Usaha Peti Jenazah, Cerita Mistis Hingga Misi Sosial

Tatik menceritakan suka dukanya menjadi pembuat peti jenazah. Mulai dari hal mistis yang dialami hingga misi sosial yang dilakukan.
Seorang karyawan Sedyo Rahayu sedang memelitur peti jenazah, di Jl Gambiran, Sabtu 7 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta - Aroma kapur barus mayat tercium saat memasuki kantor pembuat peti jenazah. Menurutku itu hal wajar karena selain membuat peti jenazah, tempat itu juga menyediakan beberapa perlengkapan mayat.

Beberapa pria terlihat sibuk di bagian depan tempat itu. Masing-masing dengan pekerjaan dan tugasnya, mulai dari menghaluskan papan salib hingga mendempul dan mempelitur peti jenazah setengah jadi.

Di bagian dalam, beberapa perempuan tak kalah sibuk. Mereka memasang kaon satin berwarna putih pada peti, atau disebut menyemog. Suara palu yang beradu dengan paku pada papan terdengar berirama, seperti bersaing dengan deru knalpot kendaraan di luar.

Beberapa menit berlalu, Maria Tatik Suriatiningsih, pemilik usaha peti jenazah Sedyo Rahayu menemui Tagar di kantor yang berukuran sekitar 3x3 meter itu, Sabtu, 7 Desember 2019.

Saat itu, Maria ditemani anak keempatnya, Leon Bhumi 33 tahun. Leon duduk di kursi di belakang meja utama di ruangan itu. Sementara ibunya duduk di sebelah kiri pintu masuk, di bawah pendingin ruangan.

Keduanya ramah menyapa dan sangat bersahabat. Tatik dengan suara lembut namun jelas, mengisahkan suka dukanya menjadi pembuat peti jenazah. Mulai dari hal mistis yang dialami hingga misi sosial yang dilakukan.

Usaha Peti JenazahPemilik usaha pembuatan peti jenazah, Maria Tatik Suriatingsih dan anaknya, Leon Bhumi. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Beragam Pengalaman Mistis

Sebagian orang meyakini bahwa orang-orang yang bekerja atau berhubungan dengan jenazah dan kematian, tak jarang mengalami hal mistis, termasuk pembuat peti jenazah. Tatik dan Leon tidak menampik hal itu.

Kata Tatik, hal semacam itu sudah dialaminya sejak awal menggeluti usaha ini pada 19 November 1984, atau 35 tahun lalu. Waktu itu Tatik masih mengerjakan semuanya sendiri, termasuk menyemog peti jenazah. Pernah sekali waktu, Tatik sedang menyemog salah satu peti, tiba-tiba dia mencium aroma yang sangat wangi.

"Dulu juga pernah, waktu saya masih garap sendiri, ada bau harum. Terus dalam hati saya bilang, 'ya sudah kalau mau segera digunakan, ayo bantu saya supaya cepat selesai'. Kok ya njuk (terus) cepat selesai dan saya tidak capek," jelasnya.

Keesokan harinya, peti jenazah yang baru selesai dikerjakan tersebut laku.

Kejadian mistis lain yang beberapa kali dialami adalah suara ketuk-ketuk pada peti jenazah yang mau laku. Seperti yang terjadi saat Tatik sedang duduk-duduk bertiga dengan suaminya, Yosep Tatabhumi Putranto dan seorang karyawannya.

Saat itu, dia belum memiliki rak, sehingga peti jenazah hanya ditumpuk empat susun. Tiba-tiba, ketiganya mendengar suara peti yang diketuk. Spontan Tatik dan Totok, suaminya mengatakan bahwa ada peti yang akan laku, seperti yang telah terjadi sebelum-sebelumnya.

Tapi mereka penasaran, peti mana yang berbunyi dan akan laku. Sang suami mengira peti yang akan laku adalah yang kedua dari atas. Lalu dia mencoba mengetuk untuk memastikan.

"Niki mangkeh pajeng, njuk sing didodok nomor loro seko nduwur, kok suarane bedo (Ini mau laku, kemudian dia mengetuk peti kedua dari atas, tapi suaranya berbeda). Njuk kulo dodok sing nomor telu, suarane podo (Lalu saya coba mengetuk yang ketiga, suaranya sama). Ternyata yang laku yang peti ketiga," urainya.

Pertanda peti yang akan laku, bukan hanya berdasarkan suara ketukan, tapi sesekali terdengar seperti suara peti yang dilempar dengan kerikil.

