Wawancara Kiai Ma'ruf: Tren Pro Khilafah di Indonesia

Berikut ini wawancara dengan Kiai Ma'ruf Amin mengenai apa yang ia akan lakukan untuk mencegah naiknya tren pro khilafah.
Bakal calon wakil presiden Ma'ruf Amin melambaikan tangan usai mengikuti rapat perdana dengan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf di Jakarta, Senin (17/8/2018). Untuk pertama kalinya Ma'ruf Amin, menghadiri rapat dengan Tim Kampanye Nasional untuk membahas strategi pemenangan di Pilpres 2019. (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)

Bekasi, (Tagar 17/2/2019) - Calon wakil presiden nomor urut 01 KH Ma'ruf Amin menegaskan ideologi khilafah bertolak belakang dengan fondasi yang dibangun bapak pendiri bangsa. 

Kiai Ma'ruf menekankan sejak awal Republik ini berdiri sudah memiliki kesepakatan landasan, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Dalam formasi capres-cawapres nomor urut 01, Kiai Ma'ruf diplot untuk menangani terorisme karena isu terorisme selama ini selalu disangkutpautkan dengan Islam. 

Dalam penanganan terorisme termasuk pencegahan radikalisme, mencari jalan keluar atas tren pro khilafah yang meningkat dari tahun ke tahun berdasar penelitian sejumlah lembaga.

Berkaitan pencegahan naiknya tren pro khilafah di Indonesia, berikut ini wawancara khusus Tagar News dengan Ma'ruf Amin, kiai kelahiran Kresek, Banten, 75 tahun silam, di kediamannya di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 6 Februari 2019.

Penelitian menyebut pro khilafah di Indonesia menunjukkan tren meningkat dari tahun ke tahun, apa yang Anda akan lakukan?

Kita akan berikan pengertian, pencerahan kepada semua masyarakat bahwa kita ini punya kesepakatan dalam membangun negara. Saya mengajak kepada pihak-pihak yang pro terhadap pendirian khilafah agar tidak melanggar kesepakatan berdirinya negara Republik Indonesia. Supaya negara yang terdiri atas 34 Provinsi ini terhindar dari konflik.

Kita ingin negeri ini utuh, tenang, seperti sudah dibangun oleh pendiri bangsa. Nah, itu yang harus kita jaga. Yang tidak sesuai dengan kesepakatan seperti khilafah dan sebagainya, maka jangan dipaksakan.

Ada orang Islam merasa khilafah itu ajaran Islam?

Tentu akan kita lakukan secara persuasif ke masyarakat. Kita akan berikan pemahaman umpama ada kekeliruan sepertinya bahwa Islam itu khilafah, padahal tidak. Khilafah itu islami iya, tetapi republik juga islami, kerajaan juga islami. 

Menyebut Islam itu khilafah, ini keliru, tidak memahami, ini yang akan kita luruskan.

Saya tegaskan, kita sudah punya kesepakatan bahwa negara ini republik. Bukan soal Islam atau tidak Islam, melainkan harus kembali kepada kesepakatan. Oleh karena itu, jangan kita membawa sesuatu hal yang menyalahi kesepakatan, nanti bisa terjadi konflik. Itu tidak boleh. Negara ini musti kita jaga.

Dalam pemerintahan Islam di dunia, ada sistem kerajaan, sistem keamiran hingga sistem republik. Sistem kerajaan seperti Arab Saudi, sistem keamiran layaknya Uni Emirat Arab. 

Yang menganut sistem Republik tak hanya Indonesia saja, ada juga Republik Mesir dan Republik Islam Pakistan.

Saat mendirikan Indonesia, para pendiri bangsa termasuk ulama sudah menyepakati yang terbaik untuk Indonesia adalah sistem republik yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

Kesepakatan kita, negara ini republik. Maka itu, jangan membawa isu khilafah ke sini. 

Tidak ada khilafah di dunia kecuali ISIS. Yang menjual khilafah kan ISIS, dan itu akan menimbulkan kegaduhan.

Kenapa yang pro terhadap khilafah meningkat dari waktu ke waktu?

Nah itulah hal-hal yang memang pengaruh-pengaruh global ini. Ada cara berpikir yang harus diluruskan, pikirannya sangat tekstualis sehingga menimbulkan bahwa Islam itu adalah khilafah.

Di sini memang penduduknya besar. Yang menolak khilafah di Indonesia kan jauh lebih besar. Yang ingin khilafah ada sekitar sekian persen. Jadi sebenarnya tidak bisa jadi ukuran. 

Di dunia ini tidak ada sistem khilafah. Tidak ada.

Saya tekankan lagi. Masing-masing negara punya kesepakatan sendiri-sendiri. Ada yang kerajaan, keamiran, republik. 

Khilafah tidak ada, kecuali ISIS. Satu itu saja.

Setelah HTI Dibubarkan

Pemerintah Indonesia telah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena kegiatan yang dilaksanakan HTI bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pemerintah menilai aktivitas yang dilakukan HTI dapat membahayakan keutuhan NKRI. Sebagai ormas berbadan hukum, HTI dinilai tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.

Hizbut Tahrir adalah organisasi politik pan-Islamis, yang menganggap ideologinya sebagai ideologi Islam, yang tujuannya membentuk Khilafah Islam atau negara Islam.

Khilafah adalah sistem pemerintahan yang wilayah kekuasaannya tidak terbatas pada satu negara, melainkan banyak negara di dunia, yang di bawah satu kepemimpinan dengan dasar hukumnya adalah syariat Islam. 

Hingga kini diperkirakan pengikut HTI di Indonesia mencapai 2 juta orang, sementara di dunia mencapai puluhan juta orang.

Dalam survei tahun lalu, peneliti senior Lingkar Survei Indonesia (LSI) Rully Akbar mengemukakan angka pro khilafah di Indonesia pada tahun 2018 tercatat sebanyak 13,2 persen. 

Angka itu naik signifikan dari tahun 2005 yang pro khilafah tercatat hanya berkisar 4,6 persen.

Masih berdasarkan survei yang sama, responden pro Pancasila tercatat sebesar 75,3 persen. Artinya, lebih dari 145 juta warga negara Indonesia atau dalam konteks ini pemilih tak setuju dengan keberadaan hilafah, atau mayoritas rakyat RI menolak khilafah. 

Dapat diasumsikan, bila jumlah pemilih dalam Pemilu 2019 ini mencapai 196,5 juta pemilih, berarti lebih dari 20 juta sampel penelitian LSI atau penduduk Indonesia masih menginginkan khilafah dapat berdiri di bumi NKRI, siapa pun presidennya yang terpilih akan diganggu isu khilafah. []

Baca juga

Berita terkait