Remaja Aceh Barat Pembuat Batako dengan Upah Rp 1.000

Dua remaja di Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, bekerja sebagai pembuat batako dengan upah Rp 1.000 per batang.
Wilja, siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) yang bekerja di tempat percetakan batako sedang melepas pelat baja pencetak batako, Rabu sore, 14 Oktober 2020. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Aceh Barat - Sore itu, Rabu, 14 Oktober 2020, cuaca di Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, tidak menentu. Hujan sesekali turun cukup deras, lalu reda, namun beberapa menit kemudian kembali menetes.

Di dekat sebuah rumah di Kompleks Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi, Kecamatan Meureubo, seorang pria berbaju merah terlihat melompati genangan-genangan air hujan sambil menarik celana jinnya ke atas, agar tidak tidak basah oleh percikan. Dia menuju salah satu kedai tidak jauh dari rumah itu.

Pria itu membawa dua bungkus kopi dan kantong plastik berisi segelas air minum dalam kemasan. Air minum di dalam kemasan gelas itu hanya diminumnya sedikit, sisanya dibuang. Dia memang hanya membutuhkan kemasannya untuk diisi kopi.

Di seberang kedai tersebut terdapat rumah-rumahan tanpa dinding, yang semua tiangnya terbuat dari batang kayu bulat utuh serta beratapkan daun rumbia. Dari situ terdengar suara seperti orang yang sedang memukul benda padat, berpadu dengan suara seperti orang yang sedang menyapu dengan sapu lidi. Sesekali terdengar pula dua orang anak laki-laki yang sedang bergurau dan terkadang saling meledek satu sama lain dari balik gunungan batako.

Proses Pembuatan Batako

Seorang anak terlihat duduk di atas dipan kayu di rumah itu. Gayanya terlihat santai. Sambil merokok dia merebahkan punggungnya ke sandaran bangku sambil bersilang kaki, sementara ibu jari kanannya sibuk menggulir-gulir layar telepon pintar yang ada di dalam genggamannya.

Cerita Batako Aceh (2)Irvandi, pekerja di tempat percetakan batako milik Guntur sedang merapikan deretan batako yang baru saja selesai dicetak. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Beberapa saat kemudian keningnya berkerut lalu menggerutu sendiri karena ponselnya tiba-tiba mati akibat kehabisan daya.

Hanya sekitar tiga langkah dari anak yang duduk di dipan, seorang anak lain berjongkok. Di sekelilingnya terbentang barisan batako yang baru saja selesai dicetak dan sedang ditiriskan. Suara pukulan benda padat yang terdengar berkali-kali tadi rupanya datang dari anak tersebut.

Lengan anak itu berotot, uratnya menyembul keluar, tampak tidak sepadan dengan umurnya yang masih belia. Dengan bertelanjang dada dan masih mengenakan celana seragam abu-abu yang belum diganti semenjak pulang dari sekolah, Joli Wilja Pranata, nama anak itu, mengisi adonan batako.

Adonan pasir kasar serta semen itu dimasukkan ke dalam alat cetak dari pelat baja kemudian memadatkannya dengan cara memukul bagian atas cetakan tersebut.

Tangan kanannya diberi sarung agar tidak lecet saat mengangkat beban cetakan. Ia tampak menahan napas saat mengangkat cetakan tersebut saat hendak meletakkannya di dekat hasil cetakan batako lainnya.

"Itu nanti masuk facebook kamu," kata Wilja pada Irfandi, seorang temannya yang sedang mengobrol dengan Tagar.

Usaha percetakan batako itu milik seorang tentara bernama Guntur. Kedua anak tadi adalah pekerja atau karyawannya.

Wilja baru dua bulan bekerja di tempat itu. Ia sendiri masih tercatat sebagai siswa salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Anak laki-laki berkulit sawo matang kelahiran 2003 ini mengaku terpaksa bekerja di tempat percetakan batako karena himpitan ekonomi.

Wilja mengaku ingin meringankan beban keluarga, termasuk untuk mencukupi pelbagai keperluan sekolah. Jadwal belajar sekolah yang selang-seling di masa pagebluk ini membuat jadwal kerjanya berlangsung antara penuh dan paruh waktu.

Cerita Batako Aceh (3)Wilja, siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) terpaksa bekerja di tempat percetakan batako karena himpitan ekonomi. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Satu orang lagi bernama Irfandi, berumur satu tahun lebih tua dari Wilja. Saat temannya sibuk mengayak-ayak pasir, anak ini sedang beristirahat. Ia dan Wilja memang kerap bertukar tugas atau saling bergantian mengisi waktu rehat. Wilja sendiri banyak bertanya kepada Irfandi terkait pekerjaan mereka karena temannya itu jauh lebih berpengalaman ketimbang dirinya.

