Tahu Putih Ubah Jalan Hidup Mantan Anak Nakal di Bogor

Seorang pengusaha pembuatan tahu di Bogor mengaku sempat mengalami fase nakal dalam perjalanan hidupnya, tapi usaha tahu membuat berhenti nakal.
Karyawan Musodik sedang mengaduk sari kedelai yang telah mengental sebelum melakukan pencetakan tahu. (Foto: Tagar/ Nabila Tsania)

Bogor - Sejumlah tong berwarna biru berjejer di lantai salah satu pabrik tahu di kawasan Jalan R. Aspia, Karadenan, Cibinong, Bogor. Tong lain yang terbuat dari logam juga ada di ruangan itu, tapi fungsinya berbeda.

Tumpukan bak persegi berisi tahu diletakkan di depan ruangan pabrik. Dinding bangunan itu hanya dilapisi semen, tanpa warna cat. Ruangannya terkesan usang dan pengap akibat uap panas dari rebusan kacang kedelai.

Sementara sebuah mesin boiler berbentuk silinder berdiri di sudut kiri bangunan. Beberapa pipa menjalar di atap bangunan, mengalirkan uap panas dari mesin itu.

Dua pria sibuk mengatur tong berwarna biru yang berisi semacam bubur berwarna putih. Bubur itu adalah sari kedelai yang akan diolah menjadi tahu.

Jarum pendek pada arloji bergeser ke angka satu. Langit siang itu, Senin 14 Desember 2020, terlihat muram saat baskara bersembunyi di balik gerombolan awan.

Alunan musik dangdut menemani para pekerja. Redupnya sinar matahari tak membuat semangat mereka ikut redup. Tangan-tangan mereka tangkas menuang adonan panas berwarna putih, lalu membalutnya dengan kain, dan mencetaknya pada papan cetak tahu.

Berawal dari Buruh

Musodik, sang pemilik usaha pabrik tahu, tinggal tak jauh dari tempat produksinya. Saat didatangi, dengan ramah dia mempersilakan duduk di sofa ruang tamunya yang berwarna abu-abu. Kisahnya sebagai pengusaha pabrik tahu berawal dari tekadnya mengubah hidup. Dulu dia bekerja di pabrik tahu milik adiknya, sekaligus menimba ilmu di sana.

Banyak orang yang gagal karena, saat mereka ingin melompat satu langkah lagi ke arah sukses, di saat itu pula mereka menyerah.

Musodik kecil bukan berasal dari latar belakang keluarga berada. Bahkan, dulu untuk sekadar membeli sebuah sepeda pun dia tidak mampu. Berbeda dengan kawannya yang mudah untuk mendapatkan barang yang mereka inginkan.

Cerita Pembuat Tahu Bogor 2Musodik, 42 tahun, pemilik usaha pabrik tahu di Jalan R. Aspia, Karadenan, Cibinong, Bogor. (Foto:Tagar/Nabila Tsania)

Namun, sedari kecil, dia menanamkan prinsip “saya bisa, saat saya ‘ada’”, maknanya adalah semua memiliki waktunya masing-masing. Dia yakin suatu saat bisa memenuhi apa yang dia inginkan dari hasil jerih payahnya sendiri, bukan hasil meminta dari orang tua. Tak pernah terbesit di benaknya untuk meminta pada orang tuanya atau meminjam barang milik temannya.

Bermacam pekerjaan telah dia jalani untuk menjadi "Ada". Mulai dari kuli proyek, pegawai toko, pelayan di warung nasi padang, hingga menjadi buruh pabrik tahu milik adiknya di Jakarta. Kala itu sang adik terjerat kasus tahu formalin, dan usahanya dilanjutkan oleh Musodik.

“Saya merasa kalau jadi pekerja ada batasan di dalamnya, gaji sudah ditentukan, kalau punya usaha sendiri, sekecil apapun usahanya, penghasilannya tidak ada batasan selagi kita mau usaha,” katanya.

Menjalankan usaha pabrik tahu cukup mampu mengubah jalan hidup dan menjadi rem untuk Musodik dari fase “Nakal” akibat pergaulan.

Bagi Musodik takdir dan nasib adalah dua hal yang berbeda. Menurutnya, takdir memang sudah kehendak-Nya yang tak bisa diubah, sedangkan nasib bisa diubah, tergantung kemauan seseorang untuk berusaha. Rezeki takkan datang kalau orang itu tidak berusaha mencarinya.

Segala upaya dilakukan oleh Musodik saat memulai usaha, dia sempat menjual semua barang yang bisa diuangkan sebagai modal membeli peralatan pabrik. Perhiasan ibunya dan istrinya pernah diberikan kepadanya untuk modal usaha. Saat itu, Musodik menghabiskan sebanyak Rp 300 juta untuk menyewa lahan pabrik, membeli peralatan, dan membeli mobil untuk distribusi.

