Prabowo Subianto, Hasrat Berkuasa dan Balas Dendam Masa Lampau

Tiga kali Prabowo menjadi capres, apa ini hasrat berkuasa dan balas dendam masa lampau?
Tiga kali Prabowo menjadi capres, apa ini hasrat berkuasa dan balas dendam masa lampau? (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 13/3/2019) - Prabowo Subianto untuk ketiga kalinya, maju di pemilihan presiden (Pilpres). Sejak karirnya terhenti di dunia militer, putra dari Soemitro Djojohadikoesoemo ini, kemudian terjun ke dunia politik dan nyatanya ada panggung disana.

Nyalinya pun tak bisa diremehkan, melalui Partai Gerindra, Prabowo tercatat pernah maju menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Megawati Soekaro Putri, Ketua Umum PDI Perjuangan di Pilpres 2009.

Walaupun tak berhasil menangkan suara di Pilpres 2009, Prabowo tak patah arang. Di tahun 2014, ia maju kembali di Pilpres. Kali ini, maju menjadi calon presiden didampingi oleh Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ke-13, yang menjadi Ketua Umum PAN.

Dewi fortuna belum berpihak kepadanya, karena ia kalah suara dengan lawannya yakni Joko Widodo yang diusung PDI Perjuangan, didampingi Jusuf Kalla.

Prabowo berhenti? Tidak, karena pada Pilpres tahun ini Prabowo maju kembali menjadi calon presiden bersama calon wakil presidennya Sandiaga Uno.

Dengan nomor urut dua, Prabowo akan berhadapan lagi alias rematch dengan lawannya lima tahun lalu, yakni Joko Widodo.

Jika dilihat dari sudut pandang nyali, Prabowo memang berani tempur kalah maupun menang terbukti dari dua Pilpres sebelumnya. Tapi apa sebenarnya yang melatarbelakangi mantan Danjen Kopassus itu lagi dan lagi, maju dalam pemilihan?

Hasrat dan Cita-Cita

Menurut Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin, salah satu yang menjadi alasan Prabowo tak bosan maju dalam Pilpres berkaitan dengan cita-cita dan hasratnya untuk berkuasa.

"Ini soal cita-cita dan hasrat. Cita-cita dan hasrat berkuasa. Dan itu sah-sah saja," ujarnya kepada Tagar News, Selasa (12/4).

Bisa juga karena Prabowo yang tak punya pilihan dan jalan lain untuk menjadi presiden. Maka, ikut mekanisme pemilihan menjadi calon presiden yang sudah diatur negara.

"Bisa juga karena Prabowo tidak ada pilihan. Karena jika ingin jadi presiden. Pilihannya ya mencalonkan. Di negara demokratis ini, ingin menjadi presiden tentu harus ikut kompetisi dalam Pilpres. Dan tidak boleh ada kata 'kudeta'," tandas Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR).

Balas Dendam Masa Lalu

Sama halnya dengan Ujang Komarudin, Peneliti Politik dari Pusat Penelitian Politik LIPI Wasisto Raharjo Jati, menilai bahwa Prabowo memang berhasrat duduk di kursi kekuasaan. Menurutnya, Prabowo punya gejala megalomania.

"Gejala Megalomania yakni kecenderungan mental politik yang menjadikan figur tertentu itu orang penting yang berhasrat menduduki jabatan kekuasan," jelasnya saat dihubungi Tagar News, Selasa (12/3).

Disamping itu, sebagai tokoh nasional Prabowo hingga kini belum pernah memiliki jabatan publik. 

"Prabowo adalah tokoh nasional dari lingkar elit Jakarta yang belum pernah dapat posisi jabatan publik," sambungnya.

Dari dua faktor yang sudah disebutkan, Wasisto menilai satu hal lagi yang menjadi latar belakang keberanian Prabowo, yaitu misi pribadi dirinya, balas dendam masa lampau.

"Latar belakang keluarga, Prabowo terlahir dari keluarga eksil politik sehingga membawa misi pribadi tuk jadi Presiden sebagai 'balas dendam masa lampau'," beber Wasisto.

Balas dendam masa lampau, yang dimaksud Prabowo adalah memori dirinya bersama ayahnya, yakni Keluarga Soemitro Djojohadikusumo. Ketika itu Soemitro dibidik terkait posisinya sebagai menteri keuangan di Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956), oleh Soekarno.
"Keluarga Prabowo itu kan dulunya pendukung PRRI/Permesta yang membuat keluarga ini diburu oleh rezim Soekarno. Apalagi Prabowo juga terinspirasi pemikiran ayahnya. Hal itulah yang memicu Prabowo tuk menjadi pemimpin," terangnya.

Pemikiran ayahnya sedikit banyak mempengaruhi Prabowo, untuk menjalankan misi pembuktian dirinya. Karena, saat ayahnya yang terkenal sebagai Ekonom itu membangun ekonomi negara, pada pemerintahan Soekarno, malah diburu negara.

"Pemikiran ayahnya yang dasarnya membangun ekonomi negara justru malah menjadi eksil dan diburu di luar negeri," urainya.

Ditambah, Prabowo yang merasa tidak melakukan kesalahan di dunia militer, malah diberhentikan. Tindakan Prabowo pasca 1998 versi beliau menyelamatkan negara tapi malah justru diberhentikan dari militer.

"Nah dua momen itulah menurut saya menjadi motivasi dan ambisi pribadi beliau jadi presiden," imbuh Wasisto.

Kalau saja Prabowo menang Pilpres dan menjadi presiden, jika ia memang dendam di masa lampau, menurut Wasisto peluang untuk dia 'menghajar' orang-orang di masa lalu amatlah kecil. Mengingat, Prabowo tak mau sampai namanya tercoreng lagi.

"Saya kira peluang seperti itu kecil, karena Prabowo sendiri juga tidak mau citranya tercoreng lagi," tutupnya. []

Baca juga:

Berita terkait
0
Panduan Pelaksanaan Salat Iduladha dan Ibadah Kurban 1443 Hijriah
Panduan bagi masyarakat selenggarakan salat Hari Raya Iduladha dengan memperhatikan protokol kesehatan dan melaksanakan ibadah kurban