Hal mistis, kata dia, juga dialami oleh keluarganya yang membuka usaha serupa, di daerah Gondomanan, Yogyakarta. Saat itu, adik dan ayahnya sedang menonton televisi, yang terletak di samping peti jenazah.

"Terus adik saya lihat petinya goyang. Yang nonton tivi itu lihat semua, paginya laku," tuturnya.

Kejadian lain, kata Tatik, dialami oleh Totok dan anaknya saat mengantar jenazah ke Jepara. Saat itu Totok masih mengemudikan sendiri ambulans miliknya, termasuk mengantarkan jenazah ke daerah asal mayat.

Keduanya berangkat dari rumah sakit (RS) Panti Rapih Yogyakarta, saat senja. Ketika mereka tiba di daerah Grobogan, listrik di daerah itu sedang padam, termasuk di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Padahal, bensin mobil mereka sudah menipis.

Suaminya sudah pasrah dan berkata dalam hati, bahwa jenazah itu kemungkinan tidak bisa tiba tepat waktu, karena bensin tidak mencukupi. Tiba-tiba saja listrik di situ kembali menyala, dan dia bisa mengisi bahan bakar di SPBU. Anehnya, setelah mobil mereka keluar dari SPBU, listrik di sana kembali padam.

Saat kembali dari Jepara, keduanya kembali mengalami kejadian aneh, tepatnya saat melintasi hutan atau alas Gundi. Waktu itu pintu belakang mobil mereka seperti tertutup, padahal kondisi pintu mobilnya memang tertutup.

Mereka tiba di Jl Gambiran nomor 5, yang sekaligus tempat usahanya, sekitar pukul dua atau setengah tiga dini hari.

"Anak saya ketuk-ketuk pintu, terus masuk ke kamar mandi di dalam, terus saya keluar. Bapaknya masuk ke kamar mandi depan. Pas bapaknya keluar dari kamar mandi depan, dia melihat ke barat, tempat parkir ambulans," papar Tatik.

Saat Totok melihat ke arah ambulans, ada seseorang yang berdiri di belakang ambulans mereka. Orang itu menatap Totok, kemudian mengangguk seperti memberi hormat, lalu pergi ke arah selatan.

"Pak Totok bilang ke saya, ada orang. Jadi saya lari keluar, tapi tidak ada siapa-siapa, padahal orangnya jalan ke selatan, tapi nggak ada orang. Terus suami saya bilang, dia baru ingat bahwa orang itu persis dengan jenazah yang diantarkan," lanjutnya.

Usaha Peti JenazahSeorang karyawati Sedyo Rahayu memasang semog atau kain satin pada peti jenazah, di Jl Gambiran, Sabtu, 7 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Dimulai dari Usaha yang Bangkrut

Selain hal mistis, Tatik dan Totok memiliki banyak kisah dalam membangun usahanya. Termasuk kebangkrutan sebelum berkecimpung di dunia peti jenazah.

Saat keduanya pindah ke tempat itu pada tahun 1982, Totok masih berprofesi sebagai pedagang material bangunan. Tapi, tidak berselang lama, usahanya bangkrut. Totok ditipu oleh seorang kontraktor. Dua unit mobil truk dan pikap milik mereka terpaksa dijual.

"Hidup kami susah, terus bapak saya di Gondomanan bilang, saya dikasih kerjaan sama kakak saya yang sudah bikin peti jenazah terlebih dahulu," Tatik mengisahkan.

Waktu itu, kata Tatik, peti jenazah dari Gondomanan dibawa ke rumahnya di Jl Gambiran, menggunakan becak. Peti jenazah yang dibawa belum diberi lapisan kain, atau belum disemog.

"Belum model disemog (lapisi kain satin), dulu mentah. Terus kakak saya kasih kerjaan, yang seperti itu dibawa ke sini pakai becak, terus saya yang ngerjakan semognya sambil momong (mengasuh) anak," kenangnya.

Perlahan, seiring waktu berjalan, keluarga dan relasi mereka mulai mengetahui bahwa dia dan suaminya berdagang peti jenazah, meski bukan milik mereka pribadi. Pesanan pun mulai berdatangan, baik dari keluarga Totok maupun warga di dekat rumahnya.

Mengetahui perkembangan usaha anaknya, bapak Tatik pun menyarankan, agar mereka membuka usaha pembuatan peti jenazah sendiri. Tujuannya, selain mengais rezeki, juga untuk membantu orang yang sedang kesusahan.

"Jadi nanti kalau ada yang butuh tapi orang tidak mampu, kan bisa dikorting (diberi potongan harga). Kalau ambil dari sana, kan nggak bisa kasih potongan harga, karena bukan milik kita. Jadi saya bilang sama suami saya, tapi beliau nggak mau," paparnya.

