Pembuat Kasur Kapuk yang Bertahan di Yogyakarta

Cerita tentang seorang produsen sekaligus penjual kasur kapuk yang masih bertahan di antara kasur-kasur busa di Yogyakarta.
Nur Iswihayati, 55 tahun, penjual dan produsen kasur kapuk yang masih bertahan di Yogyakarta sedang mengatur bantal dan guling buatannya, Rabu, 2 September 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana).

Yogyakarta – Tumpukan kasur, bantal dan guling di ruang depan salah satu rumah di Jalan Mas Suharto, Yogyakarta. Sementara, seorang perempuan paruh baya duduk di depan tumpukan bantal dan guling yang tidak tertata rapi itu.

Sebagian rambut perempuan bernama Nur Iswihayati, 55 tahun, tampak memutih. Kerutan pun telah menghiasi sebagian wajahnya. Nur adalah pemilik toko kasur dan bantal berisi kapuk tersebut, yang saat ini tinggal satu-satunya di wilayah tersebut.

Beberapa tahun lalu, sebelum kasur busa dan springbed popular, kawasan itu dikenal sebagai sentra pembuatan dan penjualan kasur kapuk di Yogyakarta. Setidaknya ada 11 penjual dan perajin kasur di kawasan itu.

Namun seiring perkembangan zaman, sebagian besar pembuat kasur kapuk itu menutup usahanya.

Lalu lalang kendaraan yang melintas di depan rumah sekaligus lokasinya memroduksi dan menjual kasur, seolah tidak dihiraukan. Hanya sesekali dia menyapa beberapa tetangganya yang melintas dan melayani sepasang calon pembeli yang menanyakan harga bantal.

Disukai Orang Tua

Nur mengaku usahanya memroduksi dan menjual kasur kapuk adalah usaha warisan dari sang ayah. Ayahnya sudah 50 tahun lebih bisnis kasur, sementara dirinya melanjutkan baru sekitar 10 tahun.

Cerita Penjual Kasur Kapuk di Yogyakarta 2Nur Iswihayati, 55 tahun, mengatur bantal dan kasur jualannya, Rabu, 2 Septemnber 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana).

Saat ini penjualan kasur kapuk menurun sangat drastis jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Salah satu penyebabnya adalah sebagian generasi muda lebih menyukai tidur beralas kasur busa atau springbed.

Tapi tidak demikian halnya dengan orang-orang tua mereka, yang hingga saat ini masih menyukai tidur beralas kasur berisi kapuk.

Niki kan benten suasana. Lare sakniki nek mboten ngagem spon mboten purun, ceriose alergi. Padahal tiyang sepuh nek mboten ngagem kapuk mboten purun. (Sekarang kan beda suasananya. Anak sekarang kalau tidak pakai kasur busa, tidak mau, kata mereka alergi. Padahal orang-orang tua kalau tidak pakai kasur kapuk tidak mau). Karena alami kan kalau kapuk,” kata Nur memulai percakapan, Rabu, 2 September 2020.

Menurutnya, bantal dan kasur yang berisi kapuk lebih disukai oleh orang-orang tua karena lebih adem saat dipakai. Selain itu, banyak dari mereka yang merasa tidak terbiasa menggunakan kasur dan bantal dari busa, sebab terlalu empuk saat ditiduri, sehingga tubuh mereka merasa tidak nyaman.

Spon niku nek nggih sare ngguling mriko, ngguling mriki, dadine mboten remen. Nek lare sakniki kan harus modern. (Spon itu kalau untuk tidur seperti berguling ke sana ke mari, jadinya mereka tidak suka. Kalau anak sekarang mereka maunya yang modern.

Alasan kenyamanan membuat pelanggannya, yang mayoritas adalah orang-orang tua bersedia membayar lebih mahal jika dibandingkan harga kasur busa.

Nur menjelaskan, untuk satu bantal berukuran 40x60 sentimeter dengan kain bantal berkualitas biasa dirinya mematok harga Rp 45 ribu dan Rp 70 ribu untuk guling berbalut kain biasa. Sementara untuk kain yang bagus, Nur membanderol harga Rp 100 ribu untuk bantal dan Rp 150 ribu untuk guling.

Dalam kondisi normal dia bisa memroduksi hingga 50 bantal, sebab prosesnya kata dia cukup mudah, yakni memotong dan menjahit kain sesuai ukuran bantal. Setelah itu baru kapuknya dimasukkan.

“Kalau sudah jadi selongsongnya ya cepat. Kan tinggal memasukkan kapuk. Sehari bisa sampai 50 bantal,” ucap Nur.

