Kerasnya Kehidupan Pembuat Kue Tradisional di Jakarta

Seorang pembuat kue tradisional di Jakarta menceritakan kisah hidupnya. Dia harus menghidupi 3 anak akibat ditinggalkan oleh suami.
Bariyah, anak bungsu Masnin sedang menaburkan udang ebi diatas potongan kecil kue talam yang telah matang. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Jakarta – Perempuan paruh baya bertubuh kurus itu sedang berada di kebun belakang rumahnya, Senin, 7 Desember 2020. Dia tampak sedikit kepayahan memotong daun pisang. Tangannya menggenggam sebatang galah yang ujungnya telah dipasangi pisau untuk memotong daun pisang di atas batang.

Butiran peluhnya mulai menetes akibat sinar matahari siang yang memanggang kulitnya. Namun wajahnya tetap terlihat cerah dengan senyum yang mengembang. Terlebih saat angin sepoi-sepoi menyapa tubuhnya yang mulai bungkuk.

Masnin, perempuan itu, tidak mau terlalu memaksakan dirinya untuk memetik sebanyak-banyaknya daun pisang. Sesekali dia menghentikan aktivitasnya dan meluruskan tubuhnya.

Daun-daun pisang yang telah dipetiknya itu nantinya akan digunakan sebagai pembungkus kue tradisional buatannya. Wanita berusia 67 tahun tersebut memang berprofesi sebagai pembuat kue tradisional.

Cerita Kue Tradisional (2)Masnin, seorang pembuat kue tradisional di Jakarta sedang menaburkan daun bawang ke dalam kue talam yang sedang di kukus. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Dalam memetik daun pisang ada trik yang harus dipahami. Daun yang bisa dipetik adalah daun yang posisinya berada dua hingga tiga batang terbawah karena daunnya sudah tua. Jangan yang paling atas karena itu daun muda.

Orang Tua Tunggal

Masnin mengaku sejak lama harus membanting tulang untuk menghidupi dirinya dan tiga anaknya setelah suaminya pergi meninggalkan mereka. Saat suaminya pergi, salah satu anaknya bahkan masih berusia di bawah tiga tahun (batita).

Anak masih pada kecil, ditinggal suami jadi mau tidak mau apa saja dilakukan yang penting uangnya berkah untuk makan.

Kala itu Masnin bekerja keras sambil mendidik anak-anaknya untuk menjadi orang yang pantang menyerah. Berbekal tekad dan tanggung jawab yang besar, Masnin mampu membesarkan anaknya seorang diri. Kini, ketiga anaknya sudah menikah.

Meski ketiga anaknya sudah berumah tangga, Masnin enggan berpangku tangan menikmati masa tuanya. Dia tetap beraktivitas dan mengais rezeki sebagai penjual kue tradisional.

Setelah selesai memetik daun pisang, Masnin masih harus memisahkan lembaran-lembaran daun dengan pelepahnya.

“Daun pisang sebagai pembungkus makanan kue tradisional seperti kue pisang, kue bugis, dan lontong. Biasanya kita butuh kurang lebih menyengget 10 kedebong, Neng, untuk membungkus kue dengan pesanan 50-100 biji kue” kata Emi Ninin, sapaan akrab Masnin.

Daun pisang yang dipetiknya hari itu hanya cukup untuk membuat 50 lontong isi, sebab kue jenis ini membutuhkan cukup banyak daun. Selain ukurannya yang lebih besar dari jenis kue lain, pembungkus lontong isi juga menggunakan dua lapis daun pisang.

Dulu, saat cucu-cucunya masih kecil, Masnin memanfaatkan pelepah daun pisang yang dipetiknya untuk menyenangkan mereka. Dia membuatkan pedang-pedangan untuk sang cucu dengan bahan pelepah tersebut. Hal sederhana yang cukup mampu membuat mereka menyunggingkan senyum bahagia.

“Dulu sering buat mainan gini, Neng, iming-iming ke cucu sekalian nemenin saya di kebun,” tuturnya.

Sambil terus melanjutkan aktivitasnya menyiapkan alat dan bahan pembuat kue, Masnin melanjutkan ceritanya. Dia mengaduk air perasan kelapa yang mulai tampak mendidih. Kemudian melanjutkan dengan menaburkan udang rebon, daun bawang, dan bawang goreng diatas kue yang telah matang. Tangan rentanya masih terlihat cekatan membuat kue talam udang, kue mungil dengan perpaduan rasa manis dan gurih dari santan.

Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat kue talam udang tidak sulit ditemukan di pasar. Bahan pokok untuk membuat kue talam ialah tepung beras, tepung sagu, santan, gula pasir dan garam.

Cerita Kue Tradisional (3)Masnin, seorang pembuat kue tradisional, membungkus lontong isi untuk pesanan pengajian dengan daun pisang. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Masnin menjual kue talam udang buatannya dengan harga Rp 2 ribu. Selain kue talam udang, dia juga biasa membuat kue talam manis hijau dan talam kentang. Menurutnya kue talam yang paling susah dibuat ialah talam kentang. “Soalnya ribet, harus telaten buat tai minyaknya,” katanya.

