Kyai Jegod, Ular Pendek Penunggu Keraton Yogyakarta

Keraton Yogyakarta dipercaya memiliki tiga penjaga tak kasat mata, yakni Kanjeng Ratu Kidul di pantai selatan, Kyai Jegod, dan Sapu Jagat.
Area Pagelaran Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Dari Siti Hinggil dapat melihat lalu lintas di kawasan alun-alun dan titik nol kilometer Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta – Suasana di kawasan Pagelaran Siti Hinggil Keraton Yogyakarta siang itu, Sabtu, 17 Oktober 2020 terlihat cukup sunyi. Hanya ada beberapa wisatawan dan pemandu wisata yang duduk di kursi plastik, tepat di pintu masuk pengunjung. Suasana terasa sejuk meski matahari bersinar cukup terik.

Para wisatawan berswafoto di depan mobil kuno milik Sri Sultan Hamengkubuwono IX, kemudian berjalan menuju beberapa titik yang mereka anggap bagus dijadikan latar belakang foto.

Sejumlah benda yang terlihat berusia cukup tua tertata rapi di sekitar Siti Hinggil. Mulai dari tempat duduk sultan, tempat duduk putra mahkota, hingga miniatur Masjid Gede Kauman dan kentongan berukuran cukup besar.

Tidak jauh dari area pagelaran, terdapat satu ruangan berisi semacam boneka-boneka yang menggambarkan beberapa ritual yang biasa dilakukan oleh keluarga keraton, seperti prosesi khitan, prosesi pengantin, dan lain-lain.

Cerita Keraton Yogyakarta (2)Kanjeng Mas Tumenggung Tirto Joyo Tamtomo, 70 tahun, abdi dalem yang berprofesi sebagai pemandu wisata, menunjukkan ruangan berisi boneka yang memperlihatkan beberapa ritual, dari khitan sampai pernikahan, Sabtu, 17 Oktober 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Di kejauhan, lalu lintas di sekitar alun-alun dan titik nol Kota Yogyakarta terlihat cukup jelas dari tempat itu. Tempat yang memang lokasinya lebih tinggi daripada alun-alun dan jalanan. Tempat yang dulu digunakan oleh Sultan dan keluarganya untuk memantau kegiatan warganya di sebelah utara.

Ular Pendek Penjaga Keraton

Meski suasana di area Pagelaran Siti Hinggil itu tenang, sejuk dan cukup sunyi, para pengunjung tidak diperbolehkan berbuat semaunya dan menyentuh barang-barang di situ.

Kanjeng Mas Tumenggung Tirto Joyo Tamtomo, 70 tahun, seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta yang juga berprofesi sebagai pemandu wisata di kawasan Pagelaran Siti Hinggil, menjelaskan, seluruh area di kawasan keraton merupakan tempat wingit atau sakral.

“Keraton dari kata keratuan atau tempat raja. Kebanyakan masyarakat takut sama raja. Semua tempat yang digunakan oleh sultan biasanya orang takut dan dianggap sakral, sebab mereka menghormati sultan sebagai pemimpin,” ucap Kanjeng Mas Tumenggung Tirto Joyo Tamtomo, yang memiliki nama kecil Dalimin ini.

Pada zaman dulu, kesakralan dan penghormatan warga terhadap area keraton sangat terasa. Misalnya, saat warga akan berkunjung dan memasuki area keraton, dari jauh mereka sudah berjalan jongkok untuk masuk.

Kesakralan area keraton bukan hanya karena lokasi itu menjadi tempat tinggal dan sering dikunjungi oleh Sultan dan keluarganya. Tetapi juga ada kepercayaan tentang makhluk astral atau tak kasat mata yang menjadi penunggu area keraton.

Kata Tumenggung Tirto Joyo, area keraton dilindungi oleh tiga penjaga, yakni Kanjeng Ratu Kidul sebagai Ratu Pantai Selatan menjaga dari selatan, raksasa bernama Sapu Jagat menjaga dari utara, tepatnya di Gunung Merapi, dan jin berwujud ular pendek bernama Kyai Jegod, menjaga di dalam keraton.

Keraton Jogja ini pertama kali didirikan oleh Raja Mataram Islam pertama di Kotagede, Panembahan Senopati. Dulu, waktu itu ada pageblug. Panembahan Senopati kemudian bertapa di pantai selatan, dia minta petunjuk pada Allah. Yang datang waktu itu bukan malaikat tapi yang datang adalah jin, Kanjeng Ratu Kidul.

Saat itu Kanjeng Ratu Kidul menanyakan tujuan Panembahan Senopati bertapa. Kemudian, setelah mendengar penjelasan Panembahan Senopati, Kanjeng Ratu Kidul menyanggupi untuk menolong. Tetapi dengan syarat dirinya harus diperistri oleh Panembahan Senopati.

Cerita Keraton Yogyakarta (3)Mobil kuno milik Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang dipajang di area Pagelaran Siti Hinggil Keraton Yogyakarta, Sabtu, 17 Oktober 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

“Dengan catatan beliau dijadikan istri, dan dia akan menjaga keraton ini selama-lamanya. Di keraton ini juga ada jin yang menjaga, wujudnya ular pendek yang namanya Kyai Jegod dan anak buahnya,” ucap Tumenggung Tirto Joyo Tamtomo menegaskan.

