Pencari Kerang di Aceh Barat, 3 Tahun Dalam Gelap

Seorang pencari kerang di Kabupaten Aceh Barat harus tinggal di tepi sungai di gubuk reot tanpa aliran listrik.
Rumah tempat tinggal Misran bersama Istri dan satu orang anaknya dipinggir Sungai Krueng Mate di Desa Peunaga Rayeuk, Kecamatan Meurebo, Kabupaten Aceh Barat, Aceh. (Foto:Tagar/Vinda Eka Saputra).

Aceh Barat – Gubuk kecil beratap daun rumbia berukuran lima kali enam meter setinggi tiga meter menjadi satu-satunya bangunan di tepi Sungai Krueng Mate, di Desa Peunaga Rayeuk, Kecamatan Meurebo, Kabupaten Aceh Barat, Aceh.

Tiang gubuk itu terbuat dari bambu, dengan dinding kayu yang dilapisi terpal. Di depan gubuk, satu bendera merah putih berukuran kecil terikat pada sebatang kayu berkibar-kibar tertiup angin.

Sementara, di kolong gubuk terlihat beberapa barang seperti kursi plastik yang sudah patah dan dua ember plastik, yang sepertinya sengaja di simpan di bawah gubuk.

Gubuk reot di pinggir Sungai Krueng Mate itu adalah rumah keluarga Misran pria berusia 35 tahun. Misran tinggal bersama isterinya Kemala Sari wanita berumur 30 tahun dan anaknya putri berusia 5 tahun.

Desa Peunaga Rayeuk terletak tidak terlalu jauh dari kota Meulaboh yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Aceh Barat. Untuk tiba di desa itu hanya membutuhkan waktu 20 menit, atau menempuh perjalanan sejauh sekitar enam kilometer.

Pagi itu, sekitar pukul 08.30 WIB, Minggu 13 September 2020, saat Tagar berkunjung, Misran sedang mendayung perahu kayu berukuran kecil, panjangnya kurang lebih dua meter dan lebar hanya 50 sentimeter menuju gubuknya di pinggir sungai.

Misran baru saja selesai mencari bibit kerang Lokan di sepanjang pinggiran sungai Krueng Mate. Mencari kerang Lokan merupakan profesi utamanya selain sebagai buruh tani di lading milik warga lain.

Selain mencari kerang Lokan dan menjadi buruh tani, ia juga kadang-kadang mencari ikan dan udang.

Kalau kita di sini ya bekerja tani juga kadang-kadang nanti kalau malam juga cari udang, tahan jaring apa sajalah yang penting bisa untuk bantu-bantu memenuhi kebutuhan dapur.

Misran bukan hanya mencari kerang, tetapi juga membudidayakannya. Di depan gubuknya Misran memiliki dua petak kolam berukuran 5 x 10 meter yang dipatok menggunakan kayu dan bambu. Sekitar 50 meter dari gubuknya ia juga mempunyai 4 kolam lagi yang masing-masing berukuran 10 x 20 meter dan 20 x 30 meter yang ia gunakan sebagai tempat untuk budidaya kerang Lokan.

Masa Panen

Bibit-bibit kerang Lokan yang ia dapatkan di sungai nantinya dimasukkan ke dalam kolam tersebut. Setelah enam bulan kemudian, dia bisa memanen kerang Lokan hasil budidayanya.

Cerita Pencari Kerang di Aceh (2)Misran sedang menabur bibit kerang di kolam depan rumahnya di pinggir Sungai Krung Mate di Desa Peunaga Rayeuk, Kecamatan Meurebo, Kabupaten Aceh Barat, Aceh. (Foto:Tagar/Vinda Eka Saputra).

Selain kolam miliknya, di sepanjang sungai Krueng Mate juga terdapat kolam-kolam budidaya kerang Lokan milik warga lainnya yang sama seperti milik Misran.

“Di sepanjang sungai ini kolam lokan semua, yang punya itu sekitar 50 orang lebih semuanya sama kerjanya seperti saya,” katanya.

Kata dia, siapa pun  bisa membuat kolam di pinggir Sungai Krueng Mate dan tidak ada yang melarang karena sungai tidak ada yang punya jadi bebas, namun saat ini kata dia sudah tidak ada lagi tempat untuk membuat kolam baru karena semua pinggiran sungai sudah ada kolam milik warga lainnya.

“Panennya itu setahun dua kali tapi kadang–kadang ada juga yang penennya setahun sekali, nanti hasil panen kami jualnya sama pemasok memang dia ada agennya itu,” jelas Misran.

Kerang-kerang yang dipanen nantinya dijual dengan harga tujuh ribu rupiah per bambunya, dalam enam bulan sekali panen ia hanya mendapatkan uang sekitar enam juta rupiah yang kalau dibagi perbulannya ia hanya mendapat satu juta. Uang tersebut ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya.

“Uang segitu untuk sebulan ya kalau dipikir tidak cukup, cuma bisa buat makan saja tapi mau gimana lagi ya di cukup-cukupkan saja,” jelasnya.

Kata dia, ada dua cara untuk budidaya lokan yang digunakan mereka di daerah itu, yang pertama dengan cara membeli bibit kerang Lokan seharga Rp 7 ribu per bambunya, atau mencari bibit sendiri di sepanjang pinggir sungai setiap hari tanpa harus membeli.

Misran lebih memilih menggunakan cara yang kedua karena ia tidak punya modal untuk membeli bibi-bibit kerang seperti warga yang lainnya, jadi ia hanya mengandalkan dari hasil bibit lokan yang ia cari setiap harinya di pinggiran sungai.

Selain karena tidak mempunyai modal untuk membeli bibit kerang, faktor lain yang memuat Misran lebih memilih untuk mencari bibit adalah kemungkinan bertahan hidupnya lebih besar. Sebab, bibit kerang yang dibeli harus beradaptasi kembali dengan air sungai.

“Kalau bibit yang dibeli itu dia kan diambil dari sungai lain otomatis dia airnya beda, jadi kalau kita masukkan kedalam kolam kita d isini dia itu sebulan pasti sakit dan kadang mati karena airnya beda jadi dia harus beradaptasi lagi,” katanya.

Sedangkan jika mencari bibit sendiri di sungai Krueng Mate ibaratnya dia hanya memindahkan tempatnya saja, karena tempat dan lokasinya sama-sama di Sungai Krueng Mate jadi ia hanya memindahkannya ke kolam yang sudah ia buat.

“Kalau kita cari bibit sendiri di sini itu lebih bagus kerena kemungkinan bibitnya sakit dan mati kecil, sehingga gagal panen itu kecil, karena dia masih di sungai yang sama,” katanya.

Kerang yang sudah siap panen ukurannya  bervariasi, mulai dari selebar tangan anak-anak sampai dengan kerang seukuran telapak tangan orang dewasa.

Besar kecilnya kerang tidak mempengaruhi harga jual, karena pembeli atau pengepul kerang hanya menghitung kerang dari jumlah bambunya saja bukan berdasarkan besar kecil ukurannya.

Cerita Pencari Kerang di Aceh (3)Kerang jenis Lokan di Sungai Krung Mate di Desa Peunaga Rayeuk, Kecamatan Meurebo, Kabupaten Aceh Barat, Aceh. (Foto:Tagar/Vinda Eka Saputra).

“Saya kerja mencari dan budidaya kerang lokan ini sudah sekitar lebih kurang tiga tahunan,” kata Misran.

Tanpa Listrik

Gubuk kecil yang sudah tiga tahun ditempati oleh Misran dan keluarganya berdiri di atas lahan milik warga lain. Dia sudah meminta izin pada pemilik lahan untuk mendirikan gubuk itu.

Hanya saja, sejak awal tinggal di situ hingga saat ini, Misran dan keluarganya harus bergelap-gelapan saat malam tiba. Sebab gubuk itu belum ada aliran listrik.

“Kami kalau malam itu cuma pake lampu minyak aja atau yang biasa dibilang lampu teplok, jadi ya kalau malam gelap,” kata Misran.

