Setya Novanto, Hukuman Apa yang Pantas untuk Seorang Koruptor Seperti Dirinya

Vonis 15 tahun penjara untuk Setya Novanto, imbangkah dengan kejahatan dan 'drama'nya.
Terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Setya Novanto. (Foto: Ant/Wahyu Putro A)

Jakarta, (Tagar 26/4/2018) - Akhirnya rakyat Indonesia bisa melihat sudah tiga pimpinan lembaga negara dijatuhi hukuman setelah mantan ketua DPR Setya Novanto divonis 15 tahun penjara, menyusul mantan ketua MK Akil Mohtar dan mantan ketua DPD Irman Gusman.

Mereka semua dijatuhi hukuman penjara dan bahkan denda gara-gara uang haram hasil korupsi ataupun gratifikasi.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada Selasa, 24 April 2018 menjatuhkan hukuman berbagai jenis terhadap Setya Novanto yang merupakan pula mantan ketua umum Partai Golkar, salah satu parpol terrbesar di Tanah Air. Politikus yang juga pengusaha ini dijatuhi hukuman penjara 15 tahun, ditambah membayar uang denda Rp500 juta, membayar uang pengganti Rp65,7 miliar yang untungnya 'dikorting' Rp5 miliar karena sudah mengembalikan uang hasil korupsi tersebut.

Yang pasti tak kalah menyakitkan bagi Setnov ini adalah hak politiknya dicabut selama lima tahun setelah nantinya menjalani hukuman penjara yang belum diketahui dimana bui tersebut sehingga karier politiknya praktis bisa disebut sudah punah 100 persen.

Setnov dibawa ke meja hijau karena terbukti ikut menikmati uang korupsi dari proyek pembuatan kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-E sebanyak Rp2,3 triliun dari total sebanyak Rp5,9 triliun. Dia dianggap bersalah karena saat menjadi ketua Fraksi Golkar tahun 2011 ikut-ikutan 'menangani' proyek raksasa ini dengan melibatkan segelintir pejabat Kementerian Dalam Negeri, beserta sejumlah pengusaha, bahkan segelintir wakil rakyat 'yang terhormat' di DPR Senayan, Jakarta.

Politikus ini sebelumnya diduga juga terlibat dalam kasus 'papa minta saham' di PT Freeport Indonesia yang berlokasi di Tembagapura, Papua karena membawa-bawa nama Presiden Joko Wododo. Saat ini, masyarakat bisa melihat bahwa Jokowi begitu murkanya karena disebut-sebut ingin 'meminta' saham dalam proses divestasi PT FI yang berkantor pusat di Amerika Serikat.

Bahkan ketika Donald Trump sedang melakukan kampanye di Amerika Serikat sebagai presiden negara itu, Setnov lucunya digandeng- gandeng dan disebut sebagai sahabat capres negara adidaya tersebut.

Puaskah rakyat? Sebelumnya jaksa penuntut umum pernah mengajukan tuntutan hukuman kepada majelis hakim atas politikus 'ulung' ini agar dihukum penjara 16 tahun. Namun rupanya para hakim 'memberikan korting' sehingga dianggap cukup dengan 15 tahun saja.

Mantan ketua umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla yang kini menjadi Wakil Presiden menyatakan bahwa sebagai orang pemerintah dia tidak bisa banyak berkomentar tentang hukuman terhadap Setnov itu. Namun Kalla mengingatkan seluruh jajaran pemerintah terutama para pejabat untuk tidak mengikuti langkah Setnov supaya tidak ikut pula suatu saat dibawa ke penjara.

Sekalipun Jusuf Kalla tidak banyak berkomentar, rupanya pernyataan ini bisa dianggap mencerminkan keinginan seluruh rakyat Indonesia agar tidak ada lagi pejabat di tingkat pusat maupun daerah mulai gubernur, bupati dan wali kota, kemudian DPR, DPD hingga DPRD harus 'menikmati' aroma bui.

Masyarakat pasti tidak bisa melupakan Surya Dharma Ali alias SDA yang merupakan mantan menteri agama dijatuhi hukuman penjara karena ikut menikmati uang dari biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH), padahal dia juga menjadi ketua umum Partai Persatuan Pembangunan, sebuah partai berazaskan agama. Kemudian ada juga beberapa mantan anggota DPR seperti Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum hingga Mohammad Nazaruddin.

Belum lagi mantan gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho, mantan bupati Subang (Jawa Barat) Immas A, mantan bupati Kutai Kartanegara (Kaltim), Rita Widya Sari. Rasanya masih banyak lagi bupati dan wali kota yang harus rela melepaskan kursi empuknya gara-gara korupsi, menerima sogokan alias gratifikasi atau apa pun istilahnya.

