Jakarta - Pemerintah sedang menggenjot pembangunan infrastruktur untuk mendorong pemerataan ekonomi. Namun, keterbatasan anggaran membuat pemerintah tidak bisa mendanai seluruh proyek infrastruktur. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan pembiayaan inovatif salah satunya kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) baik badan usaha swasta dan BUMN. Namun menurut pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah, sulit mengharapkan peran swasta dan BUMN mengingat kondisi likuiditas di Indonesia yang ketat.
"Itu persoalan besar dalam sistem keuangan yang menyebabkan peran swasta tidak mudah termasuk juga BUMN," katanya dalam diskusi membedah pembiayaan infrastruktur tanpa APBN di Jakarta, Kamis, 14 November 2019.
Menurutnya, likuiditas yang ketat diwarnai dengan dana masyarakat yang banyak terserap dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan dari pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN). Direktur Riset Core Indonesia itu mengutip data dari Bank Dunia yang menyebutkan karena ketatnya likuditas di Indonesia mengakibatkan rasio jumlah uang terhadap ukuran ekonomi (M2/GDP) selama 2014-2019 mencapai kisaran 39-40. Padahal, angka minimal likuiditas mencapai 100.
"Jumlah itu, masih kalah dibandingkan negara tetangga yakni Malaysia, Thailand dan Singapura yang berada di atas 100, sedangkan Jepang dan China berada di atas 200," kata Piter seperti diberitakan dari Antara, Kamis, 14 Oktober 2019.
Piter mengatakan likuiditas yang ketat itu menyebabkan tingkat suku bunga menjadi mahal dan cenderung kaku meskipun Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan. "Ini hukum permintaan dan penawaran, begitu likuiditas ketat, langka maka suku bunga mahal. Swasta mau investasi tapi tidak mampu," katanya. Ia mengharapkan likuditas yang ketat tersebut dapat diselesaikan karena selama belum berubah dan suku bunga kredit tinggi, maka peran swasta dalam mendukung pembangunan infrastruktur menjadi terhambat.
Anggaran Infrastruktur
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebutkan selama lima tahun mendatang, pemerintah akan mempercepat pembangunan 60 bendungan, 500 ribu daerah irigasi baru, 1.000 embung, 2.500 kilometer tol dan 35 kilometer jalan layang atau underpass. Selain itu, 10 juta sambungan rumah untuk air minum dan 50 ribu unit rumah susun.
Total anggaran kebutuhan infrastruktur 2020-2024 diperkirakan mencapai Rp 2.058 triliun. Data dari Kementeriann PUPR, infrastruktur yang akan dibangun itu rinciannya di antaranya proyek sumber daya air sebesar Rp 577 triliun, jalan dan jembatan Rp 573 triliun, permukiman Rp 125 triliun dan sektor perumahan sebesar Rp 780 triliun.
Namun, total anggaran yang bisa dipenuhi APBN hanya sekitar 30 persen atau mencapai Rp 623 triliun. Untuk itu, pemerintah menggenjot sumber pembiayaan inovatif salah satunya melibatkan swasta dalam skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).[]
- Baca Juga: OJK Terus Menggali Pembiayaan Infrastruktur dari Pasar Modal
- Pengusaha Papua Diminta Dukung Perpres Infrastruktur