Jakarta - Pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diajukan oleh pemerintah di Badan Legislasi DPR dinilai kontroversi. Politi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan anggota Komisi VII DPR, Saadiah Uluputty menyoroti sejumlah kontroversi, antara lain RUU dibahas saat pandemi Covid-19 dan muatannya juga dianggap lebih memihak investor besar ketimbang rakyat kecil. "
Tidak tepat RUU dibahas saat pandemi Covid-19. Apalagi muatannya tidak memihak rakyat kecil", ucap Saadiah dalam keterangan di Jakarta, Senin, 31 Agustus 2020.
Adanya pengalihan semua wewenang pemerintah daerah ke pusat, menunjukkan bahwa pemerintah pusat berupaya mengeliminir keberadaan Pemda sebagai pelaksana kegiatan otonomi di daerah.
Baca Juga: Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dorong Investasi Lokal
Salah sektor yang menjadi sorotan dalam RUU Omnibus Law adalah sektor pertambangan mineral dan batubara yang ada dalam Bab 3 Pasal 40. Menurutnya, cukup banyak substansi dalam pasal tersebut yang berseberangan dengan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang baru saja direvisi menjadi UU No.3 tahun 2020.
Contohnya soal , kewenangan pemerintah daerah dalam dalam penyelenggaran pertambangan mineral dan batubara. Menurut Saadiah, dalam RUU Omnibu Law, penghapusan seluruh kewenangan Pemda dalam penyelenggaraan pertambangan mineral dan batubara merupakan pengkhianatan dari amanat konstitusi, yaitu Pasal 18 UUD 1945 terkait otonomi daerah.
"Adanya pengalihan semua wewenang pemerintah daerah ke pusat, menunjukkan bahwa pemerintah pusat berupaya mengeliminir keberadaan Pemda sebagai pelaksana kegiatan otonomi di daerah, khususnya di bidang pertambangan mineral dan batubara. Ini tragis." ucap politisi Fraksi PKS Dapil Maluku ini.
Saadiah memandang, seharusnya tidak semua kewenangan Pemda tersebut dihapus dalam RUU Omnibus Law. "Misalnya terkait pemberian izin pertambangan rakyat (IPR) dan surat izin penambangan batuan (SIPB) yang seharusnya tetap menjadi domain dari pemerintah daerah khususnya pemerintah provinsi," tuturnya.
Jika semua ditarik ke pusat, akan banyak kesulitan yang timbul dalam pengawasan dan pembinaan kegiatan pertambangan berskala kecil tersebut. "Jumlah inspektur tambang yang dimiliki pemerintah pusat juga sangat terbatas sehingga tidak akan mampu mengatasi seluruh persoalan yang terjadi di daerah,” jelas Saadiah.
Saadiah berpendapat, bahwa kewenangan pemberian IPR dan SIPB tersebut telah diakomodir dalam UU No. 3 tahun 2020, dimana dalam pasal 35 ayat 4 disebutkan, pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan berusaha kepada pemerintah daerah provinsi, antara lain dalam pemberian IPR dan SIPB ini.
“Penghapusan seluruh kewenangan pemda dalam RUU Cipta Kerja merupakan langkah mundur dari sesuatu yang telah disepakati dalam UU No.3 Tahun 2020 yang baru disahkan beberapa waktu yang lalu,” ungkap politisi PKS itu.
Simak Pula: Masyarakat Adat di Medan Tolak RUU Omnibus Law
Saadiah meminta agar kewenangan Pemda tersebut tidak dicabut seluruhnya dari RUU Omnibus Law, melainkan tetap mengakomodir hal-hal yang dianggap penting untuk dilakukan di daerah. []