Perajin Batu Bata Berkejaran dengan Banjir dan Hujan

Menjadi perajin batu bata merupakan pekerjaan sebagian Desa Bangunreja, Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap. Ini kendala mereka.
Jembrang, 64 tahun, sedang mencetak batu bata di tepi Sungai Citanduy, Desa Bangunreja, Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap, Senin, 7 Desember 2020. (Foto: Tagar/Mia Setya Ningsih)

Cilacap – Kemeja kotak-kotak dan celana panjang berwarna jingga yang dikenakan Jembrang, 64 tahun, berlepotan lumpur. Tangan perempuan itu pun sama. Lumpur melumuri telapak tangannya yang sibuk dengan semacam mal berbentuk empat persegi panjang.

Di belakang Jembrang, air Sungai Citanduy mengalir tenang. Warnanya keruh kecokelatan, seperti kopi susu. Sampah-sampah berupa pelepah dan daun pisang kering menumpuk di tepi sungai, tepat di belakang Jembrang berdiri.

Pagi itu, Senin, 7 Desember 2020, cuaca di sekitar Sungai Citanduy di wilayah Desa Bangunreja, Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap, cukup cerah. Semburat tipis awan putih menghiasi birunya langit. Sejak sekitar pukul 07.00 Jembrang sudah berada di tepi sungai, berkutat dengan lumpur.

Tidak dia hiraukan tanah yang menempel di tangan dan kakinya. Dia tampak bersemangat bergelut dengan lumpur untuk membuat batu bata yang menjadi aktivitas rutin hariannya.

Cerita Perajin Batu Bata di Cilacap (2)Jembrang dan sang suami, Turimin, sedang mencampur tanah, sekam, dan abu sekam untuk dijadikan batu bata, Senin, 7 Desember 2020. (Foto:Tagar/Mia Setya Ningsih)

Jembrang dan sang suami, Turimin, 70 tahun, sudah 45 tahun menjadi pembuat batu bata. Selain Jembrang dan suaminya, sebagian warga Desa Bangunreja yang tinggal di sekitar Sungai Citanduy juga menggantungkan hidup mereka dari tanah dan lumpur itu.

Berkejaran dengan Banjir

Pemandangan berupa tumpukan batu bata merupakan hal yang biasa dilihat di pinggir sungai, baik batu bata mentah yang baru selesai dicetak maupun batu bata yang sudah dibakar.

Tumpukan batu bata itu hanya menghilang saat debit air Sungai Citanduy meluap. Jika banjir terjadi, mereka tidak bisa mencetak batu bata di pinggir sungai.

Kemarin udah beberapa hari gak bisa nyetak karena di sini banjir.

Selain banjir, kendala lain yang dihadapi adalah saat musim hujan, Jika hujan datang, batu bata yang masih dalam penjemuran ditutup dengan plastik tebal supaya tidak basah lagi.

Namun, jika hujan datang tiba-tiba, banyak batu bata yang tidak bisa terselamatkan. Ia menyebut hujan deras yang melanda Kecamatan Sidareja akhir-akhir ini menyulitkannya dan pengrajin lain untuk membuat batu bata. 

“Kemarin pas hujan deras, banyak batu bata yang kena banjir. Ya sudah jadinya pasrah,” ucap Jembrang.

“Sungainya dari kemarin meluap, jadi kita nggak bisa kerja.” 

Jembrang juga berpendapat para pembuat batu bata yang mengambil tanah bahan baku dari dasar sungai memiliki andil dalam mengurangi banjir, karena mereka rutin mengeruk dasar sungai. “Dewek ki berjasa loh, ngerewangi pemerintah. Sungaine dikeruk ben ora banjir. (Kita ini berjasa lho, membantu pemerintah. Sungainya dikeruk supaya tidak banjir),” ucapnya dengan bahasa Jawa.

Pemandangan tumpukan tanah dan batu bata di sepanjang sungai menjadi sangat lumrah di sini, mengingat sebagian warga menggantungkan hidupnya sebagai perajin atau pembuat batu bata.

