selebihnya kita tidak bisa melihat orang Toraja di Tana Toraja.

Baca juga: Menyoal Langkah Kemenparekraf Kembangkan Pariwisata

Pariwisata juga erat kaitannya dengan pertunjukan seni. Di Yogyakarta dan Bali selalu ada berbagai macam kegiatan seni, terutama yang menyangkut pertunjukan, secara rutin dan teragenda. Coba bandingkan dengan daerah lain. Tidak ada pertunjukan seni yang teragenda dan tidak bisa dilihat setiap hari.

Pulau Lombok pernah mempromosikan diri sebagai Bali and the Beyond dengan taglineYou can see Bali in Lombok but You can not see Lombok in Bali”. Tapi, karena tidak ada sarana dan prasarana yang mendukung pariwisata maka tagline itu hanya sebatas semboyan kosong. Bahkan, Pemkot Mataram melarang Wisman, terutama perempuan, memakai celana pendek dan rok mini.

Kondisi itu membuat Wisman yang dulu mendarat di Bandara Ampenan, Mataram, dan sekarang di bandara Lombok, langsung ke Pantai Senggigi. Hal yang sama terjadi pada Wisman yang menyeberang dari Pelabuhan Padang Bai di Bali ke Pelabuhan Lembar di Lombok. Begitu mendarat mereka langsung ke Senggigi. Maka, tidaklah mengherankan kalau Kota Mataram sudah sepi sejak magrib. Sebaliknya, suasana di Senggigi tidak kalah ramainya dengan suasana di Pantai Kuta, Bali.

Perajin dan pemilik kios cinderamata di dekat mal di Kota Mataram mengeluh karena tidak ada Wisman. Mereka hanya mengandalkan Wisnus musiman. Daya beli Wisnus pun rendah jika dibandingkan dengan Wisman. Selain itu Wisman mencari benda-benda seni untuk koleksi dan tidak tergantung musim. Sedangkan Wisnus hanya membeli kaos (T-Shirt) untuk oleh-oleh.

Salah satu kelemahan pariwisata nasional adalah branding yang tidak membumi. Indonesia menawarkan ‘Wonderful Indonesia’ tanpa didukung dengan berbagai sarana dan prasarana serta tingkat hospitality yang sangat rendah.

3. Branding Pariwisata Indonesia, Asia Landscape

Sedangkan negara jiran, Malaysia, membuat branding yang apik yaitu ‘Truly Asia’. Dengan branding ini Malaysia mengabarkan ke dunia bahwa Asia yang sesungguhnya ada di Malaysia. Padahal, banyak aspek kehidupan yang jadi daya tarik pariwisata yang ada di negara lain, seperti di Indonesia, justru tidak ada di Malaysia.

Padahal, hampir semua objek wisata yang ada di Asia justru ada di Indonesia, seperti pemandangan alam dan benda-benda budaya. Bahkan, ada objek wisata yang ada di Indonesia, seperti candi, tapi tidak ada di negara lain di Asia.

Baca juga: Awal Tahun 2020 Pil Pahit untuk Pariwisata Indonesia

Kekayaan alam dan budaya yang membentang di sepanjang Khatulistiwa tidak ada di negara lain di Asia. Gambaran itu merupakan landscape (bentang darat, pemandangan) yang membahana bagi dunia jika dikemas dengan kekuatan moral yang tidak akan diganggu oleh kepentingan kelompok dan golongan.

Untuk itulah pemerintah harus bertindak menjaga kekayaan alam, sosial dan budaya yang sudah menjadi batu manikam di Nusantara dengan 17.504 pulau yang terhampar dari 95° Bujur Timur sampai 141°45' Bujur Timur dan diapit oleh garis lintang mulai dari 6° Lintang Utara sampai 11°08' Lintang Selatan.

Dengan branding (penanda) “Indonesia, Asia Landscape” akan memberikan gambaran kepada dunia bahwa Asia ada di Indonesia, tapi Indonesia tidak ada di negara-negara Asia lain. Tentu saja diperlukan kerja untuk membahanakan “Indonesia, Asia Landscape” secara internasional. (Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 21 Januari 2020). []

* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Pariwisata Bali Dikembangkan dengan Kearifan Lokal
Pariwisata Bali berkembang pesat berkat dukungan kearifan lokal, yang perlu dibenahi Kemenpar adalah daerah tujuan wisata yang sepi pengunjung
Wisata Bali Dihantam Pasal Zina dan Kriminalitas
Sebagai tujuan utama wisatawan dunia kini Bali menghadapi ketakutan yaitu kriminalitas dan kejahatan seksual yang bisa membuat wisata Bali terpuruk
Menpar Wishnutama Wisata Halal Tidak Harus ke Bali
Menpar Wishnutama dan Wamenpar Angela Tanoesoedibjo bikin kegaduhan (lagi) dengan wacana ‘wisata halal’ di Bali dan Dana Toba, kenapa harus Bali?
0
Wonderful Indonesia Ternyata Hanya Sebatas Slogan
Pemerintah menggalakkan sektor pariwisata untuk menggenjot devisa dan mendorong perekonomian masyarakat tapi branding pariwisata tidak mendukung