Penjelasan PLN Lonjakan Tagihan Pelanggan di Malang

Seorang pelanggan PLN di Kabupaten Malang mengeluhkan tagihan listrik yang membengkak hingga Rp 20 juta dibandingkan bulan sebelumnya.
Petugas PLN Lawang, Kabupaten Malang melakukan pencatatan pada meteran listrik pelanggan. (Foto: Tagar/Moh Badar Risqullah)

Malang - Lembaran kertas putih berupa invoice atau faktur bernomor 5130010180722-0520 berisi informasi tagihan listrik seketika mengagetkan Teguh Wuryanto, 56 tahun, pertengahan Mei 2020 kemarin. Struk tertanggal Malang, 19 05 2020 itu menyebutkan bahwa total tagihan listrik tempat usaha bengkel lasnya kepada PLN Unit Layanan Pelanggan (ULP) Lawang, Kabupaten Malang tercatat sebesar Rp 20.158.686 membengkak 10 hingga 20 kali lipat dibandingkan bulan sebelumnya.

Pasalnya, dalam riwayat tagihan listrik selama 23 tahun merintis usahanya dan berlangganan listrik kepada PLN tarif industri I2 dengan daya 23 kVA (kilovolt ampere). Selama itu, warga Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang ini memaparkan tagihan listriknya hanya berkisar mulai Rp 800 ribu hingga 2,2 juta.

Saya hiraukan saja, karena saya berpikir naiknya masih terbilang normal.

"Saya sampai tidak bisa tidur memikirkan tagihan listriknya. Kok bisa sampai sebanyak itu. Mau bayar pakai apa," kata dia sambil menunjukkan lembaran invoice tagihan listriknya kepada Tagar saat ditemui di rumahnya, Selasa, 9 Juni 2020.

Diungkapkan Teguh, adanya kenaikan tagihan listrik sejatinya mulai dialami sejak diminta PLN ULP Lawang mengganti meteran analog ke digital pada Januari 2020. Meski begitu, dia mengungkapkan untuk pemakaian dan aktivitas kerjanya tidak berubah serta tidak ada tambahan.

Sebagaimana diketahui dalam catatan beberapa lembaran struk tagihan listriknya mulai Mei 2019 hingga Mei 2020. Dicontohkannya struk tagihan untuk bulan Januari 2020 dengan catatan masih proses penggantian meteran lama (analog) ke meteran baru (digital).

Tagihan di bulan tersebut diketahui masih normal yaitu sebesar Rp 894.240 (delapan ratus sembilan puluh empat dua ratus empat puluh ribu). Dengan menghitung nilai LWBP (lewat waktu beban puncak) tanpa nilai waktu beban puncak (WBP) dan KVarh (energi reaktif)

Kemudian, di bulan Februari Mei 2019 dengan catatan sudah meteran baru (digital). Tagihannya sudah dirasakannya membengkak yaitu menjadi Rp 2.089.800 (dua juta delapan puluh sembilan ribu delapan ratus rupiah. Jumlah itu didapatkan dari hasil catatan pemakaian LWBP sebesar Rp 1.944.000 ditambah WBP sebesar Rp 145.800 tanpa catatan KVarh.

Akan tetapi, dia tetap berpikir positif serta tidak memperdulikan dengan beranggapan bahwa hal tersebut mungkin demi kebaikan PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan usahanya sendiri. Sehingga dirinya tidak membantah ataupun komplain kepada siapapun.

"Saya hiraukan saja, karena saya berpikir naiknya masih terbilang normal," ucap bapak yang juga pemilik Toko UD BCS Tehnik ini.

Baru kemudian puncaknya tagihan listrik dengan jumlah selangit terjadi di bulan Mei 2020 yaitu sebesar Rp 20.158.686. Jumlah total tagihan tersebut diketahui bersumber dari hasil catatan LWBP sebesar Rp 7.710.876 ditambah WBP Rp 2.187.000 dan KVarh Rp 9.673.664.

"Nah, baru tagihan di bulan Mei ini saya kaget ketika mengetahui yang keluar dan disampaikan petugas ternyata mencapai Rp 20 juta" kata dia.

Padahal, tagihan listrik beberapa bulan sebelumnya yaitu mulai Januari hingga April 2020 di tempat usahanya masih normal. Selain itu, dirinya mengaku tidak terlalu boros pemakaian listrik dengan melakukan aktivitas kerja sebagaimana biasanya.

Bahkan, selama dua bulan yaitu Maret dan April 2020 pemakaian listriknya terbilang menurun. Hal itu imbas penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Malang Raya menyikapi kondisi pandemi Coronavirus Diseases 2019 (Covid-19) atau virus corona.

"Di dua bulan (Maret dan April 2020) itupun juga tidak ada pencatatan dari PLN dengan alasan (di invoice) katanya saya tidak ada di rumah. Padahal saya ada. Tapi, tagihan masih tetap normal waktu itu," ujarnya.

Merasa tidak pernah menggunakan listrik secara berlebih. Dia pun mencari tahu penyebabnya dengan menanyakan langsung kepada petugas PLN ULP Lawang yang saat itu sedang melakukan pencatatan terhadap meterannya.

Setelah dicek, kata Teguh, petugas tersebut menyampaikan bahwa imbas usangnya kapasitor dan tidak sesuai dengan meteran digital. Sehingga, membuat KVarh atau biaya kelebihan daya reaktif dimeterannya terus berjalan dan menyebabkan pembengkakan tagihan.

"Ternyata kapasitornya sudah harus diganti. Katanya, supaya KVarh (daya reaktif) tidak berjalan. Karena, kalau jalan akan tetap tercatat ada pemakaian," tuturnya.

Namun, Teguh sangat menyayangkan keterangan tersebut baru disampaikan dan disosialisasikan usai terjadi tagihan listriknya membengkak hingga Rp 20 juta. Bukan malah ketika baru akan dilakukan pergantian meteran.

"Tapi, pihak PLN beralasan baru mengecek kapasitornya karena itu ranahnya pelanggan. Sebenarnya kan bisa kalau mau disampaikan kalau sudah tidak layak," katanya.

Sedangkan proses pergantiannya sendiri dikatakannya terbilang tanpa ada sosialisasi. Dia menyebutkan petugas PLN UPL Lawang tersebut tiba-tiba hanya menelepon dan mengabarkan bahwa akan meterannya akan diganti. Dengan alasan utamanya yaitu untuk peremajaan.

"Saat itu, kalau tidak salah hari Jumat ada telepon ke saya meminta mengganti meteran di tempat usaha las saya Sabtu besoknya. Alasannya karena untuk perejamaan," kata dia.

Karena di hari Sabtu tidak bisa, dia pun meminta kepada petugas tersebut untuk menggantinya di hari Minggu. Tepat pada hari itu, dua petugas PLN ULP Lawang datang ke tempat usahanya di Jalan Jalan DR. Cipto No.29, Kabupaten Malang untuk mengganti meterannya.

Meski begitu, dia menyayangkan dua bulan atau beberapa hari sebelumnya tidak pernah ada sosialisasi. Apakah tempat usahanya tersebut sudah layak menggunakan beralih ke meteran digital.

"Padahal, harapan saya kan seharusnya ada (sosialisasi). Bisa dua bulan sebelumnya. Tapi, tau-tau ya diganti gitu saja," ujarnya.

Saat itu, dia mengaku mengiyakan pergantian meteran itu karena dia beranggapan demi kebaikan bersama antara PLN dan usahanya. Apalagi, usahanya sangat bergantung pada listrik.

Namun, karena sudah terlanjur terjadi pembengkakan tagihan itu. Dia pun mencoba beberapa kali komplain di kantor PLN ULP Lawang maupun di kantor PLN Area Malang Jalan Basuki Rahmat, Kota Malang.

Dia menyebutkan hasilnya selalu nihil dan tanpa ada solusi. Artinya bahwa dia tetap diminta membayar tagihan Rp 20 juta tersebut dengan alasan catatannya sudah online. Mendapati itu, dia tetap keberatan membayarnya dengan alasan karena tidak merasa memakai listrik dengan tagihan sebesar itu. 

Ditambah dirinya berkaca selama 23 tahun di tempat usahanya ketika masih memakai meteran analog tidak pernah ada kejadian tersebut.

"Selama 23 tahun saya tidak pernah mengalami hal demikian dan aman-aman saja. Saya baru mengalami ini sejak adanya pergantian meteran (analog ke digital) itu," kata dia.

Dengan sikapnya menolak melakukan pembayaran tagihan listrik karena nominalnya selangit. Meteran di tempat usahanya pun ternyata terpaksa disegel dan dicabut aliran listriknya oleh pihak PLN pada 31 Mei 2020.

Sehingga, beberapa hari sejak dicabutnya aliran listrik membuat dirinya terpaksa menstop sementara aktivitas kerjanya selama tiga hari yaitu mulai tanggal 2 hingga 4 Juni 2020. Dia menyebutkan bisa beraktivitas kembali usai mencari solusi dan dapat pinjaman sementara genset dari temannya.

"Tapi ini (genset) kan pinjaman. Jadi, tidak tahu kapan diambil lagi sama teman. Kalau misalnya diambil, ya terpaksa tidak beraktivitas lagi atau cari genset second (bekas)," tuturnya.

Sedangkan misalnya mengikuti permintaan PLN bahwa harus mengganti kapasitornya. Dia mengaku tidak mampu membeli dalam waktu dekat ini. Dikarenakan harga satu paket kapasitor cukup mahal dengan kisaran sebesar Rp 40 jutaan.

Kemudian, jikalau menggunakan alternatif dengan membeli genset. Dalam waktu ini juga dirinya tidak mampu, dikarenakan juga mahalnya harga.

"Harga kapasitor, saya tanya ke toko sekitar Rp 23 jutaan. Komplit satu set tanpa belum masangnya. Kalau genset harganya Rp 70 jutaan. Tapi, ada bekas sekitar Rp 40 jutaan," terangnya.

Berkaca pada kejadian tersebut, Teguh sangat berharap pihak PLN ada sosialisasi kepada pelanggannya. Mulai dari menyampaikan persiapan apa saja dan apakah sudah layak meterannya diganti.

"Jadi, sebaiknya kalau mau ganti silahkan. Karena kebaikan kita bersama. Tapi, dalam dua atau tiga sebelumnya pelanggan diberitahu dan lihat kesiapan sarana dan prasarananya," harapnya.

Sedangkan perihal bengkaknya tagihan listrik di tempat usahanya hingga Rp 20 juta. Dia mengatakan masih akan terus melakukan pembicaraan kembali dengan pihak PLN agar ada solusi terbaik menyelesaikan masalahnya tersebut.

PLN MalangPelanggan PLN di Kabupaten Malang mengecek meteran listrik miliknya. (Foto: Tagar/Moh Badar Risqullah)

PLN Klaim Akibat Kapasitor Usang dan Rusak

Sementara itu, Manajer Unit Layanan Pelanggan PLN Lawang Sudarmaji menjelaskan bengkaknya tagihan listrik tersebut dikarenakan kapisitor di tempat usaha milik pelanggan Teguh Wuryanto itu tidak otomatis. Sehingga mengakibatkan KVarh jalan terus dan menyebabkan tagihan listriknya mencapai Rp 20 juta.

"Tadi, saya sudah ke sana dan dijelaskan kalau pembacanya benar. Kenapa sampai terjadi itu tadi. Setelah kami cek, KVarh jalan terus imbas kapasitornya tidak otomatis," ungkapnya kepada Tagar saat ditemui di ruang kerjanya.

Meski begitu, pihaknya kurang begitu mengetahui secara detail kapan pastinya ada pembengkakan tagihan imbas rusaknya kapasitor tersebut. Hal itu karena melihat tagihan di bulan Januari 2020 disebutkannya masih normal.

"Mungkin sejak kapasitornya rusak itu. Tapi, kapan rusaknya kami kan tidak bisa pantau. Itu kewenangannya masing-masing pelanggan," kata dia.

Mengenai hal tersebut, Sudarmaji menjelaskan untuk pemakaian kapasitor sebenarnya diperbolehkan hanya untuk pelanggan industri. Makanya, dia sempat mempertanyakan tempat usaha milik warga Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten kenapa bisa memakai jenis industri.

Padahal, kata dia, melihat jenis usahanya yaitu bengkel las seharusnya menggunakan meteran tarif bisnis. Karena dimungkinkan saat awal pemasangan lebih murah meteran tarif industri. Sehingga dia beranggapan pelanggannya itu memilih menggunakan tarif tersebut.

"Tarif industri kan ada pemakaian KAvhr. Tapi, karena kapasitor miliknya tidak berjalan dan tidak otomatis. Sehingga mesin tetap berjalan (dan menjadi biang tagihan listrik membengkak)," terangnya.

Sedangkan untuk teknis pergantian meteran secara tiba-tiba tanpa ada sosialisasi kelayakan dan kesiapan pelanggan sebagaimana keluhan bapak 56 tahun. Dia menyebutkan pihak PLN, salah satunya di UPL Lawang, melihat karena lamanya bapak tersebut sebagai pelanggan lama perusahaan listrik milik BUMN ini.