Turimin menambahkan, dulunya dia bekerja serabutan. Dia mengaku pernah menjadi buruh tani dan buruh bangunan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Dulu saya kerja apa aja, serabutan pokoknya,” ujar Turimin.

Cerita Perajin Batu Bata di Cilacap (3)Turimin memercikkan air pada adonan bahan pembuat batu bata di tepi Sungai Sitanduy, Desa Bangunreja, Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap, Senin, 7 Desember 2020. (Foto: Tagar/Mia Setya Ningsih)

Tetapi karena penghasilan dari bekerja serabutan dirasa tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya, dia memutuskan untuk beralih pekerjaan menjadi pembuat batu bata. Sebab hanya itu keterampilan satu-satunya yang dimiliki.

“Saya kalau nggak bikin batu bata nggak bisa apa-apa lagi. Kalau merantau juga belum tentu dapet kerja.”

Proses pembuatan batu bata diawali dengan pengumpulan tanah. Dengan menggunakan sampan, para perajin mengambil tanah yang berada di dasar sungai. Dulu tanah dapat diambil dengan mudah karena kondisi sungai yang dangkal.

Namun, akibat terlalu sering diambil tanahnya, sungai yang tadinya dangkal pun menjadi dalam. Keadaan sungai yang dalam menyulitkan perajin mengambil tanah di dasarnya. Kini para perajin harus menyusuri sungai dengan sampan untuk mencari lokasi sungai yang tidak terlalu dalam.

Kartosabar, salah satu perajin yang baru saja selesai mencari tanah mengatakan, ia baru saja menempuh jarak 500 meter mencari sungai yang masih dangkal.

“Kalau ambil di sekitar sini sudah susah, bisa tenggelam nanti yang ngambil,” ucapnya sambil tertawa.

Kartosabar harus menghabiskan bensin sebanyak satu liter sebagai bahan bakar sampan miliknya untuk menempuh jarak 500 meter. Sebab dia harus membawa tanah cukup banyak di dalam sampannya.

“Soalnya beban di tanah yang dibawa sih, semakin berat bebannya semakin banyak bensinnya.”

Sebenarnya penggunaan tanah bahan baku batu bata bisa menggunakan tanah apa saja. Namun, menurut para pengrajin tanah dari sungai memiliki tekstur yang liat dan memudahkan dalam proses pembuatan. Selain itu tanah yang berada di daratan pinggir sungai merupakan milik pemerintah, sehingga mereka dilarang mengambilnya.

Cerita Perajin Batu Bata di Cilacap (4)Kartosabar, seorang perajin batu bata di Desa Bangunreja, Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap, mengeluarkan tanah hasil pencariannya dari dalam sampan, Senin, 7 Desember 2020. (Foto: Tagar/Mia Setya Ningsih)

Proses Pembuatan Batu Bata

Proses pembuatan batu bata cukup mudah. Hanya saja membutuhkan beberapa tahapan, mulai dari proses pencampuran tanah sungai dengan sekam padi dan abu pembakaran sekam padi hingga pembakaran.

Pencampuran sekam dan abu bertujuan agar saat dibakar nanti batu bata menjadi lebih kuat dan tidak hancur. Selain itu, sekam juga membantu membuat batu bata berwarna merah setelah dibakar.

Proses pencampuran tanah, sekam, dan abu menggunakan cangkul. Tak jarang Turimin terlihat menggunakan tangan dan kakinya untuk mencampur ketiga bahan.

Jika semua sudah tercampur rata, barulah tanah liat tersebut dicetak. Batu bata dicetak dengan ukuran 6x27x5 cm. Sebelum dicetak, area yang akan digunakan sebagai lokasi mencetak ditaburi abu terlebih dahulu. Tujuan agar batu bata tidak menempel dengan tanah di bawahnya.

Setelah dicetak batu bata dijemur hingga warnanya berubah menjadi abu-abu cerah. Penjemuran tersebut bisa memakan waktu sampai satu bulan lamanya.

