Partisipasi Warga Tanggulangi Covid-19 Sangat Rendah

Pandemi Covid-19 hanya bisa dihadang dengan vaksin, karena vaksin belum ada maka partisipasi masyarakat bisa jadi ‘vaksin’ untuk hadang laju virus
Peziarah Syiah memakai topeng di luar tempat suci Imam Ali di Najaf, