Sejarah Awal Masuknya Islam di Aceh

Membicarakan sejarah awal masuknya Islam ke Nusantara tidak terlepas dari provinsi paling barat di Indonesia, Aceh.
Dokumentasi Masjid Raya Baiturahman pada tahun 1885 yang diabadikan di Museum Aceh. (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Banda Aceh - Membicarakan sejarah awal masuknya Islam ke Nusantara tidak terlepas dari provinsi paling barat di Indonesia, Aceh. Aceh lampau dinilai lokasi paling strategis di Asia Tenggara sehingga menjadi hilir mudik pengembara dan penjelajah dunia.

Dalam catatan penjelajah asing maupun lokal, Aceh kala itu menjadi jalur pelayaran tersibuk di dunia lantaran di kelilingi Selat Malaka dan Samudra Indonesia. Masuk-keluarnya pedagang dan penjelajah mengiringi masuknya Islam ke Aceh.

Seperti catatan pedagang dan penjelajah Italia Marco Polo pada abad ke-13. Marco Polo yang dikenal kerap mengililingi dunia pernah singgah ke sejumlah pelabuhan Nusantara, seperti pelabuhan Ferlec, Basman, Sumatera, Dagroian, Lambri, dan Fansur. Dalam catatan Marco Polo di pelabuhan tersebut terdapat penganut agama Islam (Lombard,1991:41).

Goresan Marco Polo ke sejumlah pelabuhan itu diperkuat oleh buku Kronika Pasai yang ditulis Teuku Ibrahim Alfian (1973). Buku itu menyadur The Travels of Marco karya William Marsden yang terbit pada 1946. Isinya, dari lokasi yang pernah dijelajahinya di Nusantara pada 1292, hanya penduduk Samara (Samudra) yang belum memeluk agam Islam.

Dalam The Travels of Marco, Marco Polo kemungkinan melihat penduduk Samara tidak hanya di pusat kota saja, melainkan hingga penduduk tepi pantai yang belum mempunyai peradaban.

Aceh di masa lampau berada di kawasan Samudera Pasai, lokasinya saat ini di Kota Lhokseumawe, Aceh Utara, dan sekitarnya.

Masjid Raya BaiturahmanMasjid Raya Baiturahman merupakan peninggalan sejarah dari masa kerajaan Aceh Darussalam. (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Catatan menguatkan Marco Polo lainnya, sebelumnya dirilis Dr B J.O. Schrieke dalam bukunya Het Boek van Bonang (Diss Leiden, 1916). Dalam bukunya, kerajaan yang ada di Sumatera cuma Ferlec yang telah memeluk agama Islam.

Kata Marco Polo, This Kingdom, you must know, is so much frequented by the Saracen merchants that they have converted the natives to the Law of Mohammad - I mean the town people only (Ed. Yule 3 (1903) II : 284).

Informasi lainnya datang dari penjelajah Maroko, Ibnu Batuttah. Dia mengunjungi Samudera Pasai selama 15 hari pada 1345 (Alfian, 1973:21). Ibnu Batuttah bertemu dengan pemimpin Kesultanan Samudra Pasai yang waktu itu dijabat Raja Malik Al-Zahir. 

Baca juga: Aktivis Perempuan Aceh: Perda Poligami Tidak Penting

Batuttah mengatakan Raja Malik bermazhab Syafi'i taat kepada ajaran Muhammad SAW, dan dekat dengan ahli agama Islam. Pertemuan keduanya ditulis Ibnu Batuttah dalam bukunya Travels in Asia and Afrika 1325-1354 (Tjandrasasmita, 1988:70).

Sumber lain yang menuliskan masuknya Islam di wilayah Aceh ialah Tome Pires, seorang musafir dari Portugis. Tome Pires pernah mengunjungi Samudera Pasai --yang kala itu berada berada di Kota Lhokseumawe, Aceh Utara-- pada Febuari 1516 (Alfian 1973). Kunjungan itu dibukukan dalam jurnal berjudul Suma Oriental.

Suma Oriental berisi tentang perjalanannya mengelilingi dunia. Jurnal itu kemudian diterjemahkan oleh Armando Cortesao berjudul The Suma Oriental of tome’Pires yang diterbitkan oleh Hakluyt Society London pada 1994 (Ibrahim, 1974:74).

