PT DPM Dairi Bangun Gudang Bahan Peledak 50 Meter dari Permukiman

Perusahaan pertambangan PT Dairi Prima Mineral (PT DPM) disebut tengah membangun fasilitas gudang bahan peledak berkisar 50 meter dari rumah warga.
Ilustrasi pertambangan. (Foto: Tagar/Ist)

Medan - Perusahaan pertambangan PT Dairi Prima Mineral (PT DPM) disebut tengah membangun fasilitas gudang bahan peledak berkisar 50 meter dari rumah warga di Dusun Sipat, Desa Longkotan, Kabupaten Dairi, Sumut.

Ironisnya, pembangunan itu dilakukan di tengah perusahaan tersebut masih dalam proses pengajuan addendum (amandemen) analisis dampak lingkungan (Andal) untuk dapat melakukan perubahan kegiatan operasi.

Andal adalah salah satu bagian dari dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang merupakan persyaratan pemberian Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan (SKKLH) dan Izin Lingkungan.

UU No 32/2009 dan PP No 27/2012 menegaskan, tanpa adanya Amdal, SKKLH, dan Izin Lingkungan, suatu kegiatan yang berdampak penting bagi lingkungan, seperti penambangan tidak dapat dilaksanakan, dan tidak akan mendapatkan Izin Usaha.

Dalam addendum tersebut, PT DPM mengusulkan melakukan tiga perubahan izin lingkungan, yaitu perubahan lokasi gudang bahan peledak, mengubah lokasi tailing storage facility (TSF), dan penambahan lokasi mulut tambang.

Dari jumlah tersebut, perubahan fasilitas penyimpanan bahan peledak, dan perubahan fasilitas penyimpanan tailing adalah yang paling memprihatinkan.

Koordinator Studi dan Advokasi Bakumsu, Juniaty Aritonang dalam keterangan pers diterima Tagar, Selasa, 8 Desember 2020 mengatakan, PT DPM telah melakukan kejahatan lingkungan serius.

PT DPM meminta izin untuk lokasi baru. Namun perusahaan itu sudah membangun fasilitas penyimpanan bahan peledak di lokasi baru, dan hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah terdekat di Dusun Sipat, Desa Longkotan.

"PT DPM sudah membangun fasilitas penyimpanan bahan peledak di lokasi baru, di luar kawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dan hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah terdekat di Dusun Sipat, Desa Longkotan,” kata Juniaty.

Kekhawatiran dengan letak gudang bahan peledak ini disampaikan salah seorang warga Kabupaten Dairi, Mangatur Pardamean Lumbantoruan.

“Kami sangat khawatir dengan letak gudang bahan peledak yang dekat dengan permukiman, dan tanpa pelibatan masyarakat," kata dia.

Harusnya kata Mangatur, ada informasi yang transparan dan lengkap, serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.

"Kami juga sangat khawatir jika suatu saat bahan peledak yang disimpan di gudang meledak, kami yang di sekitar akan terkena dampak dari semua itu,” ungkap Mangatur.

Juniaty mengungkap, dalam dokumen addendum Andal RKL-RPL Tipe A PT DPM disebutkan, akan membangun gudang bahan peledak sejauh 293 meter sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara No. 309.K/30/DJB/2018 yang menyebutkan jarak aman yang diizinkan.

Jarak 293 meter itu dari bangunan yang didiami manusia, rumah sakit, dan bangunan lain atau kantor. 

Kemudian jarak 244 meter terhadap tangki bahan bakar, bengkel, dan jalan utama, serta 87 meter terhadap rel kereta api, dan jalan umum kecil.

Sebagai perbandingan, Koordinator Advokasi Yayasan Diakonia Pelangi Kasih, Denora Gultom mengungkap fakta di negara Zambia pada 2005.

Perusahaan pertambangan China Non-Ferrous Metals Mining Group, yang dikenal sebagai NFC, mengoperasikan tambang di negara itu.

"Pada 2005 sebuah ledakan di fasilitas penyimpanan bahan peledak menewaskan 51 orang," ungkap Debora.

Lokasi TSF

Selain soal gudang bahan peledak warga juga mempersoalkan TSF. Ini merupakan sarana pengolahan limbah untuk dapat menyalurkan batuan sisa halus berupa slurry (tailing).