Alasan utama Totok tidak mau membuka usaha pembuatan peti jenazah, karena dia merasa tidak tega mencari rezeki di atas duka atau kesusahan orang lain. Tapi, Tatik menjelaskan bahwa tujuannya juga untuk misi sosial, yakni membantu orang yang sedang berduka. Caranya, dengan memberi potongan harga.

"Kalau bikin sendiri kan kita bisa lihat sendiri, orang yang tidak mampu kita korting, misi sosial harus diutamakan. Jadi kita terima berapa pun dananya dia. Kalaupun tidak ada dana, tidak ada uang, ya kita gratiskan," tambahnya.

Tatik mengaku dia dan suaminya tidak takut rugi dengan misi sosial yang dibawanya. Alasannya karena dia yakin Tuhan tidak akan membiarkan usahanya itu bangkrut. Usaha yang dijalankannya, menurut Tatik, adalah milik Tuhan.

"Ini, usaha Sedyo Rahayu ini bukan milik kami, bukan. Itu milik bos saya yang di atas (Tuhan). Karena bukan milik kami, kami cuma buruh-buruhnya saja, kami menjalankan saja, ya kita percaya sama bosnya yang di atas sana. Kan nggak mungkin mau membiarkan kita merugi. Kalau memang itu tidak terbayar, ya sudah itu bukan rezeki kami. Pasti diberi jalan lain. Kalau mau rugi, kan sudah sejak dulu saya rugi," urainya.

Usaha Peti JenazahDua karyawati Sedyo Rahayu memasang kain satin pada peti jenazah, di Jl Gambiran, Sabtu, 7 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Bekerja Sama dengan Rumah Sakit

Seiring waktu berjalan, Tatik bukan hanya bergerak pada pembuatan peti jenazah semata. Dia melihat bahwa orang-orang yang berduka atau keluarganya meninggal, sulit untuk berpikir karena kesedihan yang mendalam.

Padahal, banyak yang harus mereka siapkan untuk ritual pemakaman dan pengurusan jenazah. Olehnya itu, Tatik mulai menyiapkan segala macam perlengkapan pengurusan jenazah, yang dikerjasamakan dengan penjual bunga hingga katering.

Tahun 1992, usahanya semakin berkembang. RS Panti Rapih mengajak Tatik untuk bekerja sama dalam menyiapkan peti jenazah, disusul oleh RS Bethesda, Panti Rini, Panti Nugroho, dan RS Elizabeth. Bahkan pada 1999, dia sudah mengantongi izin pelayanan ambulans.

"Ambulansnya dulu juga pemberian dari temannya pak Totok, namanya pak Haji Nurdin. Dulu ditanya butuhnya apa? jadi bilang butuh ambulans. Sempat ditawari L300 harganya Rp30 juta waktu itu, tapi suami saya belum mau, takutnya tidak jalan," dia mengisahkan.

Kemudian dia ditawari untuk menggunakan mobil Hiace produksi tahun 1980-an. Saat itu mobil tersebut digunakan untuk kandang ayam, tetapi mesin dan onderdilnya masih bagus. Akhirnya, Totok memperbaiki mobil itu dan digunakan sebagai ambulans.

"Sampai sekarang diizinkan mengelola ambulans dan peti jenazah," tuturnya.

Saat ini harga peti jenazah buatan Sedyo Rahayu beragam, mulai dari Rp775 ribu hingga Rp16 jutaan. Mereka juga memiliki beberapa pelanggan tetap, yakni para penjual peti jenazah di beberapa kota, di antaranya, Cilacap, Gombong, Magelang, dan Klaten.

Usaha Peti JenazahTumpukan peti jenazah yang siap untuk proses semog, di Jl Gambiran, Sabtu, 7 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Beragam Pengalaman Pengurusan Jenazah

Saat ini usaha Sedyo Rahayu juga melayani jasa pengiriman jenazah ke luar Yogyakarta, bahkan hingga ke luar Jawa. Leon, anak keempat Tatik, yang sering mendapat tugas untuk mengurus administrasi pengiriman, mulai dari tiket, kargo, dan perizinan.

Kata Leon, berdasarkan pengalamannya, pengurusan jenazah orang yang baik selalu lebih mudah. Sedangkan pengurusan jenazah orang jahat, biasanya ribet dan cenderung sulit.