Kalau saya bisa sampai 80 lebih batako yang saya cetak dalam sehari. Kalau waktu cetak, aduk itu yang sulitnya, karena harus kita ratakan, bukan sekali aduk.

Irfandi mengatakan, untuk proses aduk kering, bisa dilakukan hingga lima atau enam kali. “Pertama taruh semen, kita balik-balik, baru diberi air, setelah itu aduk lagi, baru dicetak," jelas Irfandi terkait proses mencetak batako mulai dari tahap pengadonan hingga pengeringan.

Batako-batako yang telah selesai dicetak akan dikeringkan selama lima hari hingga satu minggu lamanya, kemudian dijual dengan harga Rp 3000 per batang, jika pembelinya mengambil di tempat.

Musim Hujan Jadi Kendala

Proses pengeringan, lanjut Irfandi, bisa memakan waktu lebih lama saat musim penghujan seperti saat ini. Mereka harus menyisihkan waktu khusus untuk menjaga batako-batako tersebut agar tidak terkena hujan.

Irfandi yang mengaku sudah dua tahun bekerja di tempat pembuatan batako milik Guntur itu seharusnya sudah berada di bangku kelas 3 sekolah menengah atas. Tapi ia mengaku sudah tidak bersekolah lagi. Dia menyebutnya istirahat.

Irfandi dan Wilja sama-sama tinggal di Kompleks Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi. Ayah Irvandi bekerja sebagai nelayan sementara ayah Wilja seorang tukang becak.

Untuk bisa mendapatkan atau membeli barang-barang seperti yang dimiliki teman sebayanya, mereka harus berusaha lebih keras daripada orang lain.

"Alhamdulillah mencukupi, tidak bikin tambah susah orang tua, bisa buat jajan, dan kalau dulu, bisa untuk kebutuhan sekolah dan lain-lain," ujar remaja yang hobi bermain sepak bola ini.

Cerita Batako Aceh (4)Irvandi, pekerja di tempat percetakan batako milik Guntur sedang merapikan deretan batako yang baru saja selesai dicetak. (Foto: Tagar/Rino Abonita)

Sementara, Guntur, pemilik usaha pembuatan batako, mengaku salah satu alasan dirinya membuka usaha percetakan batako yang saat ini sudah berusia tiga tahun tersebut adalah untuk menciptakan lapangan kerja, khususnya di kawasan sekitar tempat tinggalnya.

"Kalau saya, membuka usaha batako ini dengan tujuan membuka lapangan kerja. Banyak anak-anak di sini yang pengangguran," kata Guntur.

Guntur juga menilai kedua anak buahnya itu cukup memiliki kemampuan dalam memroduksi batako. Kendati tidak menaruh harapan yang muluk-muluk, ia ingin Wilja dan Irfandi dapat hidup lebih baik ke depannya. Jika bisa, membuka usaha percetakan batako sendiri, atau pekerjaan apa pun itu, yang penting menghasilkan uang.

Mengenai kendala yang dihadapi, Guntur mengatakan dirinya cukup kewalahan untuk memasarkan batako-batako miliknya. Sebab saat ini masih banyak orang yang lebih memilih batu bata merah.

Dia menjelaskan, sebagai bahan bangunan untuk membuat dinding beton atau tembok, keduanya memang memiliki perbedaan, baik dari segi bahan, proses pembuatan, ukuran, serta kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Kendati sering terbentur dengan pemasaran, Guntur mengaku berusaha untuk tetap mengupahi Wilja dan Irfandi secara harian, sesuai jumlah batako yang bisa mereka cetak.

Dia memberi upah sebesar Rp 1.000 untuk setiap batako yang dicetak oleh anak buahnya. Guntur menegaskan bahwa dirinya tidak terlalu fokus pada laba yang didapat sekalipun ia mesti mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli bahan-bahan untuk membuat batako tersebut dari orang lain.

"Namanya saja, kita hanya ingin membina anak-anak di sini," kata dia.[]

Berita terkait
Kyai Jegod, Ular Pendek Penunggu Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta dipercaya memiliki tiga penjaga tak kasat mata, yakni Kanjeng Ratu Kidul di pantai selatan, Kyai Jegod, dan Sapu Jagat.
Cerita Budidaya Ikan Lele di Lahan Sempit Yogyakarta
Budidaya ikan lele dalam tong menjadi salah satu alternatif pemanfaatan lahan sempit di kawasan dalam Kota Yogyakarta.
Menggiurkan, Usaha Bibit Pohon Anggur di Yogyakarta
Usaha pembibitan pohon anggur menjadi salah satu usaha yang hasilnya cukup menggiurkan, terlebih laan yang dibutuhkan tidak harus luas.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.