Melalui addendum, PT DPM berencana memindahkan TSF dari lokasi semula di kawasan hutan lindung 500 meter dari lokasi pabrik pengolahan, ke Bondar Begu, Dusun Sopokomil, berjarak dua kilometer dari lokasi semula.

Bahan yang akan dipompa ke fasilitas tailing yang diusulkan adalah sulfida yang bercampur dengan air, dan oksigen untuk menghasilkan asam.

Jika kondisi asam dibiarkan tetap ada, logam berat dapat larut ke dalam air di fasilitas tailing, sehingga ada kerusakan pada lapisan bendungan atau dinding bendungan runtuh, dan bahan beracun dilepaskan.

Hal ini membuat stabilitas fasilitas bendungan tailing menjadi penting, harus tahan terhadap banjir, dan harus tahan terhadap gempa yang mungkin terjadi.

Baca juga: Warga Dairi Ungkap Kengerian Bila PT DPM Beroperasi

Disebutkan, dua ahli internasional telah meninjau dokumen addendum Andal PT DPM dan mengatakan bahwa rancangan fasilitas bendungan tailing yang diusulkan jauh di bawah standar internasional, dan standar yang disyaratkan oleh hukum Indonesia.

Dr Steve Emerman, seorang ahli hidrologi dan lingkungan untuk tambang telah mengkaji addendum Andal PT DPM.

Kegagalan fasilitas tailing secara virtual dapat dipastikan, terutama karena fasilitas yang diusulkan terletak di salah satu zona risiko gempa bumi tertinggi di dunia

Dalam kajiannya dikatakan, fasilitas bendungan tailing belum dirancang untuk kemungkinan banjir atau curah hujan terbesar.

Dia juga menemukan, jika tambang itu berada di China, itu akan ilegal karena melanggar undang-undang. Bendungan tailing tidak dapat dibangun begitu dekat dengan permukiman.

Muhammad Jamil dari Jatam Nasional ikut mempertanyakan soal tambang yang ilegal di China, justru diizinkan untuk dibangun perusahaan China di Indonesia.

“Kami meminta pemerintah Indonesia untuk tidak memberikan izin terhadap tambang DPM serta menolak untuk menyetujui addendum Andal,” tukas dia.

Berkenaan dengan gempa bumi, dan fasilitas penyimpanan tailing, pakar internasional, Dr Richard Meehan mengatakan, normalnya perusahaan pertambangan akan meninjau rencana mereka, dan disertifikasi oleh perusahaan teknik sipil internasional yang memiliki reputasi baik.

Kemudian data tersebut harus tersedia untuk umum, sehingga orang lain dapat meninjau, dan memeriksa keamanan fasilitas bendungan tailing yang diusulkan.

Baca juga: Ancaman Kerusakan Ekologi Dairi atas Hadirnya PT DPM

Terkait hal itu, Juniaty menyebut pihaknya sudah menyurati Kementerian LHK untuk meminta data geologi terkait pengajuan addendum Andal PT DPM.

"Tetapi sampai hari ini kami masih belum menerima informasi apapun terkait hal ini. Mengapa data ini tidak tersedia? Apa yang mereka coba sembunyikan? Mungkin karena datanya tidak ada,” ungkapnya.

Richard Meehan mengatakan, lokasi bendungan tailing yang diusulkan sebelumnya telah ditinjau oleh perusahaan teknik Amerika, Golder Associates.

"Tampaknya Golder belum menyetujui atau mendukung situs tailing yang diusulkan dalam addendum Andal. Tampaknya juga bahwa PT DPM mencoba menggunakan laporan Golder sebelumnya untuk secara curang mendukung situs fasilitas penyimpanan tailing baru yang mereka usulkan,” beber dia.

Dia menambahkan, data minimal yang tersedia juga menunjukkan bahwa fasilitas bendungan tailing yang diusulkan akan berlokasi di endapan abu vulkanik yang tidak stabil.

"Itu sangat berbahaya. Kegagalan fasilitas tailing secara virtual dapat dipastikan, terutama karena fasilitas yang diusulkan terletak di salah satu zona risiko gempa bumi tertinggi di dunia,” ungkapnya kemudian.