"Bisa dititeni (diperhatikan), biasanya kalau pengurusannya gampang, orang itu waktu hidup juga selalu memudahkan orang lain, suka menolong. Tapi, kalau waktu hidupnya suka bikin susah orang, itu pengurusannya ribet. Nulis saja kadang salah," ucapnya.

Selain sifat seseorang selama hidup, wasiat terakhir dari orang yang sudah meninggal, tak jarang tepat dengan peti yang dibutuhkan. Dia mencontohkan tentang seseorang yang membuat wasiat sebelum meninggal.

Orang itu mempunyai lima anak. Sebelum meninggal dia meminta agar jenazahnya nanti disemayamkan dengan peti jenazah yang paling sederhana. Kelima anaknya tidak berkenan, karena mereka berpikir bahwa mereka mampu membeli peti jenazah termahal.

Si anak pun kemudian memesan peti jenazah termahal, yakni jenis ukiran mataraman berbahan jati. Tapi saat akan memesan peti, dia menyampaikan wasiat tersebut pada Totok.

"Jadi bapak saya tanya, ukuran pintu rumahnya berapa? Lebar pintu rumah harus disesuaikan dengan lebar peti, demikian pula dengan lebar lubang makam," kata Leon.

Setelah diketahui lebar pintu rumahnya, ternyata ukuran yang pas adalah peti jenazah yang sederhana, sesuai dengan wasiat terakhir si mayat.

"Jadi bapak bilang, kelebihan uang yang mau dibelikan peti paling bagus, disumbangkan ke orang miskin saja, supaya lebih bermanfaat. Jadi orangnya minta yang harga Rp15 juta, akhirnya cuma pakai yang dua juta rupiah," imbuhnya.

Hal lain yang juga beberapa kali dialami adalah seseorang memesan peti jenazah untuk dirinya sendiri. Biasanya jika ada yang seperti itu, pihaknya enggan melayani. Salah satu alasannya adalah kepercayaan bahwa jika seseorang memesan peti jenazah untuk dirinya sendiri, yang meninggal justru keluarga atau kerabatnya.

Dia mencontohkan seseorang yang memesan peti jenazah untuk ibunya yang sudah tua. Saat peti itu dikirimkan, si pemesan justru meninggal dan peti itu digunakan untuk dia, meski dua jam setelah itu, si ibu juga meninggal dunia.

"Saya, kalau ada yang pesan untuk jaga-jaga begitu, biasanya bilang milihnya yang mana?, nanti saya siapkan, tapi belinya nanti saja, jangan di dp (panjar), jangan ditandatangani. Saya nggak mau. Karena sering begitu justru keluarganya," tegasnya.

Heri, seorang karyawan Sedyo Rahayu, juga menceritakan bahwa pernah ada seorang pendeta dari Belanda yang meninggal dunia. Postur tubuh pendeta atau romo itu cukup tinggi, sehingga peti terpanjang yang dimiliki, tidak cukup untuk tubuhnya.

Tapi, secara tiba-tiba, kaki romo itu terlipat ke atas, tepatnya di sendi yang menghubungkan telapak kaki dan mata kaki, sehingga tubuhnya pas di dalam peti.

Heri juga mengaku sering mendapatkan firasat atau pertanda jika peti jenazah akan laku, yakni berupa aroma bunga atau kapur barus.

"Kalau wangi bunga mawar, biasanya peti yang biasa. Tapi, kalau bunga sedap malam, biasanya yang laku peti besar. Kadang juga aroma kapur barus yang digunakan pada mayat, kan beda baunya dengan kapur barus baru," ujarnya.

Mendengar pernyataan Heri, Tagar spontan teringat saat pertama kali memasuki ruang kantor pembuatan peti tersebut, yakni aroma kapur barus mayat. Leon, Tatik dan Heri, serentak menjawab bahwa di ruangan itu tidak ada kapur barus. Kalaupun ada, aromanya tidak akan tercium karena masih tersegel. []

Berita terkait
Pocong dan Lelembut Lain di Gunung Kelir Bantul
Banyak peziarah mendatangi Bukit Gunung Kelir Bantul, untuk tujuan tertentu. Tempat itu tergolong angker. Ditunggui pocong dan tujuh lelembut lain.
Pocong Perempuan di Rumah Tua Kotagede Yogyakarta
Ada ratusan hantu di rumah tua itu. Ada yang jahat dan baik. Satu yang sering iseng adalah hantu pocong bernama Sumi.
Sumur Tua Menyeramkan di Pabbineang Bantaeng
Sumur tua di Kecamatan Bantaeng, banyak cerita seram tentangnya. Namun, sumur tua itu juga menjadi sumber kehidupan warga setempat.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.