Dairi - Masyarakat di Desa Parbuluan VI, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, menolak kehadiran PT Gunung Raya Utama Timber Industries (Gruti) di wilayah mereka, karena berpotensi mencaplok lahan dan kelestarian kawasan Danau Toba.
Masyarakat resah karena PT Gruti mengklaim sebagian tanah perladangan maupun kampung mereka, merupakan wilayah yang akan dikelola perusahaan tersebut. Warga pun menolak dan telah menggelar beberapa kali aksi.
Penolakan itu juga ditandai dengan pemasangan spanduk yang dibentangkan di persimpangan desa. “Masyarakat Menolak PT Gruti. Kami Masyarakat Desa Parbuluan VI Siap dan Mempertahankan Tanah Kami Demi Kelangsungan Hidup Kami dan Anak Cucu Kami Kelak,” demikian isinya.
Hal itu dibenarkan Ketua Kelompok Tani Marhaen Desa Parbuluan VI, Pangihutan Sijabat dikonfirmasi Tagar lewat telepon, Kamis, 14 Mei 2020.
Dipaparkannya, permasalahan bermula saat kedatangan perwakilan PT Gruti ke Desa Parbuluan VI pada 21 Februari 2020 lalu di kantor kepala desa setempat. Perwakilan perusahaan melakukan sosialisasi keberadaan perusahaan tersebut kepada warga. Namun sosialisasi tidak membuahkan hasil. Izin yang ditanya warga terhadap perwakilan perusahaan bermarga Pasaribu tidak dapat ditunjukkan.
“Pada waktu itu mereka bilang mau mendirikan sebuah PT untuk penanaman kayu dengan luas areal 8.850 hektare. Dengan lokasi di Tele II. Nah, kan sudah salah. Kalau Tele II itu, jangan dikatakan di Parbuluan VI. Tele II ke arah Simallopuk. Izin pun kita minta, tak bisa ditunjukkan,” katanya.
Pada kesempatan itu, pihak PT Gruti juga menyampaikan bahwa masyarakat diharuskan menanam kayu 200 pohon per hektare pada masing-masing lahan yang dikuasai. Setelah kayu dipanen tanah kembali ke PT Gruti.
“Dikatakan pada waktu itu, kami yang sudah punya lahan resmi, yang sudah kami kerjakan, apa jeruk apa kopi, yang kami tanam di dalam, kami diharuskan menanam kayu. 200 pokok per hektare. Dan setelah kayunya panen, kayunya dipanen oleh PT Gruti, tanahnya kembali ke PT Gruti, dan kompensasinya diganti Rp 1,5 juta per hektare ke masyarakat,” katanya.
Masyarakat diajak bermitra dengan perusahaan, tetapi apapun hasil pertanian dari masyarakat wajib menjualnya ke perusahaan dengan harga pasar.
“Harga pasar, harga pasar siapa? Tidak ada tertera di situ. Apakah harga pasar perusahaan, apakah harga pasar umum. Kan ada politiknya itu,” tukas Pangihutan.
Atas dasar beberapa hal itu, masyarakat pun menolak. “Di situlah gejolak di masyarakat ini. Setelah dipelajari oleh masyarakat, PT Gruti ini akan sangat merugikan masyarakat di lima desa, yang terkena dampak langsung,” sebut Pangihutan.
Yang paling efektif itu power people-nya. Masyarakat jangan sampai di awal menyetujui, terakhir nanti menyesal, gitu lho
Ke lima desa itu, Desa Sileuh-leuh Parsaoran, Barisan Nauli, Pargambiran, dan Desa Perjuangan di Kecamatan Sumbul, serta Desa Parbuluan VI di Kecamatan Parbuluan.
Terkait penolakan itu, Pangihutan menyebut masyarakat telah menbuat pengaduan ke pemerintah desa. “Semuanya kan punya aturan, prosedur. Nggak mungkin kami melangkah ke yang lain, dari kepala desa belum,” katanya.
Namun disayangkan, pihak desa tidak merespons. “Bahkan perangkat desa kami tanya, mengatakan begini, sampai kapan pun masyarakat tidak akan pernah bisa melawan PT Gruti,” ujar Pangihutan.
Pangihutan menyebut, penolakan akan terus berlanjut. “Langkah berikut, setelah berembuk kelompok-kelompok di masyarakat, kemungkinan besar akan melakukan pengaduan ke kepolisian dan ke pengadilan. Kami berharap, aparatur negara terkait mendengar aspirasi masyarakat,” ujar Pangihutan.
Kawasan Dana Toba Terancam
Rinaldi Hutajulu, aktivis dari Sumatera Forest diminta tanggapannya secera terpisah lewat telepon menyebut, kehadiran PT Gruti di Kabupaten Dairi dipastikan mengganggu kelestarian alam di kawasan Danau Toba, dan dapat menyebabkan bencana.
Menurut dia, Kabupaten Dairi berkarakter hawa dingin dan kayu-kayu di sana susah tumbuh besar. Untuk mereboisasi juga cukup sulit. Maka dampak penebangan kayu nantinya berbahaya karena daerah pegunungan.
“Aku cari tahu, ini bukan perusahaan yang sehat. Izinnya ini kan, 116.920 hektare. Hampir 10.000 hektare ini di Dairi. Salah satu bloknya itu tidak jauh dari pinggiran Danau Toba. Pegunungan di sana akan babak belur. Satu lagi, lokasinya itu sudah banyak aktivitas masyarakat. Jadi ya wajar masyarakat protes,” katanya.
Ditambahkan Rinaldi, sesuai pengalamannya memperhatikan aktivitas PT Gruti, perusahaan tersebut tidak tebang pilih dalam mengambil kayu hasil hutan. Terbukti di Nias Selatan.
“Perusahaan ini izin usahanya adalah pengelolaan hutan alam. Aturan, hanya mengeksploitasi kayu alam dan tebang pilih. Faktanya dia babat. Tidak diperbaiki, karena sebenarnya perusahaan ini kan punya perusahaan perkebunan. Modusnya ini nanti, setelah habis lahannya terbengkalai, mereka bikin lagi permohonan jadi perkebunan. Kan itu. Janganlah TPL terulang,” sebut Rinaldi.
Rinaldi menyebut telah mengetahui aksi penolakan masyarakat di Dairi. Pihaknya juga telah memberikan pencerahan pada masyarakat.
“Yang paling efektif itu power people-nya. Masyarakat jangan sampai di awal menyetujui, terakhir nanti menyesal, gitu lho. Maka dari awal ditentang,” ujarnya.
Sesuai data dipaparkan Rinaldi, izin PT Gruti sesuai Keputusan Menteri Kehutanan pada 14 Oktober 2005 luasnya 116.920 hektare, meliputi lokasi di Kabupaten Dairi, Pakpak Bharat, Humbang Hasundutan, Samosir, Mandailing Natal, dan Nias Selatan.
Camat Parbuluan, Rafael Siringo-ringo dikonfirmasi terpisah menyebut, belum ada warga maupun kepala desa yang melaporkan terkait penolakan masyarakat atas kehadiran PT Gruti tersebut. []