Pria kelahiran 1978 ini merintis usahanya saat berusia 28 tahun. Selama dua tahun awal dia berjuang mengembangkan usahanya dan tak berharap keuntungan finansial. Sebab saat itu yang dibutuhkan hanya terus belajar, memperdalam ilmu, dan memahami karakter pegawainya.

Menurutnya tak semua orang bisa bertahan merintis usaha selama dua tahun. Setelah dia pelajari, banyak orang yang gagal karena di saat mereka ingin melompat satu langkah lagi ke arah sukses, di saat itu pula mereka menyerah.

Terkadang kegagalan dan kesuksesan hanya dibatasi satu garis tipis saja, tetapi memang pada hakikatnya berjuang bukanlah perkara mudah. “Intinya, asalkan kita mau usaha dan punya tekad kuat, pasti ada jalan. Apapun cobaannya hadapi saja,” kata Musodik.

Kendala dalam Berusaha

Genap 10 tahun usahanya berjalan, Musodik merasa cobaan terus menerpa usahanya bertubi-tubi. “Pernah suatu waktu, mobil yang masih berstatus sewa, nabrak, harus ganti full cabin, sementara lagi gak ada uang,” katanya.

Cerita Pembuat Tahu Bogor 3Para pegawai dengan cekatan membalut tahu dengan kain putih dan mencetaknya pada papan cetak yang terbuat dari kayu. (Foto: Tagar/ Nabila Tsania)

Kendala lain yang dihadapinya pada awal merintis usaha adalah ditipu. Mulai dari konsumen yang lari dari utang hingga barangnya dicuri oleh anak buahnya. Tetapi, Musodik merasa tak enak hati menagih utang saat melihat kondisi orang tersebut sedang kekurangan.

“Kadang kalo nagih utang juga lihat kondisi mereka gimana, jadi ujungnya saya ikhlasin saja, lalu putus hubungan kontrak,” katanya.

Istrinya sempat menyuruh Musodik menyudahi usahanya. Tetapi dia tetap bertahan, hati kecilnya bicara bahwa dia bisa mengubah hidupnya. Setelah usahanya berjalan, hati kecilnya yakin bahwa ini adalah jalan hidupnya. Di situlah dia termotivasi agar tetap semangat.

Dalam berusaha, lanjut dia, pikiran dan perasaan harus sejalan. Saat merintis usaha pertamanya di kawasan Sawangan, pikiran dan perasaannya merasa tak cocok, alhasil usahanya tak berjalan mulus.

Dia juga pernah mencoba pengalaman baru dengan menjalani bisnis travel. Namun, bisnis itu juga tak berjalan. Akhirnya, saat dia pindah ke Cibinong, dia melanjutkan usaha pembuatan tahu, yang menurutnya cocok antara pikiran dan perasaan.

Masalah dalam usaha pembuatan tahu menurutnya cukup kompleks, mulai dari bahan tambahan pangan (BTP) hingga lingkungan. Dulu dia menggunakan formalin sebagai bahan pengawet, tetapi dia merasa tidak tenang. Akhirnya, dari sesama pembuat tahu dia mengetahui adanya bahan lain selain formalin sebagai pengawet, yang digunakannya sejak enam tahun lalu.

Hanya saja harga formalin memang jauh lebih murah dan bisa membentuk tekstur tahu. Sedangkan bahan yang aman, harus dicampur beragam bahan lain, dan dari segi harga jauh lebih mahal. Sehingga masih ada beberapa perajin tahu yang menggunakan bahan berbahaya tersebut.

Dia juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak memberi solusi pengganti formalin. Menurutnya, mereka hanya menindak saja dan ujungnya diberi sanksi denda. “Seolah kita tuh seperti oknum, kayak lahan yang dibiarkan tumbuh nanti pas sudah subur, mereka panen,” ucapnya mengeluh.

Kendala lain yang dihadapinya saat iini adalah kenaikan harga bahan baku utama, yakni kedelai dan garam. Dia menggunakan kedelai grade B yang diimpor dari Amerika Serikat. Sementara BTP yang dipakai adalah Benzoat dan Palata (fermentasi kulit pisang).

Harga kedelai saat ini sedang tinggi, berkisar Rp 8.300 hingga Rp 8.500 per kilo. Padahal harga normalnya antara Rp 6.500 hingga Rp 7.500. Meski harga bahan baku melejit, harga jual tahu tak bisa dinaikkan. “Kalau harganya lagi turun ya untung, kalo harga naik ya paling nombok,” ujar Musodik.

Keuntungan Tidak Tentu

Dalam satu kali produksi, Musodik menghabiskan 30 karung kedelai dengan berat per karungnya 50 kg. Dari 30 karung kedelai, dia bisa menghasilkan 13 hingga 15 kuintal tahu. Harga jual tahu berukuran sedang Rp 2.300, sedangkan tahu berukuran besar dijual dengan harga Rp 2.700.