Kata Misran, hingga saat ini ia belum mendapat bantuan rumah dari pemerintah, dan terpaksa ia harus tinggal di pinggir sungai. Ia sangat berharap ada perhatian dan bantuan rumah dari pemerintah.

“Kalau pemerintah mau bantu saya sangat bersyukur tapi kalau tidak mau bantu ya saya tidak bisa apa-apa,” katanya.

Pernah ada perusahaan yang ingin memberikan dirinya dan keluarga bantuan rumah, namun karena sekarang ini sedang dalam masa pandemi maka bantuan tersebut ditunda sampai wabah selesai.

“Orang perusahaan itu sering datang kesini melihat, katanya enggak lama lagi dibangun rumah buat saya dan keluarga tapi karena pandemi ditunda dulu, yang namanya kita dikasih sama orang ya harus sabar kapan mau dibangun ya terserah sama orang itu,” ujarnya.

Ia tidak mampu membangun rumah yang layak karena penghasilannya dari mencari dan budidaya kerang yang tidak seberapa hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan pangan ia bersama anak dan istrinya saja.

Misran menjelaskan, sebenarnya dia mempunyai dua orang anak, namun yang saat ini tinggal bersama dengannya di gubuk itu hanya anak bungsunya yang bernama Putri, sedangkan anak sulung Misran yang bernama Juanda, 10 tahun, tinggal bersama neneknya di Kecamatan Panton Reu.

“Dia tinggal sama neneknya di Panton Reu, karenaka kalau disana dia bisa sekalian sekolah terus diurusin juga sama neneknya,” kata Misran.

Cerita Pencari Kerang di Aceh (4)Misran sedang mencari kerang di Sungai Krung Mate di Desa Peunaga Rayeuk, Kecamatan Meurebo, Kabupaten Aceh Barat, Aceh. (Foto:Tagar/Vinda Eka Saputra).

Misran juga mengaku pernah mendapat bantuan benih ayam dan bebek dari Kapolres Aceh Barat. Bibit itu dipeliharanya, dan hasilnya digunakan untuk tambah-tambah membeli beras.

“Saya cuma punya peliharaan ayam dan bebek 25 ekor, itu kandangnya di samping gubuk, ayam itu kemarin dikasih bibitnya sama Pak Kapolres jadi saya pelihara untuk tambah-tambah beli beras,” katanya.

Sedangkan Kemala Sari mengaku dirinya hanya membantu suaminya menjual kerang ketika datang musim panen.

“Kalau ada sayur seperti kacang yang bisa dijual ya saya jual tapi karena lahannya juga kecil jadi enggak banyak sayurnya kalaupun di panen,” kata Kemala Sari.

Kata dia, selama sebulan terakhir ini ia juga mendapatkan bantuan dari pemerintah, bantuan yang dimaksudnya yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 300 ribu sebanyak tiga kali.

“Saya enggak punya kerja lain selain mengurus anak dan rumah, kadang-kadang kalau ada orang mau beli kerang ya saya bantu-bantu juga sebisa saya,” katanya.

Kemala Sari juga berharap agar pemerintah memberikan bantuan rumah yang layak bagi mereka untuk ditinggali bersama suami dan anaknya Putri.

“Saya tidak masalah dimana saja tempatnya yang penting sudah dibantu saya sudah sangat bersukur sekali,” katanya.[]

Berita terkait
Menunggu Pagi di Kebun Tembakau Posong Temanggung
Kawasan perkebunan tembakau di Posong, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung, memiliki pemandangan yang eksotis, khususnya saat matahari terbit.
Cerita di Balik Video Maki-maki Petugas Medis Aceh
Rumah sakit hanya mengambil bagian mengantar jenazah dengan mobil ambulans, mengenakan APD lengkap tidak ikut banyak membantu.
Cita dan Cerita Pak Tua Penjual Piscok di Aceh
Seorang pedagang pisang cokelat di Aceh Tamiang bercita-cita untuk membeli sepeda motor, agar dia tidak lagi bersepeda saat menjual.
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)