Makam MalikussalehMakam Malikussaleh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara. (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Begitu juga penjelajah Portugis Cortesao dalam bukunya An Account of The East, From The Red Sea To Japan, Written In Malaca and India In 1512-1515, dikutip dari Tjadrasasmita (2000:18), Cortesao menyebut 160 tahun sebelum mengunjungi Samudra Pasai, raja-raja yang belum beragama di sana telah dikuasai oleh pedagang-pedagang Islam. Mereka juga mengangkat seseorang, menjadi raja Islam dari kasta Benggala (Pires, 1944:143). 

Sementara catatan lainnya berasal dari China. Ditulis seorang musafir bernama I-Ching yang melakukan perjalanan dari Kanton pada 671 M. I-Ching yang mengutip pernyataan penjelajah lain, Po-Sse, mengatakan pada masa itu telah ada Islam di Nusantara.

Po-Sse juga menyertakan kisah Hsin-Ting-Shu yang menyebutkan seorang Ta-Shih berniat menyerang kerajaan Ho-Ling pimpinan Ratu Sima pada 674 M. Beberapa ahli menyakini yang dimaksud Po-Sse musafir Buddha bernama Parsi dan Ta-Shih, keduanya orang Arab. Maka dugaan kuat ahli mengatakan orang Parsi dan Arab sudah ada di Asia Tenggara sejak abad ke-7, mereka juga menyebarkan Agama Islam.

Penjelajah China lain yang menguatkan keberadaan Islam di Aceh adalah Cheng Ho dan Ma Huan. Dalam catatan keduanya, mereka menulis A-lu (Aru; Kerajaan Aru berlokasi di pantai timur Sumatra Utara), Su-men-ta-la atau Hsiu-wen-tala (Samudra; Samudra Pasai terletak di Lhoksumawe), dan Lan-wu-li atau Lan-po-li (Lamuri; Kerajaan Lamuri terletak di Aceh Besar). 

Sumber lain dari China ialah jurnal Tong-his-yang-kao karangan Tchang Hien pada 1618. Catatan itu menceritakan petunjuk-petunjuk mengenai Aceh modern, terdapat juga tentang agama, dan mengenai penjabat-penjabat perniagaan lama di Sumatera Utara (Lombard,1991:38).

Sejarawan AcehSejarawan Aceh, Husaini Ibrahim (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Sudut Pandang Sejarawan 

Sejarawan Aceh Husaini Ibrahim menyebutkan, selain laporan perjalanan para penjelajah dunia yang pernah singgah, atau kerajaan awal Islam pada masa itu, sejarah masuknya Islam di Aceh dapat ditelusuri dari bukti nisan.

Husaini mengakui penjelajah seperti Marco Polo, Ibnu Batuttah, dan Tome Pires, sangat membantu dalam mengungkapkan penelitian tentang sejarah kawasan awal Islam di Asia Tenggara.

"Karena catatannya (penjelajah dunia) selain memberikan informasi keadaan negeri saat dikunjunginya, juga ada hubungan dengan data lain dilapangan tentang perkembangan Islam di Aceh dan Nusantara, terutama data arkeologis yang memberikan gambaran secara lebih jelas," kata Husaini kepada Tagar.

Catatan Ibnu Batuttah tentang Islam di Nusantara pada abad ke-14, kata Husaini, menguatkan kerajaan Islam berkembang dengan baik di Aceh pada masa itu. Atas dasar itu, Husaini yakin Islam di Aceh telah ada sejak abad ke-13 M.

"Ini dapat dibuktikan hingga sekarang, masih banyak ditemukannya peninggalan yang menunjukan Aceh adalah sebagai daerah pertama pengembangan Islam di Nusantara, dan saya semakin menyakinkan permulaan Islam di Aceh jauh sebelum abad ke-13 masehi," ujar Husaini.

Baca juga: 100 Kalimat Padanan Bahasa Indonesia-Aceh


Berita terkait
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Rabu 22 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Rabu, 22 Juni 2022 untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.034.000. Simak rincian harganya sebagai berikut.