Dijelaskannya, lapisan fasilitas akan pecah, dan bahan beracun bocor ke air tanah, atau bendungan itu sendiri akan runtuh, mengakibatkan banjir racun.

Baca juga: Dugaan Kejahatan Pertambangan oleh PT DPM di Dairi

"Salah satu skenarionya adalah Dusun Sopokomil akan hanyut oleh gelombang lumpur beracun. Itu bisa terjadi tanpa peringatan,” katanya.

Juniaty kemudian menyebut, dokumen addendum tidak memiliki Analisis Risiko Lingkungan dan Analisis Risiko Bencana.

Dokumen tersebut tidak menjelaskan secara rinci poin-poin penting dalam addendum Andal RKL-RPL Tipe A.

Permen LHK No 23 Tahun 2018 tentang uraian rencana usaha dan atau kegiatan menyatakan harus menjabarkan secara rinci rencana usaha dan atau kegiatan yang disiapkan sesuai dengan pedoman undang-undang.

"Namun jika dilihat dari dokumen addendum Andal tentang TSF tidak dijelaskan secara detail. Tampaknya dokumennya tidak disiapkan dengan matang,” katanya.

Merusak Pertanian

Seorang warga di kawasan pertambangan, Herni Simanjuntak mengakui mereka sangat mengkhawatirkan potensi daya rusak pertambangan di masa mendatang, terutama di lahan pertanian warga.

Apalagi masyarakat Dairi mayoritas berprofesi sebagai petani yang hidupnya bergantung pada sumber daya alam, seperti air, tanah, sungai, dan hutan.

"Kami khawatir dengan berkurangnya ketersediaan air untuk pertanian, pencemaran tanah akibat drainase asam tambang. Sebagai warga negara, kami harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan adendum Andal, karena keterlibatan tersebut merupakan hak masyarakat yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan," kata dia.

Kegiatan penambangan yang akan dilakukan PT DPM di Sopokomil akan menjadi penyumbang kerusakan ekologis terbesar di sekitar wilayah pertambangan, dan hilir pertambangan.

Pencemaran sumber air minum masyarakat, dan juga sumber air tanaman yang salah satu sumber airnya dekat dengan lokasi penambangan, seperti dalam laporan penelitian penyediaan air di sekitar tambang, dan daerah hilir yang dilakukan oleh AMAN Tano Batak, YDPK dan bersama warga sekitar.

Laporan tersebut, terkait dengan kekhawatiran tentang stabilitas fasilitas tailing, menunjukkan bahwa tambang tersebut berpotensi berdampak pada lebih dari 10 desa. Adendum Andal hanya memperhitungkan dampak pada lima desa.

“Itu konyol. DPM menghindari pembahasan risiko tinggi yang terkait dengan fasilitas penyimpanan tailing mereka dan mereka hanya mempertimbangkan lima desa yang mungkin terkena dampak. Itu tidak jujur dan berbahaya,” ungkap Debora Gultom.

"Addendum Andal harus ditolak, bukan hanya karena satu alasan, tetapi karena berbagai alasan,” kata Juniaty. 

“PT DPM harus dikenakan sanksi yang sepadan dengan perbuatannya membangun fasilitas penyimpanan bahan peledak tanpa persetujuan, membangunnya di dekat permukiman dan membuat addendum Andal yang jelas-jelas cacat,” katanya.

Sementara itu, belum diperoleh keterangan dari manajemen PT DPM terkait pembangunan gudang bahan peledak dan juga pemindahan lokasi TSF.[]

Berita terkait
Pemprov Aceh Diminta Tutup Pertambangan Emas Ilegal
Pemerintah diminta segera untuk menutup pertambangan emas ilegal di Kabupaten Aceh Barat.
Bos Pertambangan Rio Tinto Mundur Gegara Isu Aborigin
Bos perusahaan pertambangan, Rio Tinto, Jean Sebastien Jacques menyatakan mundur menyusul kritik atas penghancuran situs suci Aborigin.
Politisi PKS Soroti Soal Pertambangan di RUU Omnibus Law
Politisi PKS, Saadiah Uluputty menyoroti pembahasan RUU Omnibu Law Cipta Kerja yang dinilai kontroversi.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.