Strategi Ekonomi Indonesia Atasi Dampak Covid-19

Berdasarkan assessment dengan skenario terburuk Indonesia akan mengalami perlambatan ekonomi hingga minus 0.4 persen.
Pedagang kaki lima berjalan di dekat mural bertema pencegahaan penyebaran virus Corona atau COVID-19 di Jakarta, Rabu, 1 April 2020. (Foto: Antara/Aprillio Akbar)

Berdasarkan assessment dengan skenario terburuk Indonesia akan mengalami perlambatan ekonomi hingga minus 0.4 persen. 

Selain sedang berusaha menghadapi penyebaran virus corona di dalam negeri, Indonesia tidak dapat lepas dari dinamika perekonomian global. Seperti diketahui semua negara saat ini juga masih fokus menangani wabah Covid-19 yang pada akhirnya mengganggu kepercayaan investor, sektor pariwisata/travel, supply chain dan pasar keuangan. Prospek pelemahan ekonomi global tersebut diperparah lagi dengan kecenderungan pelemahan harga minyak mentah global.

Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kemenkeu, BI, OJK dan LPS, melakukan assessment untuk memperkirakan skenario berat dan terberat yang mungkin akan kita hadapi akibat dari dampak Covid-19 pada ekonomi Indonesia.

Tabel data: Presentasi Sri MulyaniTabel data: Presentasi Sri Mulyani

Berdasarkan pemaparan Sri Mulyani, hasil dari assessment tersebut, maka untuk skenario berat, ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 2,3% atau turun 3% dibanding asumsi APBN 2020. Dan skenario sangat berat adalah ekonomi Indonesia dapat mengalami penurunan atau minus 0.4%. 

Sebagai perbandingan pada krisis keuangan 2008, kondisi aktual yang terjadi pada tahun 2009, ekonomi Indonesia masih mampu bertumbuh di angka 4,6%, dimana di tahun sebelumnya yakni 2008 adalah 6%, atau turun 1,4%.

Baca juga: Covid-19, Negara G20 Diprediksi Resesi, Kecuali RI dan 2 Negara Lain

Artinya dari skenario ini, dapat dikatakan bahwa penurunan ekonomi untuk skenario berat akan lebih buruk 2,1 kali dibanding aktual yang terjadi di 2009 dan untuk skenario sangat berat dampaknya lebih buruk 4,1 kali dibanding krisis ekonomi 2008-2009.

Mengapa Lebih Buruk dari Kondisi 2008?

Mengapa skenario ini cenderung lebih parah dibanding 2008? Karena kala itu Indonesia masih mampu menahan dampaknya pada struktur ekonomi yang sebagian besar ditopang oleh sektor konsumsi domestik. Dan memang pada waktu itu, masyarakat di daerah masih tetap beraktivitas normal, demikian juga UKM yang tidak berhubungan dengan ekspor impor masih tergolong beroperasi normal. 

Situasi saat ini berbeda, pandemi virus corona atau Covid-19 merusak hingga ke level konsumsi masyarakat di bawah. Untuk mengontrol penyebaran virus ini, salah satu cara terbaik adalah masyarakat tinggal di rumah dan mengurangi aktivitas di luar. Sekolah diliburkan, karyawan sebagian besar harus bekerja di rumah, tempat wisata dan hiburan terpaksa ditutup. Dengan berhentinya aktifitas ini tentu warung-warung kecil yang berada di sekitar lokasi akan berhenti penghasilannya. 

Di berbagai daerah, pemda dan petugas kepolisian dibantu TNI memberikan imbauan agar masyarakat menghindari kumpul di warung atau tempat makan minum dengan tujuan baik agar penyebaran covid-19 dapat dikontrol. Sebagai gambaran di 2019 sendiri, konsumsi rumah tangga menopang Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 56,82%, sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS).

Jika melihat lebih dalam lagi dari assessment yang dilakukan oleh KSSK disebutkan juga bahwa konsumsi rumah tangga yang semula berdasarkan asumsi APBN 2020 di angka 5,0% turun menjadi 3,22% pada skenario berat dan menjadi hanya 1,6% dengan skenario sangat berat.