Penyalahgunaan uang rakyat atau negara itu umumnya terjadi karena mata oknum-oknum tersebut terlalu 'silau' melihat bergepok-gepok uang apalagi jika sebelumnya tidak memiliki uang ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Belum lagi kalau mereka merasa pernah harus membayar 'biaya' atau 'ongkos politik' untuk menjadi pejabat negara apa pun jenjangnya mulai dari gubernur, wali kota serta bupati bahkan saat seseorang ingin menjadi kepala dinas atau sekadar ingin naik pangkat.

Biaya politik untuk menjadi seorang bupati saja menurut KPK bisa mencapai Rp20 miliar hinggaRp30 miliar.

Masyarakat tentu bisa membayangkan bahwa Setnov setiap bulannya pasti mendapat gaji serta tunjangan puluhan juta rupiah. Belum lagi rumah serta mobil dinas yang mulus, memiliki pengawal dari Polri, serta berbagai kenikmatan duniawi lainnya. Namun ternyata masih juga korupsi.

Sikap mental Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa korupsi bukan terjadi karena kurangnya gaji aparat pemerintah, melainkan akibat jeleknya sikap mental. Karena itu, Tjahjo minta semua jajarannya untuk memperbaiki sikap mentalnya.

Pernyataan Mendagri itu sedikit banyaknya tak berlebihan karena pegawai negeri sipil yang kini disebut sebagai aparatur sipil negara alias ASN yang jumlahnya sekitar 5,4 juta orang itu pasti kehidupan sehari-harinya sedikit banyaknya sudah dijamin pemerintah melalui gaji, insentif, tunjangan dan lain-lainnya dibandingkan dengan puluhan juta warga negara Indonesia lainnya yang masih harus pontang-panting hidupnya karena belum mempunyai pekerjaan tetap.

Setnov, Surya Dharma Ali, Angelina Sondakh, Imas, Rita dan semua koruptor lainnya pasti pernah melihat gelandangan, tuna wisma, tuna rungu dan kelompok-kelompok orang miskin lainnya yang dengan susah payah harus mencari uang yang cuma beberapa ribu rupiah setiap harinya supaya tetap bisa hidup.

Jadi, seharusnya tidak ada alasan apa pun juga bagi orang-orang jahat itu untuk melakukan tindak kriminal di mana pun juga, berapa pun jumlahnya dan dengan dalih apa pun.

Keluarga Setnov sedikit banyaknya pasti merasakan kesedihan yang amat mendalam saat melihat sebuah surat kabar yang memasang foto Novanto dibalik jeruji sebuah mobil tahanan. Sebagai perbandingan sederhana atau kecil, Setnov selama belasan tahun sudah sangat terbiasa dengan naik mobil yang amat keren atau mewah.

Karena itu, jajaran pemerintah perlu mengingat-ingat harapan Wapres agar tidak ada lagi aparat sipil dan juga seharusnya prajurit TNI dan Polri yang terlibat kasus penyalahgunaan uang rakyat.

Sementara itu, kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Agus Rahardjo tentulah rakyat ingin minta agar mereka terus meneliti dan menyidik semua dugaan korupsi yang melibatkan orang- orang penting dalam pemerintahan sekalipun ada wakil-wakil rakyat yang 'amat terhormat' yang ingin sekali membubarkan lembaga antirasuah ini dengan 1001 dalih antara lain yang mensponsori pembentukan panitia khusus KPK.

Beberapa bulan lalu, rakyat melihat ada keributan internal di dalam KPK terutama ketika seorang direktur menemui anggota DPR tanpa izin sama sekali dari pimpinan KPK apalagi pimpinan organisasi induknya, Kepolisian Republik Indonesia atau Polri sudah secara jelas melarang perwira itu menemui wakil rakyat yang 'terhormat' tersebut. Kasus ini tentu tidak boleh terulang kembali.

Apabila tetap saja ada pegawai pemerintah korupsi, maka pertanyaan yang sangat mendasar dari rakyat adalah apakah pemerintah itu memang berniat atau tidak untuk mengikis korupsi dan kemudian menghukum seberat mungkin semua koruptor tanpa kecuali.

Pemerintah pasti tidak ingin rakyat kehilangan rasa percayanya terhadap pemerintahan. Karena itu, tidak ada cara lain yang secara konsekuen memberantas upaya dalam bentuk apa pun agar tidak 'makan uang rakyat'. (arn/ant/af)

Berita terkait
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu