Sumba Timur - Wakil Bupati Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) Umbu Lili Pekuwali mengakui ada beberapa dampak negatif penyelenggaraan pilkada.
Namun tak bisa dinafikan, ada banyak dampak positif yang bisa dimaksimalkan. Sehingga tidak tepat untuk menyatakan pilkada merupakan bencana.
Pada masa lalu kepala daerah dipilih secara tidak langsung, yakni oleh anggota DPRD. Cara ini dinilai kurang demokratis, di mana hanya beberapa anggota dewan yang menentukan siapa kepala daerah.
"Akibatnya kepala daerah merasa hanya perlu mengamankan DPRD dan bukan rakyat," ujar Umbu dalam acara 'Seri Diskusi Pendidikan Kader Holistik' sesi kedua yang diselenggarakan GMKI, GAMKI, Universitas Kristen Wira Wacana Sumba dan YMCA di Waingapu, Sumba Timur, Kamis 7 November 2019.
Amandemen UUD 1945 yang menjadi dasar pilkada. Perkembangan politik kemudian ada banyak kepala daerah berprestasi. Jokowi misalnya, dari wali kota menjadi gubernur, lalu kemudian presiden.
"Dalam pilkada, masyarakat berpartisipasi langsung, menmbuat rakyat melihat dan berpikir objektif terhadap fenomena politik, melahirkan pejabat tanpa membedakan," paparnya.
Dia mengakui pilkada memang memerlukan biaya besar. Tetapi harus dicatat fakta tentang sisi positif.
"Mengembalikan kedaulatan ke rakyat, setiap orang diberi kesempatan yang sama mengakses jabatan publik, legitimasi dan kedudukan yang sama kepala daerah dan wakil dengan DPRD," terangnya.
Kepala daerah yang bebas dari kepentingan pribadi atau kelompok akibat besarnya biaya pilkada, bisa bekerja secara total untuk kepentingan rakyat
Selain itu, pilkada mendorong pendewasaan parpol dan memperkuat konsep check and balance.
Lebih lanjut Umbu menyebutkan sisi negatif pilkada. Pertama, konflik kepentingan antar pendukung hingga terjadi kerusuhan. Kedua, praktik politik uang masih masif. Ketiga, biaya pilkada tinggi.
Keempat, bermunculan isu identitas. Kelima, persyaratan dukungan kursi partai memunculkan niat menggunakan uang membeli partai. Terakhir, terjadi politisasi birokrasi.
Umbu menegaskan dampak negatif penyelenggaraan pilkada bisa dikurangi dengan mengawasi, dan perbaikan sistem penyelenggaraan.
"Ke depan kepala daerah yang bebas dari kepentingan pribadi atau kelompok akibat besarnya biaya pilkada, bisa bekerja secara total untuk kepentingan rakyat," ujarnya.
Sementara itu Pdt Saut Sirait yang menjadi pembicara kedua menjelaskan, gereja dan warga gereja berperan dalam menjalankan mandat Tuhan, termasuk dalam dunia politik.
Dia mengulas mengapa politik uang marak, antara lain gereja cenderung diam bahkan menjadi bagian dari sistem yang korup tersebut.[]