Pilunya Perjuangan Korban Sindrom Rubella

“Masih banyak anak-anak terpapar rubela yang orangtuanya menutup-nutupi," ungkap Poppi.
Seorang ayah memeluk anaknya yang terpaksa menggunakan kacamata tebal sejak kecil karena terkena dampak rubella, saat diskusi publik situasi penyakit campak & rubella di Kota Pekanbaru, Senin (10/9/2018). Dinas Kesehatan Provinsi Riau menghadirkan keluarga yang terkena dampak rubella untuk mengedukasi masyarakat, karena capaian imunisasi measles & rubella (MR) di Riau baru sekitar 18 persen dari 1,95 juta target anak, atau nomor dua terendah di Indonesia. (Foto: Ant/FB Anggoro)

Ada anak yang untuk menyeka air mata saja tidak bisa.

Ketika sudah menyerang manusia virus rubella tidak seindah namanya. Virus ini bisa ditularkan lewat perantara udara sehingga menyebabkan penyakit yang lebih dikenal dengan campak itu.

Virus ini menyerang dalam keheningan. Dampaknya merusak generasi penerus Indonesia, namun pencegahannya masih menimbulkan pro dan kontra.

Awal September 2018, sejumlah anak bersama orangtua mereka memenuhi sebuah ruangan di Kota Pekanbaru, Riau. Suasana sangat hening, tidak ada dari mereka yang bersuara riang gembira.

Anak-anak itu, yang mayoritas berusia di bawah lima tahun, terlihat berbeda karena sejak kecil harus memakai kacamata berlensa tebal. Pada telinga mereka ada seutas kabel yang menjadi penghubung ke alat pendengaran.

Mereka yang anak-anak korban keganasan virus rubella, terpaksa hidup dengan berbagai difabilitas. Mereka tergabung dalam Komunitas Anakku Sayang.

"Perlu diingat, kami tidak minta dikasihani. Saya sudah ikhlas dengan kondisi anak saya, hanya saja dengan bersama-sama kami bisa lebih kuat dan saling mendukung satu sama lain," kata seorang ibu bernama Poppi Morina.

Poppi adalah ibu dari seorang anak yang harus hidup dengan sindrom rubella kongenital (congenital rubella syndrom/CRS). Ia tertular virus itu saat menjadi guru di sebuah sekolah di Pekanbaru dari seorang siswanya. Pada waktu itu ia sedang hamil dua bulan.

Tubuh Poppi ketika tertular mulai muncul ruam merah, sendinya nyeri dan mimisan. Ia terkena campak saat hamil, sedangkan tes darah menunjukkan bahwa dia terkena rubela.

Dokter sudah memperingatkan dampaknya bagi anak. Namun, karena hasil USG menyatakan kondisi bayinya terlihat normal, Poppi dan suaminya sepakat tidak menggugurkan kandungannya. Apalagi, jabang bayi itu akan menjadi anak pertama yang sangat mereka nanti-nantikan.

"Suami saya bilang bismillah saja. Masak, anak yang ditunggu-tunggu kita tolak," kata Poppi.

Akhirnya, anak yang dinanti itu lahir pada 2012. Secara fisik tampak normal. Namun, setelah anaknya berusia empat bulan, baru Poppi benar-benar sadar bahwa anaknya tidak bisa mendengar. Penyakit CRS ternyata sudah menyerang syaraf-syaraf pendengaran anaknya sehingga kedua telinganya tuli.

Pengobatan anaknya memakan biaya yang tidak sedikit. Apalagi kala itu peralatan medis di Pekanbaru belum memadai.

Keluarga itu akhirnya sempat berpisah. Poppi dan anaknya berobat di Jakarta, sedangkan suaminya tetap bekerja di Pekanbaru untuk mencari biaya pengobatan.

"Saya ingin anak saya bisa tetap mendengar, jangan sampai dia jadi bisu karena tidak pernah mendengar suara," ujar Poppi.

Tidak mudah untuk orangtua menghadapi persoalan itu. Apalagi untuk anak-anak.

Poppi mengatakan, anaknya sempat beberapa kali melepaskan alat bantu pendengaran karena belum terbiasa mendengar suara.

"Karena yang dia tahu, dunia ini sunyi," ucapnya.