Sedangkan untuk satu lembar kasur berukuran 80x200 sentimeter, dia menjualnya seharga Rp 450 ribu dan Rp 750 ribu, tergantung kualitas kain dan jumlah kapuk yang dimasukkan ke dalam kasur.

Dalam sehari Nur bisa memroduksi lima kasur kualitas biasa. Sementara untuk kasur kualitas bagus dia hanya bisa memroduksi satu lembar per hari.

“Kalau ukuran biasa, sehari bisa lima kasur, kalau yang padat cuma satu, karena isi kapuknya dua kali lipat, jadi harus dipadatkan. Tapi sekarang sudah jarang orang pesan atau beli kasur kapuk,” ujar Nur lagi.

Dia menambahkan, dulu dalam sebulan dia bisa meraup keuntungan hingga jutaan rupiah, namun saat ini pendapatannya menurun drastis. Sebab, dalam sebulan kadang hanya terjual satu kasur.

Cerita Penjual Kasur Kapuk di Yogyakarta 3Nur Iswihayati, 55 tahun, di balik tumpukan kasur dan bantal jualannya, Rabu, 2 September 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana).

“ Sekarang sebulan nggak tentu, kadang satu kasur, kalau bantal seminggu antar 10 sampai 15. Dulu sebulan itu bisa minimal 5 juta lebih. Pandemi ini paling cuma Rp 300 ribu.”

Kurangnya pembeli kasur kapuk, lanjut Nur, bukan hanya disebabkan oleh bergesernya selera masyarakat, tetapi juga disebabkan keawetan kasur-kasur kapuk buatannya. Satu kasur menurutnya bisa bertahan hingga 20 tahun.

Pemasaran Hingga Eropa

Meski tempatnya menjual terlihat sederhana, namun kasur dan bantal produksi Nur cukup dikenal. Bahkan beberapa pelanggannya merupakan warga negara asing, mulai dari Jepang hingga ke beberapa negara Eropa, seperti Kanada dan Swiss.

Para pembeli tersebut datang dari negaranya khusus untuk memesan kasur buatan Nur. Jumlah pesanannya pun terkadang mencapai puluhan set.

“Ada dari Kanada, Swiss, Jepang, tapi mintanya kainnya putih. Mungkin orang asing merasa nyaman kalau kainnya putih. Biasanya mereka datag ke sini, tapi dibawa ke sana pakai kapal atau apa saya nggak tahu,” ujar Nur.

Pelanggan dar luar negeri itu, lanjut Nur, hanya memesan kasur dan bantal yang berkualitas bagus, atau disebutnya dengan kasur padat.

“Biasanya pesan yang padat, mereka pesan sampai 35 set, tapi ukurannya lain-lain, tergantung ukuran bednya. Kadang mereka minta yang tipis tapi padat. Biasanya untuk duduk di kursi panjang.”

Khusus untuk pelanggan dari Jepang, biasanya mereka membeli sendiri kain pembungkus bantal, kemudian tinggal meminta untuk dijahitkan sesuai pesanan.

“Kalau jepang itu minta kainnya beli sendiri, nanti dibuatkan. Terus mintanya pakai benik (kancing). Mereka ingin tahu caranya membuat, orang Jepang itu ikut sampai jongkok-jongkok,” kata dia lagi.

Mengenai ketersediaan bahan baku kapuk, Nur mengaku dirinya tidak kesulitan. Dia membeli bahan baku di Pasar Beringharjo, Yogyakarta.

Sementara, Sutinah, 65 tahun, warga yang tinggal di sekitar tempat Nur menjual, mengaku dirinya lebih menyukai tidur beralas kasur kapuk. Sebab, selain lebih nyaman juga harganya lebih terjangkau jika dibandingkan dengan harga springbed.

“Lebih suka kasur kapuk soale nggak bisa tumbas (beli) springbed. Kasur kapuk kalau untuk tidur lebih enak. Kalau kasur busa sering ambles, nggak enak,” kata Sutinah. []

Berita terkait
Layangan Mataraman Berdayakan Warga di Yogyakarta
Seorang remaja di Yogyakarta memberdayakan tetangga di sekitarnya dengan memroduksi layang-layang bermotif khas Mataraman.
Mobil Internet Gratis untuk Anak di Yogyakarta
Seorang jurnalis di Yogyakarta berkolaborasi dengan komunitas Untuk Teman menyediakan internet gratis dan perpustakaan untuk anak.
Ada Sisa Asa di Hari Orang Hilang Internasional
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mencatat 44.000 orang hilang. Hampir setengah dari mereka masih berusia kanak-kanak saat menghilang.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.