Sebagai gambaran, saat ini ada 7 juta warga negara Indonesia yang yang masih belum mendapatkan pekerjaan (pengangguran), dan pertumbuhan ekonomi 5% itu setara dengan penciptaan lapangan kerja untuk 2 juta hingga 2,5 juta warga negara Indonesia. 

Artinya dengan skenario berat dimana ekonomi hanya bertumbuh 2,3% itu hanya akan membuka lapangan pekerjaan untuk 920 ribu hingga 1,2 juta warga negara. Dan dengan skenario sangat berat yaitu ekonomi minus 0,4% artinya justru akan masyarakat kehilangan pekerjaan sekitar 160 ribu hingga 200 ribu orang dibanding tahun 2019, belum termasuk sektor informal yang bekerja untuk memperoleh penghasilan harian.

Antisipasi pada Skenario Terburuk 

Walaupun hasil assessment yang dilakukan oleh KSSK ini terlihat begitu menakutkan, Sri Mulyani menekankan bahwa justru asumsi ini akan menjadi patokan agar jangan sampai skenario terburuk atau sangat berat terjadi. Itulah mengapa pemerintah berusaha mengeluarkan beberapa kebijakan dan stimulus untuk mengurangi dampak dari wabah pandemi Covid-19.

Pada 1 April 2020, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan, dimana diputuskan pemerintah menambah belanja dan pembiayaan anggaran untuk menangani dampak Covid-19, yaitu sebesar Rp 405,1 triliun.

Tabel Anggaran Atasi Covid-19Tabel Belanja dan Anggaran untuk mengatasi dampak Covid-19 (diolah oleh Yossy Girsang)

Sesuai dengan penjelasan di halaman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, detail dari penggunaan Anggaran tersebut sebagai berikut:

Prioritas ke-1 untuk kesehatan sebesar Rp 75 triliun, terutama untuk insentif tenaga medis dan belanja penanganan kesehatan. Prioritas ke-2 untuk social safety net akan diperluas sebesar Rp 110 triliun. Prioritas ke-3 adalah dukungan kepada industri senilai Rp 70,1 triliun (pajak, bea masuk, KUR). Prioritas ke-4 adalah dukungan pembiayaan anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 150 triliun.

Prioritas Pertama Terkait Kesehatan sebesar Rp 75 Triliun 

Sebesar Rp 65,8 triliun digunakan untuk belanja penanganan kesehatan, seperti:

• Alat Kesehatan: Alat Pelindung Diri (APD), Rapid test, Reagen

• Sarana Prasarana kesehatan

• Dukungan SDM.

Sebesar Rp 5,9 triliun untuk insentif: tenaga medis pusat (Rp 1,3 triliun) dan tenaga medis daerah (Rp 4,6 triliun).

Terkait dengan ketersediaan alat kesehatan:

• Untuk APD, terdapat 28 Perusahaan yang memproduksi APD dengan kapasitas produksi 17.360.000 pcs/bulan.

• Gown/Surgical Gown, 5 perusahaan kapasitas produksi 508.800 pcs/bulan.

Terkait dengan Industri Farmasi dan Fitofarmaka:

• Terdapat 206 perusahaan farmasi: 4 BUMN (PT. Kimia Farma Tbk; PT. Indofarma Tbk; PT. Biofarma Tbk; PT. Phapros Tbk), 178 industri swasta, 24 multinational company (MNC).

• Kebutuhan obat nasional: 76% sudah mampu dipenuhi Industri farmasi dalam negeri, sisanya 24% merupakan obat paten dan berteknologi tinggi harus diimpor.

• Terdapat 8 industri farmasi yang mampu memproduksi vitamin C dosis tinggi dengan kapasitas di atas 3 juta tablet per bulan (Kalbe Farma yang terbesar kapasitasnya mencapai 15 juta tablet/bulan)

• Suplemen pemelihara daya tahan tubuh berbahan alam, terdapat 16 industri dengan produksi total 72 juta kapsul/bulan.

Prioritas Kedua Terkait Perlindungan Sosial

• Program PKH 10 juta KPM, dibayarkan bulanan mulai April (bantuan naik 25%).

• Kartu Sembako dinaikan dari 15,2 juta menjadi 20 juta KPM, dengan manfaat naik dari Rp 150.000 menjadi Rp 200.000 selama 9 bulan.