Penerus Usaha Masnin

Daun-daun pisang yang tadi dipetik oleh Masnin sudah siap digunakan untuk membungkus. Kali ini Masnin membuat lontong berisi wortel, kentang, dan daging ayam. Setelah dibungkus dengan daun pisang, bahan-bahan lontong itu direbus selama hampir 3 jam.

Sambil menunggu lontong tersebut matang, Masnin melanjutkan ceritanya. Kata Masnin, omzetnya menurun drastis sejak pandemi Covid-19 melanda, sebab pemesan kue-kuenya banyak yang berhenti memesan.

“Saat ini pesenan juga jarang, kalau ada yang mesen juga jumlahnya enggak banyak” ucapnya.

Biasanya, lanjut Masnin, kue-kue buatannya dipesan untuk konsumsi pengajian, hajatan, dan pesta. Tapi saat pandemi, kegiatan-kegiatan semacam itu jarang dilaksanakan. “Apalagi saat awal-awal covid, Neng. Enam bulan lebih tidak ada pesanan, Neng,” ujarnya sambil menambahkan bahwa saat ini tangannya sudah tak segesit dulu dalam membuat kue. Tangan Masnin mulai susah digerakkan dan agak lamban saat mengaduk adonan.

Beruntung dia memiliki anak dan cucu yang sudah bisa membantunya membuat kue, meski masih untuk hal-hal yang mudah dikerjakan, seperti mengaduk tepung, memeras air rebusan daun sugi sebagai pewarna alami, hingga membungkus kue dengan plastik atau daun pisang sebagai wadah.

“Sekarang sudah mulai menerima pesanan, tapi tidak dalam jumlah yang banyak. Anak saya Acum sekarang yang mengerjakan orderan, tiap buat saya liatin karena ia juga masih belajar,” jelasnya.

Umi Kulsum, nama lengkap Acum, merupakan anak kedua Masnin. Sejak kecil Acum hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Dia harus membantu sang ibu untuk memetik daun pisang. Namun Acum masih bisa menabung untuk membeli barang yang diinginkannya. Padahal, kata Acum, upah dari memetik daun pisang sebenarnya sangat sedikit, bahkan sangat tak cukup untuk ongkos sekolah, apalagi untuk ditabung.

Cerita Kue Tradisional (4)Umi Kulsum alias Acum, 46 tahun, anak kedua Masnin saat merebus lontong isi. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

“Pagi sebelum berangkat sekolah saya mengantarkan daun pisang yang telah ditebang kepada tukang tempe, harga yang dibayarkan sejumlah Rp 500,” tutur Umi.

Kini, Acum bukan hanya membantu ibunya membungkus kue. Dia mulai belajar untuk mengukur jumlah bahan untuk adonan, meski tak jarang adonan buatannya terlalu encer. “Kadang kalau lagi benar adonannya pas, tapi sering juga adonannya terlalu encer dan lengket,” kata Acum menjelaskan.

“Saya belajar terus, kadang walau tidak ada pesanan saya tetep buat, nanti kuenya saya kasih aja bila ada tetangga yang pengajian sebagai buah tangan. Sekalian saya promosi kue karena sudah lama Emi Ninin tidak terima pesanan, sekarang ya saya yang buat meski rasanya belum sama persis,” ujar Acum.

Selain Acum, anak bungsu Masnin pun mulai membantu ibu dan kakaknya. Perempuan yang usianya terpaut empat tahun dari Acum ini sejak kecil telah terbiasa berkeliling kampung untuk menjajakan kue buatan ibunya.

Saat ini, Bariyah, nama anak bungsu Masnin, membantu membungkus kue yang sudah matang. “Bila kue sudah matang jangan langsung dibungkus, tapi tunggu beberapa menit hingga kue adem dulu. Karena jika kuenya masih panas dipaksakan untuk dibungkus bentuknya tak lagi simetris dan lengket,” Bariyah menjelaskan trik mengangkat kue.

Seorang tetangga Masnin yang bernama Yana, mengakui kebersihan dan rasa kue-kue buatan Masnin. “Kue buatan Umi Ninin enak karena dibuat dengan cara tradisional, bersih, dan rasanya gurih. Berbeda jika membeli kue ditempat lainnya.”

Menurutnya, kue-kue buatan Masnin biasanya menjadi kue yang paling cepat habis saat disajikan pada acara pengajian. []

(Sarah Rahmadhani Syifa)

Berita terkait
Cerita Ciuman Terakhir GBPH Prabukusumo untuk sang Istri
BRAy Prabukusumo, adik ipar Sri Sultan Hamengku Buwono X, meninggal dunia. Sang suami, GBPH Prabukusumo sempat memberikan ciuman terakhir.
Menyesap Secangkir Kopi di Bawah Pohon Bersama Doni Monardo
Pria berpostur tinggi besar itu tersenyum lebar, semringah, tangannya menyentuh daun-daun hijau pada batang pohon. Sisi lain Doni Monardo.
Pagebluk yang Menguntungkan Penjual Bibit Tanaman Buah
Pagebluk berupa pandemi Covid-19 yang merugikan sebagian pelaku usaha ternyata justru berdampak positif untuk penjual bibit tanaman buah di Bogor.
0
Emma Raducanu dan Andy Murray Optimistis Bertanding di Wimbledon
Raducanu, 19 tahun, akan melakukan debutnya di Centre Court ketika dia bermain melawan petenis Belgia, Alison van Uytvanck