Jakarta - Presiden RI Joko Widodo menyampaikan tanggapannya terkait keputusan revisi Undang-Undang KPK. Ia mengaku, ide awal revisi tersebut dibawa oleh DPR. Ia meminta agar masyarakat dapat melihat keadilan dari keputusan revisi tersebut.
Presiden juga mengaku tak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Menurutnya, walaupun banyak tuntutan, pemerintah tidak akan menerbitkan perppu.
Baca juga: Mahasiswa Demonstrasi Dobrak Gerbang Masuk DPR
"Nggak ada," kata Jokowi menjawab pertanyaan wartawan soal kemungkinan menerbitkan Perppu mencabut UU KPK.
Tuntutan itu berasal dari massa 'Aliansi Mahasiswa Indonesia Tuntut Tuntaskan Reformasi' yang meminta Presiden Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) setelah revisi UU KPK disetujui DPR.
Jokowi menyarankan agar masyarakat bisa menyampaikan berbagai keinginan terkait kebijakan yang ada di DPR.
"Nanti, besok akan dibicarakan di DPR. Tanyakan ke sana jangan ditanyakan ke sini. Tadi saya sudah meminta itu, tentu saja akan ditindaklanjuti oleh menteri-menteri terkait ke DPR. Masyarakat kalau mau menyampaikan materi-materi silahkan ke DPR," kata Jokowi.
Sebelumnya, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta akan mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami di Pukat UGM akan menempuh judicial review di MK," ujar Ketua Pukat UGM Yogyakarta, Oce Madril, Minggu, 22 September 2019, mengutip Antara.
Baca juga: Presiden Jokowi Sebut Konflik Wamena Berawal dari Hoaks
Oce mengatakan uji materi tersebut dilakukan untuk mempersoalkan indikasi adanya cacat formil dan cacat materiil dalam pembentukan revisi UU KPK.
Cacat formil yang dimaksud di antaranya mengenai proses pembentukan RUU KPK yang dinilai tidak partisipatif dan tidak termasuk dalam prolegnas prioritas tahun 2019.
Sementara cacat materiil dalam RUU tersebut antara lain mengenai sejumlah poin revisi yang dianggap melemahkan KPK, seperti keberadaan dewan pengawas, izin penyadapan, serta wewenang menerbitkan surat perintah penghentian perkara (SP3). []