Jakarta - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Johanes Tuba Helan menyebut wacana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam poin yang tertuang pada revisi UU KPK disebut tidak perlu.
Menurut dia, wacana akan adanya SP3 terhadap kasus yang sedang dalam penyelidikan dirasakan akan membuat KPK menjadi hati-hati menangani kasus yang digulirkan aktor besar dan berskala lintas negara karena memerlukan waktu yang panjang ketika menanganinya.
Alasannya, KPK sudah diawasi oleh pengadilan di mana proses perkara korupsi diputuskan oleh pengadilan.
"Jadi kalau ada yang tidak menerima penetapan jadi tersangka oleh KPK, maka dapat menempuh praperadilan," kata Johanes Tuba di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin, 16 September 2019, seperti dilansir dari Antara.
Eks Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT itu juga menyebut adanya wacana Dewan Pengawas untuk mengontrol kinerja KPK dinilainya tidak terlalu dibutuhkan. "Alasannya, KPK sudah diawasi oleh pengadilan di mana proses perkara korupsi diputuskan oleh pengadilan," kata Johanes.
Posisi Dewan Pengawas KPK, masuk dalam usulan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Revisi UU KPK yang saat ini tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR.
"Sebenarnya KPK sudah diawasi oleh pengadilan karena proses perkara korupsi pada akhirnya diputus oleh pengadilan, apakah terbukti atau tidak," katanya.
Selama ini kinerja KPK sangat baik dibandingkan dengan institusi penegak hukum yang lain dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini. Sebab itu, tidak penting dibentuk Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi lembaga itu.
Baca juga: