Jakarta - Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, tepatnya satu tahun di periode kedua ini dinilai belum dewasa dalam berdemokrasi. Hal itu terlihat atas kegerahan pemerintah dengan adanya oposisi atau pengkritik di luar pemerintahan.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR, Mulyanto berpandangan bahwa pemerintahan Jokowi merasa terganggu dengan adanya oposisi yang berada di parlemen maupun di luar parlemen.
Pemerintah yang seharusnya mendamaikan ternyata malah jadi sumber perpecahan
Menurutnya, pemerintah menganggap oposisi sebagai ancaman sehingga perlu ditiadakan dengan segala cara.
"Demokrasi itu mensyaratkan adanya oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan. Dengan adanya oposisi maka Pemerintah akan dapat dikontrol dan diawasi kinerjanya," ujar Mulyanto melalui keterangannya dikutip Tagar, Selasa, 20 Oktober 2020.
Dia menegaskan, oposisi di luar parlemen seharusnya diberi ruang yang cukup untuk menyampaikan pendapat dan kritikan kepada pemerintah, bukan malah didiskreditkan sebagai ancaman negara.
Padahal, kata dia, di parlemen hampir semua kekuatan partai politik dirangkul menjadi koalisi pemerintah.
Dia menegaskan, wajar-wajar saja jika kelompok oposisi, yang semula lebih bersifat keumatan, yang disimbolkan dengan tokoh Habib Rizieq Shihab semakin melebarkan sayap dengan adanya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
"Makanya wajar jika semakin melebar dengan dideklarasikannya oposisi yang lebih bersifat kebangsaan dalam gerakan KAMI, dengan tokoh sentralnya Prof. Din Syamsudin dan Jendral Gatot Nurmantyo," ujar Mulyanto.
Selain itu, dia juga menyorot perihal terpecahnya masyarakat dengan istilah 'cebong dan kadrun' di periode kedua Jokowi.
- Baca juga: Keambyaran Periode ke-2 Jokowi, Rakyat Jadi Cebong - Kadrun?
- Baca juga: Hinca Tegaskan Jokowi Kerap Keluarkan Kebijakan Tak Populer
"Secara sosial kemasyarakatan, masyarakat Indonesia terbelah menjadi cebong-kadrun. Pemerintah yang seharusnya mendamaikan ternyata malah jadi sumber perpecahan," ucap Mulyanto.[]