Penjagaan-penjagaan itu, lanjut dia juga menjadi faktor penyebab keraton memiliki aura tertentu yang membuat warga hormat. Tentu saja termasuk tempat-tempat yang sering dikunjungi Sultan, menjadi tempat yang sakral.

“Kyai Jegod itu lokasinya tidak diketahui di mana cuma bisa diketahui oelh orang yang punya indera keenam. Dia menjaga seluruh area keraton. Di Pagelaran ada sendiri, di bangunan lain juga ada sendiri tapi mereka anak buahnya Kyai Jegod,” kata dia menambahkan.

Kesurupan Setelah Melangkahi Gamelan

Sambil berjalan menuju beberapa bangunan yang ada di area sekitar Pagelaran Siti Hinggil, Kanjeng Mas Tumenggung Tirto Joyo Tamtomo menjelaskan beberapa larangan dan pantangan saat memasuki area keraton.

Kebiasaan berjalan jongkok saat memasuki area itu, lanjut Tumenggung Tirto Joyo, sudah lama tidak diberlakukan untuk masyrakat umum, sebab saat ini area itu menjadi salah satu destinasi wisata di Yogyakarta. Meski demikian, masih ada larangan dan aturan yang harus ditaati oleh pengunjung.

Salah satu aturan adalah dilarang menyentuh benda-benda yang ada di dalam area itu, termasuk menabuh gamelan yang ada di ruangan bagian belakang Pagelaran, meskipun gamelan dan beberapa barang lainnya merupakan barang tiruan.

Dia menjelaskan, dulu saat masih gamelan asli yang dipajang untuk wisatawan, beberapa kali ada kejadian pengunjung, khususnya anak-anak yang kesurupan.

“Mungkin karena dilangkahi atau dia bermain dengan gamelan itu,” ucapnya.

Hal itu disebutnya merupakan sesuatu yang wajar, sebab gamelan dan barang asli milik keraton lainnya tidak asal dibuat, melainkan dibuat dengan beberapa ritual khusus. Mulai dari puasa, bertapa, menentukan hari baik, serta beberapa perhitungan-perhitungan lain. Sehingga benda-benda itu pasti memiliki tuah atau ada penunggunya.

Cerita Keraton Yogyakarta (4)Gamelan tiruan yang dipajang di ruangan belakang kawasan Pagelaran Siti Hinggil Keraton Yogyakarta, Sabtu, 17 Oktober 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

“Mulai dari puasa, bertapa, jadi mungkin ada yang jaga atau penunggunya.”

Akhirnya, sejak beberapa tahun lalu, gamelan dan barang-barang yang dipajang di tempat itu diganti dengan barang-barang tiruan. Selain menjaga pengunjung agar tidak kenapa-kenapa, juga untuk menjaga barang-barang yang asli agar tidak rusak.

“Gamelan di dalam itu bukan gamelan asli, hanya tiruan. Tidak boleh ditabuh itu untuk menjaga agar tidak rusak. Itu juga keramat, jadi harus dihormati, tidak semua orang boleh menabuh. Kalau semua orang menabuh akibatnya, pertama, rusak. Kedua, akibatnya tidak karu-karuan.”

Saat ini gamelan yang dipajang di situ adalah gamelan yang dulunya digunakan oleh para abdi dalem untuk mengamen di area keraton. “Mereka mengamen di tempat keluarga-keluarga kerajaan untuk menambah penghasilan, karena dulu gaji abdi dalem tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga,” kata Tumenggung Tirto Joyo lagi.

Selain sakral, bangunan-bangunan di area keraton juga memiliki filosofi masing-masing, mulai dari tiang-tiang penyangga atau saka hingga pepohonan. Dia mencontohkan, tiang yang ada di Pagelaran Siti Hinggil itu jumlahnya sebanyak 63 batang.

“Tiang di Pagelaran Siti Hinggil jumlahnya 63, sedangkan pohon beringin di alun-alun 64. Keduanya itu melambangkan usia nabi Muhammad. 64 itu perhitungan tahun Jawa, sedangkan 63 itu perhitungan tahun Masehi.” []

Baca juga:

Pompa Hidram di Cranggang Kudus Solusi Krisis Air

Lokasi Pembuangan Bayi di Yogyakarta Dibangun Zaman Jepang

Berita terkait
Mantan Anggota Geng China Melawan Rasisme di Amerika Serikat
Seorang rapper yang merupakan mantan anggota geng Ghost Shadow di Chinatown Manhattan memimpin unjuk rasa terhadap rasisme di Amerika Serikat.
Perjuangan Penjual Coto Makassar Daring di Yogyakarta
Seorang fotografer di Yogyakarta beralih usaha menjadi penjual Coto Makassar, kuliner khas dari Makassar, Sulawesi Selatan, secara daring.
Diculik Hantu Wewe dan Mitos Larangan di Yogyakarta
Sejumlah mitos dan larangan sering disampaikan oleh orang tua pada anaknya di Yogyakarta. Salah satunya adalah dilarang keluar saat Magrib.