Sebagaimana diketahui, Teguh Wuryanto dalam pengakuannya sudah 23 tahun sejak tahun 1997 menjadi pelanggan PLN. Sehingga, berkaca dari itulah disebutkan pihaknya berkeyakinan tanpa perlu adanya sosialisasi dan hanya tinggal meminta untuk mengganti meterannya.

"Tapi, pada dasarnya untuk pergantian meteran ini ada waktunya. Misalnya lima tahun itu sudah saatnya ganti. Namanya barang elektronik buatan manusia pasti ada lambatnya, ada hausnya," tuturnya.

Dengan adanya kejadian tersebut, Sudarmaji menyampaikan dirinya sudah menemui yang bersangkutan dan melakukan pembicaraan untuk mencari solusi hari itu juga. Disampaikannya bahwa pelanggan tersebut juga mengakui mesin kapasitornya belum otomatis dan rusak.

"Tadi sudah kami jelaskan. Cuma dia kaget karena (tagihan listrik) tinggi sekali itu. Tapi, katanya insyaallah mau bayar dalam dua hari ini," tuturnya.

Selain itu, kata dia, agar tidak ada kembali kejadian serupa sebagaimana dialami pelanggan Teguh Wuryanto. Sudarmaji meminta setiap pelanggan meminta kepada petugas PLN agar meminta melakukan survei dahulu untuk kesiapan serta kelayakan sarana dan prasarananya.

Jikalau sewaktu-waktu ada permintaan kepada pelanggan mengganti meterannya. Terutama untuk pelanggan dengan tarif industri maupun bisnis. Walaupun sebenarnya hal tersebut bukan domain PLN, melainkan pelanggan itu sendiri

"Jadi, bisa minta tolong ke PLN untuk diadakan semacam survei ke tempat pelanggan. Tapi, untuk pelanggan di Lawang saya pikir aman-aman saja. Mereka sudah mengerti bagaimana kami melayani," ungkapnya.

Terlepas dari kasus itu, Sudarmaji menambahkan untuk pelanggan PLN tarif biasa atau rumah tangga dengan pengaduan adanya kenaikan tarif listrik di bulan Juni. Hal itu disebutkannya karena imbas diberlakukannya aktivitas pekerjaan dengan sistem work from home (WFH) atau bekerja di rumah selama pandemi Covid-19.

Dia menjelaskan bahwa saat WFH itulah diketahui banyak masyarakat melakukan sebagian besar aktivitasnya di dalam rumah. Sehingga tidak salah jikalau penggunaan alat elektronik seperti televisi, komputer dan lain sebagainya menjadi lebih sering.

Tidak hanya itu, selama kondisi pandemi Covid-19 PLN dikatakannya juga menerapkan tagihan rata-rata untuk penggunaan listrik di bulan Maret, April dan Mei. Tagihan selama tiga bulan tersebut dikatakannya ditotal dan kemudian dibagi tiga.

"Tapi kan selama pandemi ini, warga atau pelanggan yang biasanya bekerja di kantor atau sekolah. Semuanya berganti di rumah. Dari efek samping itulah timbul bertambahnya penggunaan listrik," kata dia.

Maka dari itulah, tagihan di periode tiga bulan yang tidak terbaca itu terbit di bulan Juni. Hal itu adalah riil yang ada di pelanggan.

"Untuk itu, kepada pelanggan yang mau mengadukan tagihan listrik. Tolong dicek stand meterannya dan dicocokkan dengan pembacaan petugas," ujarnya. []

Berita terkait
Tagihan Listrik Bengkak, Cari Tahu di Posko Aduan PLN
PT PLN (Persero) membuka Posko Informasi Tagihan Listrik di Kantor Pusat PLN, Jakarta untuk merespons isu kenaikan tagihan listrik.
DPR Bingung Cerna Penjelasan PLN soal Tarif Listrik
Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi IV Amin Ak mengaku bingung mencerna penjelasan pimpinan PLN soal lonjakan tarif listrik.
Konsekuensi Warga Tak Patuh Saat Transisi New Normal
Dengan tidak diperpanjangnya PSBB Surabaya Raya, roda perekonomian akan kembali hidup tetapi harus memperketat protokol kesehatan.
0
5 Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Membeli Hunian di Sentul
Selain Bekasi dan Tangerang Selatan, Bogor menjadi kota incaran para pemburu hunian di sekitar Jakarta. Simak 5 hal ini yang perlu diperhatikan.