Pelanggan Gerai Kopi Jadi Korban Kepuasan Seksual

Karyawan gerai kopi yang mengintip payu dara pelanggan adalah parafila, disebut voyeurisme, sebagai pendorong hasrat seksual untuk kepuasan seksual
Ilustrasi. (Foto: nuriajorba.com).

Ulah kalangan parafilia yaitu orang-orang yang menyalurkan dorongan seksual dengan cara yang lain, seperti mempertunjukkan alat kelamin dan melakukan onani (eksibisionisme), menyetubuhi bayi umur 0-7 tahun (infantofilia), seks dengan anak-anak, laki-laki atau perempuan, umur 7-12 tahun tanpa kekerasan dan bukan pelacuran (pedofilia), seks dengan mayat (nekrofilia), seks dengan binatang (bestialis), dll.

Sedangkan karyawan gerai kopi di Jakarta Utara yang memakai jaringan CCTV untuk melihat bagian-bagian tubuh lawan jenis yang sama sekali tidak dikenal dengan cara yang tidak diketahui objek juga termasuk parafilia, dalam kaitan ini disebut voyeurisme. Orang-orang yang masuk kategori voyeurisme disebut sebagai voyeur atau Peeping Tom.

Voyeur memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip bagian-bagian badan lawan jenis. Bisa juga menonton dengan cara mengintip aktivitas seksual pasangan, yang justru tidak dikenal, dan mereka tidak akan pernah akan menjalin kontak dengan korban. Dalam prakteknya voyeur memilih cara-cara yang lain untuk merangsang dorongan seksualnya, seperti mengintip lawan jenis yang sedang telanjang, ganti pakaian, mandi, bahkan mengintip pasangan yang sedang melakukan hubungan seksual.

Agaknya, laki-laki yang sering duduk atau nongkrong di bawah jembatan atau tangga juga merupakan kegiatan voyeurisme atau menunggu angin meniup rok perempuan. Yang lain mengintip lawan jenis di toilet.

1. Si Voyeur Bisa Jadi Mengintip Sambil Onani

Voyeur memperoleh kepuasan seksual ketika mengintip. secara langsung melalui lubang kunci, lubang di dinding atau celah dinding dan sekarang melalui perangkat video, seperti CCTV, serta teropong. Karyawan atau pegawai di kantor-kantor bertingkat ada saja yang menyimpan teropong di laci mejanya. Jika kantor dengan dengan sungai atau tempat pemandian itu jadi santapan voyeur dengan teropong. Bisa juga mengeker ke kantor atau apartemen sekitarnya.

Celakanya, ada juga orang yang justru terangsang kalau diintip orang lain sedang bercumbu atau melakukan hubungan seksual yang disebut eksebisionisme. Mereka bercumbu di teras atau kamar dengan jendela terbuka yang pakai tirai tipis. Tampaknya, jadi cocok, nih. Yang satu mencari sasaran untuk diintip sedangkan yang jadi sasaran untuk diintip justru ingin diintip.

Di lokalisasi pelacuran atau tempat-tempat yang menyediakan kamar untuk hubungan seksual ada pula lubang khusus bagi kalangan voyeur untuk mengintip pasangan yang sedang melakukan hubungan seksual. Si Voyeur mengintip sambil melakukan onani. Tapi, jangan berpikir memakai lubang itu gratis. Ada tarif khusus bagi voyeur untuk memakai lubang tsb. Soalnya, pasangan yang sedang melakukan hubungan seksual tentu saja tidak mau diintip orang lain.

Ketika sedang mengintip ‘tukang keten’ (bahasa slang di Medan, Sumut, dengan makna tukang intip) bisa saja sambil melakukan onani atau masturbasi karena dengan mengintip dorongan seksual voyeur muncul yang dieksekusi dengan onani atau masturbasi.

Yang jelas Si Voyeur tidak mengintip orang yang dia kenal, tapi orang yang justru tidak mereka kenal sama sekali. Dengan tidak mengenal objek Si Voyeur bisa melancarkan fantasi seksual sebagai pemicu untuk menimbulkan hasrat seksual. Mereka juga akan memilih objek yang sesuai dengan fantasi seks mereka. Itulah sebabnya seperti yang dilakukan oleh karyawan gerai kopi itu bisa jadi sudah banyak pengunjung yang jadi korban sebagai objek yang mereka intip bagian-bagian tubuh tertentu.

