Perajin Genteng Keripik Tradisional Masih Bertahan di Bantul

Seorang perajin genteng keripik yang digarap dengan cara tradisional di Bantul, Yogyakarta, masih bertahan meski bersaing dengan genteng pres.
Rohmad beserta Wardi, ibunya tengah membentuk genteng sesuai cetakan. (Foto: Tagar/Faya Lusaka Aulia)

Bantul – Rohmad tampak serius bekerja di depan tumpukan tanah liat basah. Dia mengambil segumpal tanah liat kemudian diletakkannya di atas semacam pencetak berbentuk segitiga, lalu melangkah naik ke atasnya, menginjak-injak tanah liat itu agar terbentuk sesuai dengan alat cetak.

Wardi, ibu Rohmad duduk di kursi kayu tidak jauh dari tempat Rohmad berdiri. Dia memegang tanah liat yang sudah dibentuk menjadi genteng. Jemarinya perlahan menghaluskan genteng hasil cetakan menggunakan semacam kain yang dibasahi.

Sementara istrinya, Dalinem, istrinya duduk di kursi kecil sambil mengerjakan hal yang sama dengan sang mertua.

Rohmad dan Dalinem adalah suami istri perajin genteng keripik dari tanah liat. Genteng keripik pernah mengalami masa kejayaan di Kabupaten Bantul dan sekitarnya, seperti Kulonprogo.

Dulu perajin genteng keripik cukup banyak terdapat di Kabupaten Bantul, terutama wilayah sebelah barat. Namun seiring dengan adanya perkembangan zaman membuat pengusaha dan pengerajin genting keripik satu-persatu harus gulung tikar karena adanya persaingan dengan mulai bermunculannya genteng pres yang lebih modern.

Meski pangsa pasar dikuasai oleh genteng press, pria berusia 45 tahun dan istrinya ini tetap bertahan memroduksi genteng itu di rumahnya, Dusun Polosiyo, Desa Poncosari, Kapanewon (Kecamatan) Srandakan, Kabupaten Bantul. Mereka merasa masih mampu bersaing.

Usaha Keluarga

Rohmad mengaku hanya menerusakan usaha genteng keripik milik keluarganya. Sang ayah memulai usaha tersebut sejak tahun 1965. Dulu, di wilayah Dusun Polosiyo terdapat sekitar 10 perajin genteng keripik, namun kini Rohmad menjadi satu-satunya.

Cerita Genteng Keripik Bantul (2)Rohmad, 45 tahun, saat menaruh wuwung hasil cetakannya. (Foto: Tagar/Faya Lusaka Aulia)

Sekitar tahun 1990-an kawasan Kapanewon Srandakan menjadi sentra perajin genteng keripik yang kondang, bersaing dengan perajin serupa yang berada di Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul.

Menurut Rohmad yang ditemui Selasa, 15 Desember 2020, genteng keripik yang dihasilkan oleh perajin di Polosiyo ini lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan hasil dari perajin di Imogiri. Sebab tanah liat di Polosiyo kadar airnya lebih sedikit, karena berada di dekat pantai.

Asal mula nama genteng keripik, kata Rohmad, berasal dari sang simbah (kakek). Tapi dia tidak mengetahui alasan penamaan genteng itu menjadi genteng keripik. Bentuk genteng keripik memang lebih tipis jika dibandingkan dengan bentuk genteng pres. Mungkin karena bentuknya yang tipis itu, maka disebut genteng keripik.

Bentuk genteng keripik ini memang tipis, apalagi jika dibandingkan dengan genteng pres tentu saja lebih tipis. Mungkin karena bentuknya yang tipis tersebut maka dulu simbah menyebutnya genteng kripik.

Rohmad mulai belajar membuat genteng keripik pada sang sang ayah sejak dia berusia 16 tahun. Dia memilih untuk meneruskan usaha keluarga sebagai perajin genteng keripik, daripada harus mencari pekerjaan lain.

Selain untuk meneruskan usaha keluarga, Rohmad mengaku dirinya merupakan tipe yang lebih suka mandiri., jadi ingin meneruskan usaha ini mulai dari nol. Saat ini Rohmad meneruskan usaha genteng kripik yang turun-temurun dari keluarganya bersama dua perempuan kesayangannya, Wardi dan Dalinem.

“Usaha yang didirikan oleh keluarga saya ini sudah berjalan selama setengah abad. Dulu waktu kecil saya awalnya hanya suka melihat dan bermain-main ketika bapak sedang membuat genteng. Kemudian saat saya sudah mulai beranjak remaja saya jadi tertarik untuk mencoba, tidak hanya melihat saja,” kata Rohmad.

Sembari membuat cetakan genteng keripik, Rohmad menjelaskan proses pembuatan. Tahap paling awal dari pembuatan genteng keripik adalah mencari tanah liat sebagai bahan baku utama.

Biasanya Rohmad mengupah orang untuk mencari tanah liat di sekitar Polosiyo. Dengan membayar sebesar Rp 150 ribu dia memperoleh tanah sebanyak satu mobil pikap, yang bisa digunakan untuk membuat 2.500 genteng keripik.