• Kartu Prakerja dinaikkan dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun, untuk meng-cover sekitar 5,6 juta pekerja formal, informal, pelaku usaha mikro dan kecil. Penerima manfaat mendapat Rp 3.550.000 per individu

• Pembebasan biaya listrik 3 bulan untuk 24 juta pelanggan listrik 450 VA, dan diskon 50% untuk 7 juta pelanggan 900 VA bersubsidi.

• Tambahan insentif perumahan bagi pembangunan perumahan MBR s.d. 175 ribu.

• Dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok sebesar Rp 25 triliun.

Prioritas Ketiga Terkait Dukungan Dunia Usaha 

• PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah, untuk pekerja dengan penghasilan maksimal 200 juta setahun, di sektor industri pengolahan, Pariwisata dan penunjangnya (transportasi, akomodasi), serta sektor lainnya. Percepatan penyesuaian pemberlakuan PPh berlaku di tahun 2020.

• Pembebasan PPh Pasal 22 Impor untuk 19 sektor tertentu, wajib pajak Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan wajib pajak KITE IKM.

• Pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30% untuk sektor tertentu, WP KITE dan WP KITE IKM.

• Restitusi PPN dipercepat bagi 19 sektor tertentu untuk menjaga cash-flow dan likuiditas keuangan pelaku usaha.

• Penundaan pembayaran pokok dan bunga selama 6 bulan untuk KUR.

• Penurunan tarif PPh badan menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021, serta menjadi 20% mulai tahun 2022.

Terkait Dukungan untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil 

• Tujuannya untuk mempertahankan kelangsungan usaha UMK

• Stimulusnya berupa penundaan angsuran pokok dan bunga semua skema selama 6 bulan untuk kredit usaha rakyat (KUR) yang terkena dampak Covid-19.

• Beban akibat penundaan bunga dan pokok KUR selama 6 bulan menjadi tanggungan pemerintah, dengan alokasi anggaran sebesar Rp 6,1 triliun.

• Penundaan pembayaran akan diikuti dengan relaksasi ketentuan KUR sejalan ketentuan restrukturisasi kredit sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK.

Terkait dengan Program Kartu Prakerja 

• Kartu Prakerja salah satu instrumen untuk memberikan insentif kepada:

a) Pekerja yang mengalami penurunan pendapatan dan kehilangan pekerjaan;

b) Pelaku Usaha yang mengalami kesulitan usaha;

• Tujuan program ini untuk meningkatkan daya beli dan mengurangi beban biaya hidup bagi pekerja dan pelaku usaha yang terdampak Covid-19;

• Manfaat yang diterima: Rp 3.550.000 per peserta, terdiri dari: 

a) Bantuan pelatihan sebesar Rp 1.000.000.

b) Insentif penuntasan pelatihan sebesar Rp 600.000 per bulan selama empat bulan; 

c) Insentif survei kebekerjaan sebesar Rp 150.000;

• Total anggaran program sebesar Rp 20 triliun, dengan total jumlah penerima program tahun 2020 maksimal sebanyak 5.605.634 orang, dan peserta program per minggu paling banyak 164.872 orang;

• Jenis pelatihan yang dapat diambil dalam program Kartu Prakerja di masa pandemik Covid-19 adalah yang berbasis daring (online);

• Platform digital yang bekerja sama dengan Program Kartu Prakerja, untuk sampai saat ini antara lain: Tokopedia, Bukalapak, Skill Academy by Ruangguru, MauBelajarApa, HarukaEdu, PijarMahir, Sekolahmu dan Sisnaker.

*Yossy Girsang, Pengamat Ekonomi dan Praktisi Pasar Modal

Tim Ekonomi Tagar

Berita terkait
Corona, Moody's Ramal Ekonomi RI Tumbuh 3 Persen
Lembaga pemeringkat internasional, Moodys memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 melambat hingga 3,00 persen, imbas virus corona.
Ramalam ABD, Ekonomi RI Bisa Melambat Imbas Covid-19
ADB memperkirakan pandemi virus corona Covid-19 dan penurunan harga komoditas serta gejolak pasar akan membuat ekonomi Indonesia melambat.
Atasi Corona, HIPMI Usul Bentuk Gugus Tugas Ekonomi
HIPMI mengusulkan pembentukan gugus tugas ekonomi untuk mengatasi dampak pandemi virus corona Covid-19.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.