Anaknya kini bersekolah di SD umum di Kota Pekanbaru. Tantangan berat masih menanti karena dia harus memastikan lingkungan anaknya dan guru-gurunya bisa menerima dan memberi perlakuan khusus bagi anaknya.

“Lingkungan juga harus siap, guru-gurunya di sekolah terutama, untuk memahami kondisi anak saya," ujarnya lagi.

Kumpulkan

Berdasarkan pengalamannya, Poppi kemudian berusaha mengumpulkan korban CRS di Pekanbaru agar mereka saling mendukung. Dari awalnya hanya berlima, akhirnya terbentuklah Komunitas Anakku Sayang. Mereka lebih sering berkomunikasi lewat grup WhatsApp.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, hingga kini sekitar 100 anak di Riau hidup dengan kondisi cacat akibat CRS. Namun, Poppi meyakini data itu ibarat fenomena gunung es.

"Tapi saya yakin itu belum semua. Masih banyak anak-anak terpapar rubela yang orangtuanya menutup-nutupi," ungkap Poppi.

Sindrom rubella kongenital, menurut siaran di laman resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia, adalah kumpulan gejala penyakit yang terdiri atas katarak (kekeruhan lensa mata), penyakit jantung bawaan, gangguan pendengaran, dan keterlambatan perkembangan, termasuk keterlambatan bicara dan difabilitas intelektual.

Sindrom itu disebabkan infeksi virus rubella pada janin selama masa kehamilan karena ibu tidak mempunyai kekebalan terhadap virus tersebut.

"Kalau orangtua mereka meninggal, siapa yang akan mengurus mereka nanti dengan ikhlas, karena ada anak yang untuk menyeka air mata saja mereka tidak bisa," tuturnya.

Dia meyakini satu-satunya cara untuk mencegah penyakit tersebut melalui imunisasi campak atau measles dan rubella (MR).

Komunitas Anakku Sayang bersedia membantu untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya imunisasi tersebut, karena terlalu banyak informasi keliru tentang pro dan kontra imunisasi MR yang terlanjur berkembang di tengah masyarakat.

Dia mengaku sempat sedih dengan lebih banyaknya informasi keliru tentang imunisasi MR yang mengakibatkan masyarakat terbentuk pola pikirnya terlebih dahulu untuk menolaknya.
"Itu tidak mudah untuk mengubahnya," tukasnya.

Ronaldo Purba, orangtua yang juga anaknya terdampak CRS, mengatakan istrinya tidak mengetahui bayi di kandungannya terserang rubela hingga sudah lahir. Anaknya lahir dengan kondisi salah satu bilik jantungnya bocor.

Dia terus berusaha melakukan tindakan medis dengan melakukan operasi jantung dan berhasil. Namun, ternyata dampak CRS juga menyerang pendengaran anaknya.

Dokter kemudian memvonis anaknya tuli. Sedangkan untuk mendengar secara normal butuh bantuan alat yang tidak murah.

"Alat bantu dengar yang sekarang kurang berhasil. Ada alat yang bagus tapi harganya mahal, satu buah Rp 210 juta," sebutnya.

Kepala Dinas Kesehatan Riau Mimi Nazir berharap, semua pihak mau menyukseskan imunisasi MR di Riau yang kini masih terkendala.

Sebabnya, dampak penyakit itu sangat berbahaya dan penularannya lebih mudah ketimbang HIV/Aids.

"Kalau HIV penularan dari hubungan badan, tapi kalau MR lebih mudah lagi karena dari udara juga bisa menular," terangnya.

Hingga Juli 2018, telah terdeteksi 972 kasus campak di Riau. Tiga daerah yang terbanyak memiliki kasus campak, antara lain Kabupaten Siak sektiar 29,2 persen, Kota Pekanbaru 26,7 persen, dan Dumai 13,1 persen.

Bahkan, pada 2017 Kota Dumai termasuk kategori kejadian luar biasa (KLB) karena kasus campak di daerah itu mencapai 220 kasus. Kabupaten Siak juga termasuk daerah KLB karena ada 103 kasus dan Indragiri Hulu 15 kasus.

Hingga pertengahan 2018, kasus campak di Siak sudah mencapai 49 kasus, Dumai 22 kasus, dan Pekanbaru 14 kasus.

Pencapaian Kepala Dinas Kesehatan Riau Mimi Nazir menambahkan, hingga September ini pencapaian imunisasi MR baru 18,47 persen dari target 1,955 juta anak usia sembilan bulan hingga 15 tahun.