Tanah tersebut kemudian diaduk menggunakan cangkul dan diinjak-injak menjadi sebuah tanah liat padat. Selanjutnya tanah padat itu digiling agar lebih halus dan menghilangkan kerikil pada gumpalan tanah.

Cerita Genteng Keripik Bantul (3)Dalinem, istri Rohmad sedang menghaluskan wuwung yang baru selesai dicetak. (Foto: Tagar/Faya Lusaka Aulia)

Tanah yang sudah halus dan bersih lalu diinjak-injak di atas alat cetak. Setelah terbentuk seperti cetakan, tanah itu ditaburi pasir progo agar tidak lengket.

Proses pencetakan ini dilakukan oleh Rohmad beserta ibu dan istrinya. Selanjutnya dijemur selama tiga hingga empat jam. Jika sudah kering genteng-genteng tersebut dibakar dalam tobong (tungku) besar yang terbuat dari batu bata di samping rumah Rohmad. Tobong itu mampu menampung hingga 2.000 genteng.

Genteng-genteng itu dibakar selama lima jam dengan bahan bakar berupa pelepah kelapa.

Tobong ini mampu membakar sebanyak 2.000 genteng sekaligus selama lima jam dengan bahan bakar pelepah kelapa,’ jelas Rohmad sembari menunjukkan tobong miliknya.

Kendala yang Dihadapi

Dalam memroduksi genteng, Rohmad mengaku sangat membutuhkan terik sinar matahari untuk menjemur genteng yang baru selesai dicetak. Setiap harinya, mulai pukul 09.00 wib hingga pukul 16.00 wib Rohmad menghasilkan 300 genteng keripik yang harus segera dijemur di bawah terik sinar matahari.

Jika musim hujan seperti saat ini, dia harus menjemur gentengnya lebih lama daripada biasanya, yang tentu saja memperlambat proses penjualan ke konsumen. Selain itu, pekerjaannya bertambah karena harus mengangkat genteng-genteng yang dijemur agar tidak kehujanan.

Meski demikian, sampai saat ini Rohmad masih mempertahankan proses pembuatan genteng secara manual. Sebab proses pembuatan sangat memengaruhi kualitas genteng.

Kata Rohmad, kualitas gentengnya cukup bisa diandalkan. Meskipun bentuknya tipis dan ringan, genteng itu belum tentu pecah jika dijatuhi buah kelapa. Kelebihan lain adalah pengait antar-genteng lebih rapat, sehingga saat hujan turun kemungkinan bocornya pun menjadi lebih kecil.

“Hingga saat ini belum ada konsumen yang komplain terkait kualitas genteng keripik” jelas Rohmad.

Selain memroduksi genteng keripik, Rohmad beserta ibu dan istrinya juga memroduksi wuwung atau bubung yang biasanya dipasang pada bagian puncak rumah.

Cerita Genteng Keripik Bantul (4)Rohmad bercerita sembari menunjukkan tobong yang berada di samping rumahnya. (Foto: Tagar/Faya Lusaka Aulia)

Selisih harga genteng keripik dan wuwung cukup jauh. Untuk genteng keripik dijual seharga Rp 900 ribu per seribu genteng. Sedangkan wuwung Rp 6 ribu per biji. Harga itu berubah jika diantar pada konsumen, yakni menjadi Rp 7 ribu hingga Rp 8 ribu per biji. 

Harga yang ditawarkan oleh Rohmad ini jauh lebih murah dibandingkan dengan genteng pres. Rata-rata harga genteng pres Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta per seribu genteng.

Selama ini konsumen genteng kripik milik Rohmad kebanyakan berasal dari Yogyakarta, Kulon Progo dan sekitarnya. Kebanyakan genteng keripik ini digunakan untuk atap-atap rumah khas tradisional, seperti pendopo-pendopo Jawa dan limasan. “Untuk rumah atau bangunan dengan ukuran 6x8 meter biasanya memerlukan genteng keripik sebanyak 2.000-2.500 buah.”

Rohmad mengaku akan terus mempromosikan pada masyarakat bahwa masih ada genteng keripik berkualitas bagus untuk membangun rumah. Hal ini juga didukung oleh ibu dan istri Rohmad.

“Saya ingin mengenalkan kepada masyarakat bahwa ada genteng keripik dari desa yang memiliki kualitas baik untuk digunakan untuk membuat rumah.” []

Berita terkait
Doni Monardo pada Jam Makan Siang di Graha BNPB
Makan siang di Graha BNPB, olahan serba sagu terhidang di meja: briyani, kabsa, liwet, uduk Papua, sagu goreng. Doni Monardo minta piring besar.
Tahu Putih Ubah Jalan Hidup Mantan Anak Nakal di Bogor
Seorang pengusaha pembuatan tahu di Bogor mengaku sempat mengalami fase nakal dalam perjalanan hidupnya, tapi usaha tahu membuat berhenti nakal.
Omzet Menurun, Pembudidaya Jamur Tidur di Pasar Cilacap
Pandemi menyebabkan penurunan omzet pembudidaya jamur tiram di Cilacap, Jawa Tengah. Zuhdi, si pembudidaya menginap di pasar untuk lihat penjualan.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.