2. Wartawan dan Polisi Bisa Jadi “The Second Vouyerism”

Karena voyeur ingin mendorong rangsangan seksual maka mereka akan memilih objek yang sesuai dengan fantasi seksual mereka. Maka, tidak ada kaitan langsung antara cara berpakaian calon objek karena biar pun badan atau tubuh tertutup dengan karung sekalipun Si Voyeur akan memanfaatkan lekuk tubuh atau membuat fantasi tentang lekuk tubuh calon objek. Soalnya, patokan Si Voyeur adalah fantasi seksual melalui bagian-bagian tubuh.

Perilaku Si Voyeur sama sekali tidak ada kaitannya dengan cara berpakaian calon korban karena biar pun tubuh tertutup mereka bisa melancarkan aksi dengan fantasi seksual. Maka, sangat disayangkan ada saja orang yang menyalahkan korban. Dari aspek pidana bisa saja orang yang menyalahkan korban dikategorikan sebagai orang yang membantu pelaku melancarkan aksinya.

Maka, orang-orang yang membela Si Voyeur dengan mengatakan karena cara berpakain korban tidak relevan, bahkan orang-orang ini bisa diketagorikan sebagai pihak yang membantu kejahatan seksual yang dilakukan Si Voyeur.

Maka, media massa dan media online yang membeberkan proses kejahatan seksual Si Voyeur termasuk sebagai pihak yang juga melakukan kejahatan seksual pada tahap kedua atau the second vouyerism. Begitu juga dengan pihak kepolisian jika membeberkan cara-cara yang dilakukan Si Voeyur secara vulgar itu juga sebagai the second voeyourism.

Sebaiknya polisi tidak memberikan ‘panggung’ untuk pelaku kejahatan, dalam hal ini kejahatan seksual voeyour untuk membela diri. Jika Si Voeyur mengatakan terangsang karena cara berpakaian korban, tapi realtias sosial menunjukan di social settings jutaan orang tidak melakukan hal itu. Itu artinya masalah bukan pada korban dan cara berpakaiannya, tapi persoalan psikologis ada pada Si Voeyur.

3. Foto dan Video Bisa Dijual karena Ada Juga Peminatnya

Perilaku Si Voyeur sudah termasuk kejahatan seksual tidak hanya sebatas pelecehan seksual karena korban mereka jadikan objek pemuas fantasi seksual mereka. Pemilik gerai tidak cukup hanya dengan meminta maaf karena tempatnya dijadikan oleh karyawan sebagai ‘ladang pembantaian’ pemuas fantasi seksual melakukan perilaku voeyurisme. Korban menderita seumur hidup karena foto atau video bagian tubuhnya tersebar luas di media sosial.

Bisa jadi korban Si Voyeur seperti fenomena gunung es. Kasus yang terbongkar sejauh ini baru satu, tapi bisa saja banyak kasus yang tidak dilaporkan ke polisi dengan berbagai alasan, seperi malu, dll.

Maka, pengelola hotel, mal, bioskop, gerai kopi, café, diskotek, karaoke, dll. yang memantau kegiatan dan tamu dengan perangkat CCTV diharapkan melakukan pengawasan yang ketat terhadap operator CCTV.

Dikabarkan polisi telah menangkap dua pelaku, 2 Juli 2020, mantan karyawan “Starbuck” yang melakukan pengintipan dengan kamera CCTV di gerai kopi “Starbuck” Jakarta Utara. Diharapkan polisi bisa membongkar kasus ini karena bisa sebagai jaringan perdagangan foto dan video bagian-bagian tubuh, dalam hal ini perempuan, yang juga tren di kalangan parafilia.

Soalnya, foto dan video dalam berbagai kegiatan dan kondisi bisa saja dijual di pasar gelap karena tidak sedikit parafilia yang juga terangsang dengan melihat foto dan video bagian-bagian tubuh lawan jenis. Ini jelas perbuatan kriminal yang bisa dijerat dengan KUHP dan UU ITE dengan sanksi kurungan penjara. Hal yang sama bisa diterapkan kepada orang-orang yang menyalahkan korban karena membantu atau mendukung perbuatan kriminal Si Voyeur.

Perilaku parafilia voeyourisme tidak akan pernah selesai jika kita hanya pada tahap menyalahkan korban, sementara polisi serta media memberikan panggung bagi Si Voyeur sebagai tempat membela diri, misalnya dengan mengatakan: “Saya terangsang karena pakainnya minim.” …. dst. Padahal, otak Si Voyeur memang sudah dipenuhi dengan nafsu voyurisme (dari berbagai sumber). *

Berita terkait
Reynhard Sinaga Sebagai Seorang Parafilia Predator
Reynhard Sinaga dihukum seumur hidup di Inggris karena melakukan 136 perkosaan terhadap laki-laki yang tidak sadarkan diri dan merekam perkosaan
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.