Sleman - Prototipe baterai nuklir buatan Tim peneliti Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta terkendala biaya komponen plutonium 238. Prototipe yang bisa digunakan untuk peralatan elektronik tersebut, merupakan hasil penelitian empat dosen dan enam asisten peneliti.
Ketua tim peneliti Yudi Utomo Imardjoko mengatakan harga komponen plutonium 238 cukup mahal karena harus diimpor. Untuk membuat prototipe tersebut, tim ini harus mendatangkan plutonium dari Rusia dengan harga yang mencapai 8.600 dolar per keping.
“Harga per keping hanya 12 dolar, tapi begitu sampai sini harganya itu 8.600 dolar per keping,” katanya di Yogyakarta, Jumat, 22 November 2019.
Awalnya penelitian itu didanai oleh mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, yang ingin agar ada sesuatu yang bisa dikreasikan dari teknologi nuklir Indonesia. "Tidak hanya teoritis. Ini bukti kami sudah melakukan sesuatu yang ada hasilnya, walaupun masih kecil itu tinggal scale-up saja,” jelasnya.
Yudi mengatakan dalam dua tahun terakhir, proyek penelitian ini mendapat pembiayaan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan dan telah selesai dilaksanakan.
Meski belum sempurna dan masih memerlukan pengembangan lebih jauh, prototipe yang dihasilkan sudah cukup baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya. “Ini kan masih kecil. Efisiensinya masih kecil walaupun cukup tinggi jika dibandingkan dengan tempat lain,” kata Yudi.
Harga per keping hanya 12 dolar, tapi begitu sampai sini harganya itu 8.600 dolar per keping.
Sementara itu, Dahlan Iskan optimistis kendala biaya tersebut bisa diatasi jika Indonesia memiliki reaktor torium sendiri. Plutonium sendiri merupakan limbah dari torium.
"Reaktor torium itu desainnya sudah jadi, dibuat oleh bapak-bapak ahli nuklir ini, kebetulan itu saya yang mendanai. Desainnya sudah jadi, tinggal bagaimana cara mewujudkannya,” paparnya.
Dahlan mengatakan selain menggunakan plutonium, baterai ini juga dilengkapi dengan sel surya untuk memperbesar listrik yang dihasilkan. “Kalau baterai litium setahun dua tahun sudah habis, kalau baterai nuklir bisa sampai 40 tahun,” ujarnya.
Dengan penelitian lebih lanjut, baterai ini dapat dikembangkan untuk menghasilkan output yang lebih besar. Bateri ini juga memiliki ukuran yang lebih kecil, karena baterai berukuran mikro dapat dimanfaatkan secara lebih luas. []
Baca Juga:
- Paus: Dunia Diambang Perang Nuklir
- Desember Ini PBB Akan Bahas Nuklir Korea Utara
- Ketakutan AS Memuncak, Ajak Rusia Selesaikan Krisis Nuklir Korut