"Naik turunnya order tergantung laku atau enggak di pasar. Kalo kondisi pandemi jelas kena dampak, awalnya biasa produksi 3 ton sekarang berkurang ke 1,5 ton atau 2 ton saja,” jawabnya saat ditanya pengaruh pandemi Covid-19.

Musodik meraup omzet sekitar Rp 18 juta sampai Rp 19 juta per hari. Tapi, tentang keuntungan yang didapatkan, dia mengaku tidak pernah bisa menjawab, karena keuntungan itu tidak pasti. Ada kalanya dapat untung lebih, kadang tak dapat untung sama sekali.

Dia tak memiliki pembukuan khusus untuk mencataa keuntungan dan kerugian usahanya. Musodik, hanya mempunyai buku untuk mencatat pesanan masuk, buku besar untuk data utang yang sudah ditagih atau belum, dan bon bagian.

Cerita Pembuat Tahu Bogor 4Tahu putih berukuran besar yang sudah siap untuk dikirim. (Foto: Tagar/ Nabila Tsania)

“Kalo pakai pembukuan, di saat ketahuan lagi rugi, membuat pikiran gak tenang, kalau mau beli ini itu juga seolah dikuasai sama pembukuan tersebut, mau tak mau harus kontrol banget,” katanya.

Hal terpenting baginya, dia bisa menyisihkan uang, bisa bayar bahan-bahan baku, dan ada uan untuk perputaran usahanya. Dia sangat mempertimbangkan antara aset dan utang. Dia tak mau nantinya lebih banyak utang ketimbang aset.

Menurut pria yang telah memiliki 2 anak ini, jangan pernah punya prinsip hanya mau untung saja, karena dalam bisnis pasti akan bertemu dengan rugi. Kalau dari awal hanya berpikir keuntungan saja, saat bertemu rugi, pasti langsung berhenti usahanya.

Saat ini sebanyak 20 orang pegawai membantunya memroduksi tahu. Dia menjelaskan, proses pertama membutuhkan beberapa tahapan. Dimulai dengan merendam kedelai selama dua hingga tiga jam.

Setelah kedelai mekar, kemudian digiling lalu dimasukkan ke mesin peras untuk diambil sari patinya. Sari pati tersebut direbus selama 10 menit dengan ditambahi garam dan cioko agar mengental. Jika sudah mengental, adonan diaduk dan di-press. Terakhir, tahu dicetak sesuai papan cetakan.

Ampas tahu dan barang retur tak dibuang. Sisa ampas tahu dijual untuk kebutuhan pakan ternak atau pakan ikan. Harga jual per karungnya Rp 13 ribu untuk langganan. Sementara, untuk konsumen biasa, Rp 20 ribu. Sedangkan barang retur biasanya diambil warga sekitar.

Mengenai limbah dari pabriknya, kata Musodik tak menimbulkan masalah. Karena tidak menggunakan bahan kimia, sehingga saat dibuang ke sungai, tidak akan mengendap dan menghasilkan bau, serta tak mengubah unsur warna di sungai.

Pemerintah daerah setempat pernah memberikan bantuan berupa alat pengolahan limbah. Tetapi alat seharga Rp 200 juta itu hanya mampu mengolah sebanyak 3 meter kubik saja, sedangkan limbah pabriknya mencapai 50 meter kubik dalam sehari. Dia merasa tak sanggup jika harus membayar sekitar Rp 2 miliar untuk pengolahan limbah saja.

Seorang pegawainya mengaku Musodik memberi gaji cukup tinggi untuk mereka, yakni minimal Rp 100 ribu per hari.

“Sistem gaji per hari, untuk pegawai senior uang makan Rp 150 ribu, gajinya Rp 130 ribu per hari. Kalau pegawai baru gaji minimalnya Rp 100 ribu per hari,” ujar salah satu pegawai Musodik. []

(Nabila Tsania)

Berita terkait
Omzet Menurun, Pembudidaya Jamur Tidur di Pasar Cilacap
Pandemi menyebabkan penurunan omzet pembudidaya jamur tiram di Cilacap, Jawa Tengah. Zuhdi, si pembudidaya menginap di pasar untuk lihat penjualan.
Marbot Masjid di Tangerang yang Umrah Karena Menjaga Rumah
Seorang penjaga masjid atau marbot di Tangerang yang berasal dari Pandeglang, Banten, dibiayai kuliah dan umrah karena menjaga rumah.
Perempuan Pencetus Kampung Ramah Lingkungan di Bogor
Seorang perempuan mantan jurnalis menjadi penggerak untuk pembuatan kampung ramah lingkungan di Bogor, Jawa Barat. Ini kisahnya.