Dalam sehari, Jembrang dan Turimin sanggup mencetak hingga seribu batu bata. Selama penjemuran itu, batu bata juga dibalik supaya keringnya merata. “Kalau warnanya udah mulai abu terang, dibalik supaya cepat kering,” ujar Jembrang.

Setelah penjemuran yang memakan waktu lama, proses selanjutnya adalah pembakaran menggunakan sekam padi. Sekam padi diselipkan ke sela-sela batu bata yang telah ditata sedemikian rupa. Proses penataan ini bertujuan agar menghemat ruang dan batu bata tidak roboh.

Bahrudin, pengrajin yang saat itu sedang membakar batu bata menyebut jika pembakaran bisa memakan waktu hingga dua minggu. Pembakaran tersebut dilakukan tanpa henti. Jika api padam, akan menyulitkan karena perajin harus menyalakan kembali sekam yang sudah terselip di sela-sela batu. “Setiap hari dicek, bahkan malam pun dicek. Jangan sampai sekamnya habis supaya tidak mati,” kata Bahrudin.

Proses pembakaran batu bata bisa menghabiskan 240 karung sekam padi. Bahrudin menyebut membuat batu bata memerlukan modal yang besar. “Bisa habis Rp 1,2 juta sendiri buat beli sekam doang,” ujarnya menegasakan.

Cerita Perajin Batu Bata di Cilacap (5)Bahruddin, seorang perajin batu bata di Desa Bangunreja, Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap menunjukkan proses pembakaran batu bata, Senin, 7 Desember 2020. (Foto: Tagar/Mia Setya Ningsih)

Dalam sekali pembakaran, Bahruddin bisa menghasilkan 10 ribu batu bata, dengan harga jual 500 rupiah per biji. Bahrudin bisa mengantongi Rp 5 juta dalam sekali pembakaran. Hal itu sepadan dengan sulit dan lamanya proses pembuatan batu bata tersebut.

Batu Bata dari desa Bangunreja dikenal bagus dan berkualitas. Tidak heran jika batu bata di tempat ini selalu menjadi rebutan pelanggan. Bahkan sering terjadi stok kosong akibat banyaknya pembeli. “Batu baru dibakar juga sudah ada pembelinya,”terangnya.

Di kawasan batu bata ini juga tersedia pengepul yang siap menampung batu bata buatan masyarakat. Bahrudin juga kerap menjual batu bata buatannya ke pengepul.

Namun, berbeda dengan Turimin ia memilih untuk mandiri tidak menjual batu bata buatannya ke pengepul. Alasannya karena harga di pengepul lebih mahal dibanding harga yang langsung ke tangan konsumen. “ Di pengepul harganya 300, kalau jual sendiri 500. Beda sedikit tapi berarti buat saya,” kata dia.

Meskipun menjual produknya langsung ke tangan konsumen. Turimin mengaku tidak pernah mengalami susah pembeli. Pembeli selalu berdatangan bahkan saat pandemi melanda. Menurutnya pandemi ini malah membuat penjualan semakin tinggi. “Lagi musim corona malah tambah banyak yang beli, mungkin banyak yang bangun rumah” Turimin menjelaskan. []

(Mia Setya Ningsih) 

Berita terkait
Setelah Perahu Doni Monardo Melaju Cepat Membelah Segara Anakan
Perahu Doni Monardo itu melaju cepat membelah Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah, sesekali perahu melambat saat berpapasan dengan sampan nelayan.
Kerasnya Kehidupan Pembuat Kue Tradisional di Jakarta
Seorang pembuat kue tradisional di Jakarta menceritakan kisah hidupnya. Dia harus menghidupi 3 anak akibat ditinggalkan oleh suami.
Cerita Ciuman Terakhir GBPH Prabukusumo untuk sang Istri
BRAy Prabukusumo, adik ipar Sri Sultan Hamengku Buwono X, meninggal dunia. Sang suami, GBPH Prabukusumo sempat memberikan ciuman terakhir.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.