UU Cipta Kerja Genjot Investasi, Mampu Serap Tenaga Kerja?

Omnibus Law UU Cipta Kerja yang diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Lantas, seberapa banyak tenaga kerja yang diserap nantinya?
Ilustrasi Tenaga Kerja. (Foto: Tagar/Unsplash/John Salvino)

Jakarta - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet khawatir Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang diharapkan banyak menciptakan lapangan pekerjaan justru berbanding terbalik nantinya.

Menurutnya, hal itu bisa saja terjadi jika investasi yang ke Indonesia tidak bersifat padat karya.

"Yang dikhawatirkan itu, ketika jumlah investasi yang masuk hanya mampu menyerap sedikit tenaga kerja. Kenapa demikian? Karena ternyata investor yang masuk jenis investasinya bukanlah investor padat karya yang menyumbang serapan tenaga kerja yang banyak," kata Yusuf saat dihubungi Tagar, Senin, 12 Oktober 2020.

Apalagi trennya saat ini kenaikan investasi tidak selalu beriringan dengan kenaikan serapan tenaga kerja. Ini yang perlu diantisipasi.

Baca juga: Perbandingan Pesangon UU Cipta Kerja dengan Negara Lain

Padahal, kata Yusuf, dalam memanfaatkan bonus demografi, diperlukan lapangan usaha yang bisa menyerap jumlah tenaga kerja yang besar. "Di sinilah peran investasi manufaktur khususnya yang padat karya menjadi penting," ucapnya.

Yusuf Rendy ManiletEkonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. (Foto: Dokumentasi CORE Indonesia).

Sebab, kata dia, jika investasi yang masuk tidak sesuai dengan harapan pemerintah dan serapan tenaga kerjanya tidak besar. Menurutnya, ini bisa menghilangkan potensi pertumbuhan konsumsi yang lebih besar nantinya.

"Apalagi trennya saat ini kenaikan investasi tidak selalu beriringan dengan kenaikan serapan tenaga kerja. Ini yang perlu diantisipasi," ujar Yusuf.

Yusuf mengatakan dalam tataran teoritis, seharusnya penambahan investasi diikuti dengan penambahan serapan tenaga kerja. Menurut dia, dengan tenaga kerja yang bertambah akan diikuti dengan potensi peningkatan konsumsi.

"Jadi sebenarnya penurunan konsumsi tidak serta merta akan terjadi, apalagi jika pemerintah berhasil mempetahankan komponen yang mempengaruhi konsumsi seperti misalnya inflasi di tahap yang manageable, menurut saya konsumsi di tahap ini tidak akan turun secara drastis artinya pertumbuhan konsumsi mungkin akan tetap berada di kisaran 5 persen (ini pehitungan diluar pertumbuhan pada masa pandemi seperti sekarang)," tutur Yusuf.

Baca juga: Bisa Gak ya Investasi di UU Cipta Kerja Tingkatkan Konsumsi

Sebagai informasi, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perkonomian Airlangga Hartanto mengatakan UU Cipta Kerja bertujuan untuk menyederhanakan, sinkronisasi, dan memangkas regulasi yang begitu banyak atau obestias regulasi. Menurut dia ini tentunya dapat menghambat penciptaan lapangan pekerjaan.

"Kemudian, kita ketahui bahwa indonesia memiliki target untuk lolos middle income trap dengan bonus demografi yang ada, yang kita miliki saat ini sehingga golden moment ini kita tidak kesampingkan karena ini adalah momentum bagi Indonesia, apalagi saat sekarang kita sudah masuk dalam upper middle income country," kata Airlangga dalam konferensi pers virtual di Gedung Kemenko Perkonomian, Jakarta Pusat, Rabu, 7 Oktober 2020. []

Berita terkait
Perbedaan Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan Nomor 23/2003
Undang-Undang Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan dianggap merugikan kepentingan buruh.
Bisa Gak ya Investasi di UU Cipta Kerja Tingkatkan Konsumsi
UU Cipta Kerja yang dinilai bisa memperbaiki iklim investasi dan meningkatkan konsumsi harus diikuti dengan penyerapan tenaga kerja.
Cipta Kerja Atur Hutan Sosial Demi Keadilan & Lapangan Kerja
Kementerian LHK menegaskan, Perhutanan Sosial yang terkandung dalam UU Cipta Kerja merupakan wujud nyata keadilan kepada masyarakat.
0
Menkeu AS dan Deputi PM Kanada Bahas Inflasi dan Efek Perang di Ukraina
Yellen bertemu dengan Freeland dan janjikan kerja sama berbagai hal mulai dari sanksi terhadap Rusia hingga peningkatan produksi energi