Medan - Selama 13 tahun, PT Hijau Pryan Perdana tidak mengantongi izin hak guna usaha atau HGU atas 2.380 hektare lahan di Desa Pasar Tiga, Kecamatan Panai Tengah, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara.
Itu terungkap dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi B DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan pada Rabu, 21 Oktober 2020.
"Perusahaan ini tidak memilki izin HGU sejak 2007. Mengapa bisa beraktivitas tanpa izin HGU. Seharusnya, setelah izin lokasi dikeluarkan pemerintah, tiga tahun kemudian izin HGU segera diurus. Ini sangat aneh," ungkap Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumut Zeira Salim Ritonga.
Selain tidak memiliki HGU, perusahaan ini juga melanggar perjanjian dengan kelompok tani atau Koperasi Konsumen Pane Sapokat yang dibuat pada 2013 lalu.
Perusahaan perkebunan ini mengeluarkan 20 persen dari lahan yang dikuasai untuk kesejahteraan masyarakat sekitar, yakni sebesar 314 hektare.
"Tapi nyatanya, perusahaan tidak menepati janji sehingga kelompok tadi mengadu ke dewan," kata Zeira.
Ketua Komisi B DPRD Sumut Viktor Silaen menambahkan, pihaknya akan melakukan kunjungan ke PT HPP.
"Kami akan meninjau ke lokasi. Melihat segala perizinan yang mereka miliki. Selain itu, kami juga meminta agar Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu proaktif melihat kasus ini," tegasnya.
Mereka rampok hak masyarakat. Kami meminta perusahaan ini diaudit
Dia kemudian meminta perusahaan menepati perjanjian yang telah disepakati dengan masyarakat.
Karena itu juga merupakan amanat Undang undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, bahwa perusahaan wajib menyediakan plasma sebesar 20 persen.
"Perjanjian perusahaan dengan masyarakat harus ditepati. Jika perusahaan ada mengeluarkan aturan baru tentang perjanjian, seharusnya membuat adendum. Jika tidak, itu namanya mereka sepihak dan tidak boleh," tuturnya.
Komisi B memberikan kesempatan kepada perusahaan dan masyarakat duduk bersama mencari solusi.
Proses hukum bisa dilakukan jika memang tidak menemukan kesepakatan.
"Kami dari DPRD Komisi B menyarankan perusahaan dan koperasi silakan duduk bersama mencari solusi. Jika tidak ada solusi, silakan ditempuh dengan jalur hukum. Sebenarnya masalah ini tidak rumit, jika perusahaan menjalankan perjanjian," terang politisi Partai Golkar itu.
Manajer Plasma PT HPP Adi mengatakan, mereka telah berkerja sesuai dengan perjanjian.
Dia klaim perusahaan yang berkantor di Labuhanbatu itu telah menghabiskan dana sebesar Rp 7 miliar.
"Jadi kami sudah sesuai dengan perjanjian, dana Rp 7 miliar sudah habis untuk biaya perkebunan dan sebagainya. Jadi apa yang dikeluhkan masyarakat tidak benar," ungkapnya.
Ditanya mengenai izin HGU yang belum dimiliki, Adi bungkam dengan alasan bukan pihak yang mengurusi perizinan.
"Saya bidang plasma, jadi saya tidak mau berkomentar mengenai izin HGU," katanya berkilah.
Surya selaku perwakilan warga menegaskan, perusahaan tersebut melanggar aturan, ingkar janji, dan tidak memiliki etika.
"Mereka rampok hak masyarakat. Kami meminta perusahaan ini diaudit," katanya.[]