Perang Obor: Ikhtiar Tolak Bala Warga Jepara

Tradisi itu muncul karena ada seteru antara Kyai Babadan dan Mbah Gemblong yang adalah cikal bakal desa tersebut.
Seorang peserta Perang Obor sedang bersiap-siap memulai ritual. (Foto: Tagar/Padhang Pranoto)

Jepara - Perang Obor, sebuah tradisi kuno sebagai ritual tolak bala dan wujud rasa syukur dilestarikan oleh warga Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Konon, tradisi itu muncul karena ada seteru antara Kyai Babadan dan Mbah Gemblong yang adalah cikal bakal desa tersebut.

Sebagaimana namanya, ritual itu memang mempertontonkan sebuah peperangan. Peperangan antarwarga, menggunakan sebuah obor-oboran yang terbuat dari pelepah kelapa dibalut daun pisang kering disulut api.

Pesertanya, adalah laki-laki dewasa. Seperti pada Senin 5 Agustus 2019 malam, sebanyak 40 peserta melakukan ritual Perang Obor.

Ritual dimulai sekitar pukul 19.30 WIB dengan mengarak sebuah piring tanah liat yang berisi bunga dan kemenyan, disertai dengan pusaka Desa Gambyong Sari dan Podang Sari. Rombongan kemudian menuju sebuah perempatan desa, yang diyakini sebagai bekas kandang ternak milik Kyai Babadan.

Tempat itu juga diyakini sebagai lokasi perseteruan Babadan dengan Mbah Gemblong, yang menjadi asal usul ritus Perang Obor.

Kemudian, perangkat desa tersebut membuat lingkaran kecil, mengitari piring tanah liat yang kemudian didoakan. Setelahnya, api pun disulut pada piring tanah liat tersebut.

Lantas, secara bergantian, api dari piring tanah liat itu digunakan untuk menyulut 400 obor-obor yang telah disediakan oleh panitia.

Perang pun dimulai, para peserta kemudian saling memukulkan obor ke tubuh lawan. Obor sendiri yang terbuat dari pelepah kelapa dan daun pisang kering memunyai tinggi sekitar 200 sentimeter.

Perang OborPerang Obor, dilakukan oleh Warga Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, pada Senin, 5 Agustus 2019 malam. Tradisi kuna ini diyakini dapat menolak bala' dan sebagai wujud rasa syukur terhadap rezeki yang diberikan Tuhan. (Foto: Tagar/Padhang Pranoto)

Meskipun demikian, penonton ramai menyemut di sepanjang jalan. Mereka menikmati pertunjukan, walau kadang harus berdesakan dan menghindari obor-obor yang dibawa oleh peserta agar tak terpercik api.

Namun uniknya, meskipun saling berperang, para peserta tidak lantas saling mendedam. Setelah acara rampung, mereka kembali berangkulan sebagai sesama warga Desa Tegalsambi.

Seperti penuturan Andi, 24 tahun, ia mengaku sudah enam kali mengikuti acara tersebut. Meskipun terkena sabetan obor dari lawan, toh ia tidak menaruh dendam.

"Tidak dendamlah, karena kan masih tetangga, akur lagi. Ini bagian dari tradisi kami," ujarnya.

Perangkat Desa Tegalsambi, Zainal Arifin menyebut, ritual tersebut dilakukan setiap Senin Pahing, Bulan Apit, penanggalan Jawa. Hal itu menurutnya sudah menjadi tradisi yang terus dilestarikan hingga kini.

Karena dengan kegiatan yang semakin besar, pasti akan menarik kunjungan wisatawan

"Ada lagi yang unik, setiap jelang Senin Pahing kita menyembelih kerbau yang masih "perjaka", yang belum digunakan untuk membajak sawah. Filosofinya, agar masyarakat di sini juga memerangi kebodohan," tuturnya, sesaat sebelum acara.

Selain itu, ada pula minyak khusus yang digunakan sebagai obat luka bakar. Karena, api yang memercik ke tubuh peserta seringkali menimbulkan luka, walaupun peserta sudah melindungi diri dengan pakaian yang menutupi seluruh kulit dan muka.

Minyak tersebut juga masih dibuat secara tradisional. Ramuan terdiri dari minyak kelapa dicampur dengan kembang-kembang seperti kenanga dan sebagainya. Untuk membuatnya, diperlukan waktu satu tahun, sebelum siap digunakan. 

"Jadi, minyak itu dibuat oleh istri dari kepala desa. Buatnya Senin Pahing tahun lalu, direndam dengan selama satu tahun. Khasiatnya ampuh untuk menyembuhkan luka bakar," ujar Slamet Riyadi, seorang perangkat Kebayan Leger Desa Tegalsambi.

Kisah Kyai Babadan dan Mbah Gemblong

Slamet Riyadi menuturkan, awal mula tradisi ini memang dimulai dari cerita turun menurun, tentang Kyai Babadan dan Mbah Gemblong. Diceritakan, Kyai Babadan adalah seorang yang memiliki banyak ternak baik sapi maupun kerbau.

Untuk memeliharanya, ia menunjuk Mbah Gemblong. Namun, kepercayaan Babadan justru diingkari oleh Mbah Gemblong. Bukannya mengembalakan ternak majikannya, ia justru sibuk mengail di Sungai Kembangan.

Perang OborRitual pembasuhan luka bakar menggunakan minyak kelapa murni yang direndam dengan bunga selama satu tahun. (Foto: Tagar/Padhang Pranoto)

Karenanya, Kyai Babadan pun marah dan menegur Mbah Gemblong. Namun teguran itu tak dihiraukan, sehingga si empunya ternak melempar Gemblong dengan Breman (sejenis obor-obor untuk menghalau nyamuk).

Peristiwa itupun saling berbalas. Sehingga terjadilah perang, saling pukul Breman. Akibatnya, ternak-ternak pun ketakutan lari keluar kandang.

"Nah ketika ternak keluar mereka malah sembuh penyakitnya dan tubuhnya gemuk. Maka Kyai Babadan dan Mbah Gemblong, sadar apa yang dilakukan mereka sebagai ajang tolak bala. Lalu hal itu dilestarikan oleh masyarakat hingga sekarang," tutur Slamet.

Kepala Desa Tegalsambi, Agus Santoso mengatakan, acara Perang Obor juga dimaksudkan untuk menarik wisatawan. Karena, desa ini sudah ditetapkan sebagai kawasan desa wisata.

"Selain rasa syukur kita terhadap rezeki yang telah diperoleh, acara ini merupakan ajang untuk menumbuhkan semangat warga karena kita sudah ditetapkan sebagai desa wisata. Harapan kami Perang Obor bisa dipatenkan, agar tidak ada yang menjiplak kegiatan semacam ini," ungkap Agus.

Hal itu diamini oleh Plt Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jepara Zamroni Leztiaza. Ia mengaku siap mendukung sektor-sektor wisata yang diselenggarakan oleh warga.

"Tidak hanya Perang Obor, seperti baratan, Jembul Tulakan maupun Jembul Banyumanis kita selalu support. Karena dengan kegiatan yang semakin besar, pasti akan menarik kunjungan wisatawan. Seperti pada event ini, jumlah pengunjung semakin meningkat, dari tahun ke tahun," pungkas Zamroni. []

Baca juga:

Berita terkait