Peneliti: Lockdown Harus 6 Minggu Agar Efektif

Kalangan peneliti AS berpendapat kebijakan lockdown, atau berdiam diri di rumah selama lebih dari enam minggu efektif untuk mengendalikan corona.
Pekerja migran memadati terminal bus untuk kembali ke kampung halaman mereka saat diberlakukan penguncian atau lockdown 21 hari secara nasional untuk menekan penyebaran virus corona Covid-19, di Ghaziabad, pinggiran New Delhi, India, Sabtu, 28 Maret 2020. (Foto: Antara/Reuters/Anushree Fadnavis)

Jakarta - Kalangan peneliti dari Amerika Serikat berpendapat, kebijakan karantina menyeluruh (lockdown) atau berdiam diri di rumah selama lebih dari enam minggu bisa efektif untuk mengendalikan pandemi virus corona Covid-19. Penelitian yang diterbitkan minggu ini di sebuah jurnal open source AS, SSRN, negara-negara yang mengadopsi intervensi agresif mungkin melihat moderasi wabah setelah hampir tiga minggu, kontrol penyebaran setelah satu bulan, dan penahanan setelah 45 hari.

Baca Juga: Lockdown, Pilihan yang Ditempuh Banyak Negara

Para peneliti mendefinisikan intervensi agresif sebagai penguncian atau lockdown, berdiam di rumah, masif tes dan karantina massal. Dengan intervensi yang kurang agresif, maka proses pengendalian virus bisa berlangsung lama. "Dengan tidak adanya vaksin, obat, atau pengujian, dan karantina besar-besaran, penguncian dan berdiam di rumah harus dilakukan berbulan-bulan," kata catatan para peneliti AS, seperti diberitakan dari portal South China Morning Post, Jumat, 3 April 2020.

Salam budaya juga mempengaruhi faktor penyebaran

italiaSebuah kendaraan militer Italia berpatroli selama lockdown mencegah penyebaran virus corona di Milan pada 22 Maret 2020. (Foto: Antara/REUTERS/DANIELE MASCOLO).

Para peneliti - Gerard Tellis dari Marshall School of Business, University of Southern California, Ashish Sood dari University of California Riverside A. Gary Anderson Graduate School of Management, dan Nitish Sood, seorang mahasiswa biologi seluler dan molekuler di Augusta University - mendasarkan penelitian mereka pada kasus di 30 negara dan 50 negara bagian AS. Tellis mengatakan, perbedaan juga dapat bergantung pada ukuran negara, perbatasan, salam budaya (membungkuk versus berjabat tangan dan berciuman), suhu, kelembaban, dan garis lintang.

Para peneliti menyebutkan bahwa mereka mendukung pembatasan agresif, apakah itu lockdown secara ketat seperti yang dilakukan Italia dan California, AS, karantina massal dan masif tes di Korea Selatan dan Singapura, atau kombinasi keduanya sepeti yang diterapkan Tiongkok. "Singapura dan Korea Selatan mengadopsi masif tes dan karantina massal, yang tampaknya menjadi satu-satunya alternatif yang berhasil," ucap Sood.

Simak Pula:Bill Gates Lebih Pilih Shutdown untuk Hambat Corona

Mereka menyebutkan bahwa AS menghadapi tantangan yang unik karena hanya setengah dari negara bagian yang mengadopsi intervensi agresif, dan melakukannya pada waktu yang berbeda-beda. Pada awal bulan lalu, ketika AS melaporkan sekitar 1.000 kasus virus corona dan puluhan kematian, para pejabat AS mengatakan bahwa risiko infeksi bagi masyarakat Amerika rendah. Namun, jumlah kasus terus meningkat secara eksponensial selama dua minggu terakhir, dengan jumlah 213.372 kasus pada hari Kamis, 2 April 2020. []

Berita terkait
Narendra Modi di Tengah Kekacauan Lockdown India
Narendra Modi meminta maaf pada rakyatnya yang miskin, makin susah akibat lockdown yang ia buat. Ini profil lengkap Perdana Menteri India tersebut.
Game Fortnite Ramai Dimainkan Saat Italia Lockdown
Game Fortnite mendadak laris dimainkan di Italia pasca ditetapkannya status lockdown untuk seluruh wilayah negara spaghetti tersebut.
Covid-19, Prancis Akan Denda Warga Langgar Lockdown
Prancis mengerahkan 100 ribu polisi mengawasi pelaksanaan lockdown (penguncian) untuk mengendalikan pengendalian virus corona COvid-19.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.