Jakarta - Pendiri Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti meminta Presiden Jokowi beserta jajarannya jangan supersensitif menanggapi lontaran kritik dari Persaudaraan Alumni (PA) 212. Sebab, organisasi masyarakat (ormas) Non-Surat Keterangan Terdaftar (SKT) itu elemennya sudah terpecah menyebar, tidak sekuat sebelumnya.
Menurut Ray, keretakan internal PA 212 nampak jelas dalam Pilpres 2019, di mana ada yang menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto namun di sisi lain tokoh-tokohnya ada yang masuk partai politik pendukung Presiden Jokowi.
Makanya, saya mengatakan bahwa presiden-nya dan pemerintah-nya jangan supersensitif lah. Jadi santai saja.
"Persaudaraan Alumni 212 itu justru elemen yang makin pecah di dalam. Jadi sebetulnya sejak Pilpres 2019 lalu, kelemahan secara internal terhadap PA 212 itu terjadi secara signifikan," kata Ray Rangkuti saat menjadi pembicara di kanal YouTube Tagar TV, dilihat Minggu, 18 Oktober 2020.
Baca juga: Ray Rangkuti Setujui FPI: Ajakan Revolusi Dijamin Konstitusi
Kata Ray, terkini anggota hingga pimpinan PA 212 hanya menyisakan tokoh-tokoh Front Pembela Islam (FPI) sebagai orang-orang yang konsisten berdiri sebagai oposisi pemerintahan.
"Yang lain-lainnya sudah berkelindan dengan kehidupan sehari-hari untuk mencari posisinya masing-masing," tuturnya.
Ray menegaskan, bukti PA 212 semakin lemah ialah pedemonstran yang menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja pada 13 Oktober 2020 lalu, jumlahnya semakin menyusut. Namun demikian, dia tidak memungkiri masih ada sebagian orang terngiang dengan kekuatan mereka dalam demo 411 dan 212.
"Kemarin saja di depan Istana kan enggak sebesar yang dibayangkan. Demo-demo mahasiswa malah jauh lebih besar ketimbang demo-demo PA 212 sekarang. Makanya, saya mengatakan bahwa presiden-nya dan pemerintah-nya jangan supersensitif lah. Jadi santai saja, apalagi tinggal 4 tahun ke depan," ujarnya.
Secara terpisah, Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai demonstrasi gerakan yang digalang Persaudaraan Alumni (PA) 212 masih lebih panas dan membahayakan pemerintah Jokowi, jika dibandingkan aksi massa yang menolak pengesahan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja dari elemen mahasiswa dan buruh.
Baca juga: Level Gerakan PA 212 Masih Lebih Panas dari Demo Omnibus Law
Musababnya, Gerakan 212 dapat meretakkan keseimbangan dan kesatuan kelompok. Kemudian, aksi yang tertitik di Silang Monas tersebut terskema dilakukan secara berjilid-jilid, berhasil menyedot umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia.
"Saya pikir demikian, karena demo 212 berpotensi membuat stabilitas dan kohesivitas menurun. Kalau Omnibus Law ini, memang terjadi aksi vandalisme, namun itu sifatnya tidak berjilid-jilid seperti 212," kata Wasis kepada Tagar, Jumat, 9 Oktober 2020. []