Jakarta - Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane menilai seruan Pemerintah dan DPR soal pengajuan uji materi atau Judicial Review Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) ke Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan sikap yang arogansi kepada masyarakat.
Neta mengatakan, ancaman aksi demonstrasi dari buruh, mahasiswa, dan masyarakat terkait UU Ciptaker tidak perlu disikapi dengan panik. Sebab, demonstrasi maupun mogok kerja adalah kegiatan yang dijamin dan dilindungi undang-undang.
Pemerintah dan anggota DPR yang meminta buruh yang tidak puas segera mengajukan judisial review ke MK adalah pola pikir yang arogan, kebelinger dan tidak peduli dengan wong cilik
"Ind Police Watch (IPW) mengingatkan, setiap anggota masyarakat dan buruh diperbolehkan melakukan aksi demo atau mogok kerja, untuk menyampaikan aspirasinya. Apalagi dalam UU Ciptaker, buruh melihat banyak hal yg akan merugikan masa depannya," kata dia melalui siaran pers yang diterima Tagar, Senin, 12 Oktober 2020.
Dia berpandangan, pejabat pemerintah boleh saja mengatakan UU Ciptaker adalah UU terbaik untuk melindungi buruh. Namun, kata dia, itu merupakan persepsi para pejabat yang tidak pernah merasakan penderitaan buruh dan tidak pernah menjadi buruh.
"Bagi IPW adalah hak buruh untuk memperjuangkan nasibnya, termasuk melakukan aksi demo. Dan hak mahasiswa, pelajar dan masyarakat lainnya untuk menyampaikan aspirasinya tentang nasib buruh," ujarnya.
"Sebab bagaimana pun orang tua maupun keluarganya banyak yg menjadi buruh dan bukan mustahil setelah tamat sekolah, mereka menjadi buruh, sehingga wajar saja memperjuangkan nasib buruh agar nasibnya lebih baik ke depan," kata Neta menambahkan.
Lantas, dia menyebut Pemerintah dan DPR bersikap arogan atas seruan kepada penolak UU Ciptaker agar menempuh gugatan melalui judicial review ke MK.
"Pola pikir pejabat pemerintah dan anggota DPR yang meminta buruh yang tidak puas segera mengajukan judisial review ke MK adalah pola pikir yang arogan, kebelinger dan tidak peduli dengan wong cilik. Para pejabat dan anggota DPR itu tak pantas bicara seperti itu," kata dia.
Selanjutnya, dia mengatakan sudah seharusnya para pejabat pemerintah dan anggota dewan senantiasa peduli dengan nasib wong cilik, terutama buruh, sehingga setiap mengeluarkan produk UU yang berpihak kepada kepentingan masyarakat.
"Sebab inilah makna kemerdekaan RI dan para pejuang dulu berjuang melepaskan diri dari penjajahan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia," ucap Neta.
Tak hanya itu, dia juga mempertanyakan keberpihakan Pemerintah dan DPR kepada siapa. Menurutnya, jika sikap itu mengarah kepada pro asing, maka hal itu patut dipertanyakan.
"Jika sekarang UU Ciptaker lebih berpihak kepada asing dan pengusaha dan tidak berpihak kepada rakyat kecil tentunya sikap para pejabat Pemerintah dan DPR sekarang ini patut dipertanyakan. Mereka para nasionalis atau kaki tangan asing yang hendak mengkooptasi Indonesia," tuturnya.
Kemudian, Neta juga meminta kepada polisi untuk memahami hak demonstrasi yang dilakukan buruh, mahasiswa, maupun masyarakat. Dia menegaskan, menyampaikan aspirasi itu dilindungi oleh Undang-Undang.
"Selain itu fungsi tugas Polri adalah mengayomi, melayani, dan melindungi masyarakat. Polri harus promoter (profesional, modern, dan terpercaya) dalam menyikapi berbagai aksi demonstrasi. Sebaliknya para pedemo harus juga dalam koridor UU untuk senantiasa menjaga ketertiban umum, sehingga tidak anarkis dan merusak kepentingan umum," ujar Neta.
Selanjutnya, dia juga mengimbau supaya buruh yang berdemonstrasi selalu sadar akan posisi dan mawas diri untuk mengelak dari provokator yang berupaya menyusupi aksi tersebut.
- Baca juga: ETOS: Omnibus Law Cipta Kerja Pengalihan Isu Pilkada 2020
- Baca juga: UU Cipta Kerja, Kenapa DPR dan Presiden Malah Nyuruh ke MK
"Musuh utama para buruh dan polisi dalam aksi demo adalah para provokator dan penyusup serta pengacau. Ketika pihak ini perlu sama sama diperangi polisi dan para buruh dalam setiap melakukan demonstrasi," ucap Neta.[]