Ketika program imunisasi MR untuk provinsi di luar Jawa serentak diluncurkan pada 1 Agustus lalu, reaksi penolakan bermunculan karena vaksin diragukan kehalalannya untuk umat Muslim.

Semua perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di 12 kabupaten/kota di Riau bereaksi, dan akhirnya beberapa pemerintah daerah serta masyarakat urung melaksanakan imunisasi MR kepada anak-anak mereka.

"Capaian Provinsi Riau sampai dengan 8 September 2018 hanya 18,47 persen masih jauh dari target. Bahkan, Riau berada di urutan dua paling bawah dari capaian provinsi se-Indonesia," ungkapnya.

Dinkes Riau menargetkan pencapaian bisa 95 persen dari seluruh anak yang menjadi sasaran imunisasi. Namun, karena adanya pro dan kontra kehalalan vaksin MR, program ini tidak berjalan di hampir seluruh kabupaten/kota.

Riau kini hanya berada di atas Provinsi Aceh yang tingkat pencapaian imunisasi MR hanya 6,86 persen. Dari 12 kabupaten/kota di Riau, hanya lima daerah yang pencapaiannya di atas 20 persen dan paling tinggi di Kabupaten Kuantan Singingi, sekitar 37,66 persen.

Realiasi imuniasi di Ibu Kota Provinsi Riau, yakni Kota Pekanbaru, hanya 15,36 persen. Bahkan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Siak, dan Kota Dumai masih di bawah 10 persen.
"Memang masih ada pemerintah daerah, seperti di Dumai, Indragiri Hilir, dan Pekanbaru, masih menunda pelaksanaan kegiatan imunisasi MR," kata Mimi.

Batas akhir program imunisasi MR pada akhir September kian dekat. Oleh karena itu, perlu ada komitmen kuat, khususnya pemerintah daerah, untuk mendorong agar anak-anak bisa mendapatkan vaksinasi gratis itu.

Selain opsi permohonan agar masa imunisasi MR diperpanjang, pemerintah juga tidak bisa menunggu agar orangtua datang ke puskesmas.

"Kita harus jemput bola, kalau perlu datang dari rumah ke rumah warga," kata Mimi Nazir.

Bolehkan

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Riau Prof Nazir Karim menyatakan lembaga ulama membolehkan umat Islam melakukan imunisasi MR karena dengan berbagai pertimbangan.

MUI akhirnya menyatakan, imunisasi MR hukumnya mubah atau boleh meski kandungan haram dalam vaksin tersebut.

"Memang vaksin itu hasil pemeriksaan (kandungannya) memang haram. Tapi dalam agama Islam ada ketentuan yang sangat terpaksa, darurat, dan tak ada yang lain, maka hal-hal yang haram zatnya bisa digunakan. Jatuhnya hukumnya mubah," kata dia.

Dia mengatakan, MUI Pusat hingga Riau sudah bertemu dengan berbagai pihak mulai dari kalangan pemerintah hingga lembaga PBB, Unicef, untuk membahas pro dan kontra imunisasi MR.

Dia meminta persoalan MUI Riau yang sebelumnya tidak menyarankan umat Muslim imunisasi MR sebelum ada kepastian kehalalan vaksin tersebut, jangan disalahartikan bahwa MUI menolak imunisasi.

MUI juga tidak akan menyalahkan pihak-pihak tertentu karena adanya polemik ini di masyarakat.

Dia menilai MUI dalam posisi akan terus mengingatkan pemerintah supaya terus berupaya mendapatkan vaksin yang halal ke depannya, agar anak-anak Muslim mendapat asupan obat yang baik untuk badan mereka.

"Jangan salahartikan MUI tidak mendukung, justru MUI dari awal mendukung imunisasi apa saja untuk anak-anak kita," ujarnya.

Dia menjelaskan hukum mubah atau boleh untuk imunisasi MR dilatarbelakangi sejumlah pertimbangan, yakni hingga kini belum ditemukan vaksin yang halal, kondisi memang sudah darurat, dan berdasarkan testimoni ahli bahwa kedaruratan bukan hal yang dibuat-buat.

"Justru kalau tak diimunisasi akan berdampak bahaya untuk anak," ujarnya. (FB Anggoro/ant)

Berita terkait