Jakarta - Perang dagang yang terjadi antara Cina dengan Amerika Serikat (AS) memasuki babak baru. Kali ini, Cina justru mengalami perlambatan ekonomi.
Mengutip dari AFP, perekonomian Negeri Tirai Bambu hanya tumbuh 4,4% pada bulan Agustus 2019 atau melambat 0,4% dari Juli 2019 lalu. Bahkan perlambatan ini merupakan yang terburuk dalam 17 tahun terakhir.
Perlambatan ekonomi Tiongkok dapat memberikan konsekuensi ekonomi di Indonesia.
Ternyata, perlambatan ekonomi Cina tersebut dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Hal ini disampaikan Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rizal Taufik Rahman.
"Tentu saja ada pengaruh. Perlambatan ekonomi Tiongkok dapat memberikan konsekuensi ekonomi di Indonesia, khususnya dari aspek output GDP, arus investasi, dan neraca perdagangan," kata Rizal kepada Tagar pada Jumat, 20 September 2019.
Pengaruh yang paling besar, kata Rizal, terletak pada sisi neraca perdangan antara kedua negara. Ia menjelaskan perlambatan ekonomi Cina mempengaruhi kegiatan ekspor-impor negara yang dipimpin Xi Jinping itu dengan Indonesia.
"Selama ini Indonesia dengan Cina yang punya keterikatan ekspor impor. Indonesia terdampak dari sisi impor yang meningkat sebesar 1,57% tapi ekspornya menurun 0,24%. Dari neraca pembayaran kita masih bisa dikatakan defisit perdagangan," ujar Rizal.
Selain itu, perlambatan ekonomi yang dialami Cina tidak mampu membuat output perekonomian Indonesia menanjak naik. Rizal mengatakan meski output meningkat sebesar 1,02%, namun tidak dapat mengalahkan tren impor.
Menurutnya, peningkatan output ekonomi Indonesia masih jauh lebih rendah dari beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia yang mencapai 4%, dan Thailand 3%. Bahkan, Vietnam mengalami peningkatan yang signifikan mencapai 8%.
Rizal menilai pemerintah harus dapat mengambil beberapa sikap dalam keluar dari belenggu defisit neraca perdagangan dengan Cina.
"Pemerintah harus mampu menyelesaikan permasalahan struktur investasi, perbaikan logistik, tata kelola administrasi, dan kemudahan investasi lainnya," kata Rizal.
Perang dagang antara Cina dan AS telah berlangsung sejak Maret 2018 lalu. Presiden AS, Donald Trump bahkan mengancam akan kembali menaikkan tarif barang asal Cina hingga 100%.
Mengutip dari South China Morning Post, Penasihat Utama Gedung Putih, Michael Pillsbury menyebut Trump siap menaikkan tarif, jika dalam waktu dekat tidak menemui kata sepakat dengan perwakilan pemerintah Cina. []