Layangan Mataraman Berdayakan Warga di Yogyakarta

Seorang remaja di Yogyakarta memberdayakan tetangga di sekitarnya dengan memroduksi layang-layang bermotif khas Mataraman.
Sejumlah anak bermain layang-layang di tanggul Sungai Winongo, Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta – Beberapa bocah berdiri di tanggul tepi Sungai Winongo, Yogyakarta. Matahari siang yang cukup terik tak membuat mereka urung bermain. Masing-masing mereka membawa gulungan benang dan layang-layang kertas.

Di bawah mereka, sekitar dua atau tiga meter, aliran air Sungai Winongo gemericik. Rumpun bambu di sebelah barat sungai bergoyang ditiup angin siang. Suaranya berpadu dengan aliran air dan candaan anak-anak yang sedang bermain layang-layang.

Di pucuk ranting pepohonan terlihat beberapa layang-layang yang tersangkut. Sebagian sudah robek dan hanya tersisa sedikit kertas dan buluh rangkanya.

Tiba-tiba seorang anak berlari menuju undakan kea rah sungai. Rupanya layang-layang miliknya putus dan nyaris masuk ke dalam air. Beberapa rekannya terlihat menertawai anak itu. Beruntung layang-layangnya tidak masuk ke dalam air.

Motif Khas Mataraman

Meski layang-layang merupakan permainan yang bisa dikatakan tradisional, permainan ini tetap menjadi salah satu permainan popular di kalangan anak-anak, bahkan hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Bahkan saat sebagian anak kecanduan bermain permainan online dari gawai mereka.

Terlebih saat anak-anak ini mulai merasa jenuh ketika harus belajar di rumah akibat pandemi Covid-19. Setelah berbulan-bulan lamanya mereka harus berada di rumah, bermain layang-layang menjadi hal yang mampu melampiaskan energi mereka yang tersimpan.

Ya, bermain layang-layang. Dulunya, layang-layang menjadi permainan yang kerap dimainkan di sore hari, apalagi di masa liburan sekolah banyak anak-anak yang memainkannya.

Bukan hanya di kawasan bantaran Sungai Winongo, langit di sejumlah tempat di Yogyakarta pun, beberapa waktu terakhir dihiasi dengan puluhan layang-layang berbagai bentuk dan ukuran. Ada karakter kartun dan ada yang mengkreasikannya menjadi gambar-gambar hantu khas Indonesia, yakni kuntilanak dan pocong.

Doni Ardiansyah, 9 tahun ini, mengaku hampir tiap sore dirinya bersama teman-temannya pergi ke area persawahan di kawasan Purwomartani, Kalasan, Sleman dengan membawa layang-layang. Tujuannya, mencari tempat lapang untuk menerbangkan layang-layangnya.

“Kalau di dekat rumah banyak kabel-kabel,” kata Doni, beberapa waktu lalu.

Cerita Layangan Yogyakarta 1Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi (kiri) bersama salah satu pembuat layang-layang Aditya Pradana di kediamannya di kawasan RW 09, Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. (Foto: Tagar/Gading Persada).

Doni mengaku layang-layang yang diterbangkannya buatannya sendiri. Bentuk layang-layangnya saat itu yang diterbangkannya menyerupai ikan.

Biasanya kalau sudah tidak terlalu panas cuacanya saya sama teman-teman mulai main layang-layang hingga menjelang Magrib.

Musim layang-layang dimanfaatkan oleh seorang remaja warga RW 09, Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Dia memroduksi layang-layang untuk dijual.

“Saya memproduksi layang-layang bersama teman-teman sepermainan yang sama-sama suka layang-layang. Kami ada di grub Daengan Kite Fighter yang baru kami dirikan sejak satu bulan terakhir ini,” papar Aditya, Minggu, 30 Agustus 2020.

“Saat ini pas musim panas, anak-anak juga butuh hiburan di masa pandemi. Nah, kebetulan, stok layangan di Yogyakarta itu kemarin sempat habis. Makanya, sejak awal bulan Juli, saya coba produksi layangan sendiri.”

Tak sekadar membuat layang-layang, Aditya dan beberapa rekannya memberikan sentuhan khas pada layang-layang produksinya.

Untuk memberi penanda dan ciri pada layang-layang hasil karyanya, dipilihlah gaya Mataraman khas Yogyakarta. Dia mengatakan, setiap motif yang digoreskannya terdapat filosofi, termasuk motif kalungan dan jalak uren  yang menggambarkan prajurit kraton.

Meski punya kekhasan, Aditya tak mematok harga mahal layang-layang produksinya. Dia hanya membanderol dengan harga Rp 2.500, hingga Rp 8.000 menyesuaikan jenis dan ukurannya. Aditya pun mengaku, dalam kurun waktu satu bulan terakhir, Daengan Kite Fighter telah memproduksi lebih dari 5.000 layang-layang.

“Pembelinya tidak hanya dari Yogyakarta saja, tapi akhir-akhir ini banyak juga yang pesan dari luar kota. Tentunya bersyukur, bisa menghasilkan,” kata dia.

Berdayakan Tetangga

Aditya menjelaskan proses pembuatan layang-layang secara detail. Menurutnya, bahan-bahan yang diperlukan hanya sebilah bambu tipis dengan lebar kurang lebih 1 cm sepanjang sekitar 60-80 cm. Kemudian untuk lebar layangan menggunakan sebilah bambu tipis dengan lebar sekitar 1 cm serta panjang kurang lebih 40-50 cm.

Cerita Layang layang di Yogyakarta 2Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi (kanan) berdialog dengan ibu-ibu yang memproduksi layang-layang di kawasan RW 09, Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, Minggu, 30 Agustus 2020. (Foto: Tagar/Gading Persada).

“Sediakan juga kertas minyak dengan ukuran sama yang kiranya cukup dengan ukuran bambu, spidol, gunting, meteran, isolasi, pita gulung yang tebal serta benang atau tali tipis,” sebutnya.

Selanjutnya, letakkan kedua bilah bambu dalam posisi menyilang, yakni dengan titik temu pada sepertiga bambu yang paling panjang. Ikat keduanya dengan benang atau tali tipis.

 Setelah itu ikat dan kaitkan keempat ujung bambu tadi memakai tali atau benang hingga rangka layang-layang berbentuk wajik seperti bentuk layangan pada umumnya. JIka rangka sudah selesai, lantas tempatkan rangka itu di atas kertas minyak.

“Supaya lebih aman, berikan jarak kurang lebih 2, 5 cm dari ukuran aslinya. Potong kertas itu dengan menggunakan gunting sesuai sama garis yang sudah dibuat. Bila sudah, rekatkan kertas itu ke rangka dengan memakai isolasi. Jangan lupa, lebar sisa kertasnya dibalik terlebih dulu hingga yang diisolasi yaitu sisi belakangnya,” cerita Aditya.

Ketika, lanjut dia, jika dibutuhkan, kertas koran atau pita dapat dipakai untuk dijadikan ekor. Tidak hanya untuk memperindah, kertas koran sisa atau pita ini ternyata juga berperan menyeimbangkan layang-layang saat nanti diterbangkan. 

 “Bermain layang-layang pada dasarnya membutuhkan 3 hal yaitu alat utama, lapangan yang cukup atau teras bermain, serta fisik yang sehat dikala sore datang. Bermainlah di lapangan atau teras rumah. Jangan lupa membawa topi agar tidak panas, bermain saat sore hari agar angin tidak terlalu kencang. Semakin panjang benang layang-layang akan semakin baik karena layang-layang bisa terbang makin tinggi serta mendapatkan angin yang cukup untuk tetap terbang. Namun berhatilah-hatilah ketika menggulungnya, karena jika tidak dilakukan dengan benar maka benang kalian akan kusut,” pesan Aditya.

Cerita Layang-layang di Yogyakarta 3Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi bersama pengrajin layang-layang Aditya Pradana dan sejumlah anak-anak membawa layang-layang produksi rumahan di kawasan RW 09, Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. (Foto: Tagar/Gading Persada).

Untuk mendongkrak proses produksi, Aditya tidak bekerja seorang diri. Dilibatkannyalah warga-warga di sekitar tempat tinggalnya. Sedikitnya 15 ibu rumah tangga di lingkungan RW 09 Gedongkiwo diberdayakan dalam proses pembuatan layang-layang ini, sekaligus menjadi upaya memulihkan kondisi ekonomi masyarakat sekitarnya.

  “Ada yang dikerjakan langsung di rumah produksi, tetapi ada juga yang dibawa pulang. Misalnya, kalau yang hanya ngelem, itu saya perbolehkan untuk dikerjakan di rumah masing-masing,” ucapnya.

Kegiatan Adit memberdayakan warga tersebut terdengar hingga telinga Wakil Wali Kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi. 

Heroe mendatangi langsung rumah produksi Daengan Kite Fighter. Dia mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Aditya Pradana dan kawan-kawan. Terlebih, usaha produksinya itu mampu melibatkan para tetangganya.

“Industri kreatif layang-layang yang diproduksi Mas Adit ini kan sudah masuk kategori pemberdayaan masyarakat ya, dengan turut menggandeng Ibu-ibu di lingkungannya, untuk proses produksi,” kata Heroe.

Menurutnya, kegiatan semacam ini merupakan respon yang baik dari kalangan warga, dalam menyikapi situasi pandemi Covid-19. Sebab, selain menggerakkan ekonomi, mainan yang terbuat dari bambu, kertas dan benang itu memberikan alternatif hiburan.

“Karena itu, industri rumah tangga seperti ini harus bisa dikembangkan. Tentu kita dorong, serta promosikan, agar di Yogya makin banyak industri kreatif yang berbasis kegiatan masyarakat,” ujarnya lagi. []

Berita terkait
Kerlip Lampu Layang-layang Malam di Bantaeng
Sejumlah penggemar layang-layang di Kabupaten Bantaeng berinovasi dengan menambahkan lampu pada layang-layang mereka, dan menerbangkan malam hari.
50 Tahun Merakit Bilah Buluh Jadi Layangan di Kudus
Seorang lansia di Kabupaten Kudus mengisahkan tentang pekerjaannya sebagai perajin layang-layang, yang ditekuninya sejak 50 tahun lalu.
Kisah Masjid Keramat Dicurigai Belanda di Aceh
Sekali waktu, warga hendak menghancurkan sebagian bangunan masjid untuk perombakan, katanya, gagal. Konon, beton masjid tidak hancur sama sekali.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.