Semarang - Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jawa Tengah menemukan kasus ketidakberpihakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terhadap peserta dari warga miskin di Semarang. Menolak kemoterapi, pasien peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (BPI) diminta membayar seluruh biaya perawatan dan pegobatan yang telah diterima.
Koordinator DKR Jawa Tengah, Andreas Nur mengungkapkan kasus tersebut dialami pasien BPJS BPI bernama Karsinah, 60 tahun, warga Genuk, Kota Semarang. Perempuan tersebut didiagnosa mengalami kanker payudara.
"Ibu Karsinah dirujuk oleh puskesmas ke RSUD KRMT Wongsonegoro, Kota Semarang. Karena peralatan medis yang kurang memadahi kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Islam (RSI) Sultan Agung dengan menggunakan kartu BPJS PBI," tuturnya lewat siaran pers yang diterima Tagar, Minggu, 5 Juli 2020.
Ibu Karsinah kemudian dirawat sesuai dengan jaminan pelayanan kesehatan sesuai fasilitas kesehatan PBI yang dibayar oleh negara, mulai 1 Juli 2020. Awalnya pasien merasa nyaman dengan pelayanan yang cukup baik.
Bukankah semua tindakan harus mendapat persetujuan pasien?
Setelah beberapa kali melakukan perawatan, dokter meminta ibu Karsinah mengikuti kemoterapi. Namun pasien menolak kemoterapi karena merasa tidak siap secara fisik. Yang bersangkutan selanjutnya meminta pulang.
Dokter mengizinkan pulang, tapi meminta agar pasien membayar semua biaya pengobatan dan perawatan yang sudah berlangsung selama di rumah sakit.
“Hal ini sangat aneh dan mengagetkan pasien. Masuk rumah sakit dengan menggunakan BPJS PBI yang dibayar pemerintah. Tapi karena menolak kemoterapi, pasien disuruh bayar sendiri semua biaya di rumah sakit sebagai pasien umum,” ujar Andreas Nur.
Keluarga pasien akhirnya ketakutan dan mau tidak mau mencari pinjaman untuk menutupi biaya perawatan Karsinah. Karena kalau tidak segera membayar, biaya akan tambah membengkak.
Dari kuitansi pelunasan pembayaran, tertera biaya pelayanan Unit Keperawatan Rawat Inap sebesar Rp 771.500. Kuitansi pelunasan tersebut tertanggal 2 Juli 2020.
DKR pun menghubungi Dinas Kesehatan Kota Semarang untuk mencari kejelasan persoalan tersebut. Dari keterangan Kepala Seksi Asuransi Yuniar didapat keterangan jika pasien pulang atas kemauan sendiri maka semua pembiayaan ditanggung sendiri.
Andreas Nur pun menanggapi dengan menyatakan pasien tidak siap secara fisik menerima tindakan kemoterapi apakah harus dipaksa? Ia pun bertanya, “Bukankah semua tindakan harus mendapat persetujuan pasien?"
Yuniar menjelaskan bahwa edukasi dan penjelasan harus diberikan oleh rumah sakit agar pasien menyetujui tindakan yang akan dilakukan.
“Ini juga terkait dengan sistim pembiayaan JKN yang menggunakan tarif INA CBG’s berdasarkan diagnosa, termasuk obat, tindakan dan biaya perawatan,” jawab Yuniar melalui pesan WhatsApp.
Dalam percakapan itu Yuniar meminta Andreas menghubungi Tony, Kepala Bidang Kepesertaan dan Pengaduan di Kantor Cabang BPJS Kota Semarang.
Selang beberapa waktu, petugas BPJS Kesehatan di RSI Sultan Agung bernama Santy menghubungi DKR dan menyatakan segara memproses kepulangan ibu Karsinah.
“Saya diberitahukan keluhan pelayanan pasien Karsinah yang rawat inap di RSI Sultan Agung tanggal 1-2 Juli 2020 lalu sedang dalam proses tindak lanjut. Kemarin tanggal 3 Juli petugas BPJS sudah menghubungi keluarga pasien dan untuk tindak lanjutnya akan kami hubungi keluarga,” ujar Santy lewat pesat WhatsApp ke Andreas.
Atas kejadian tersebut, Andreas Nur menyatakan prinsip gotong royong yang dijanjikan dalam Undang-Undang SJSN adalah peserta yang sehat akan berkontribusi mendanai peserta JKN-KIS yang sedang sakit.
“Yang terjadi sebaliknya, iuran naik, tapi pelayanan pasien miskin dengan kartu BPJS PBI yang dibayar pemerintah, justru diminta bayar sendiri,” ucap Andreas. []
Baca juga:
- 3 Kekalahan Telak Jokowi: Karhutla, BPJS, dan Internet
- BPJS Kesehatan Untungkan Orang Kaya
- Wali Kota Serang Sebut Kenaikan BPJS Tidak Tepat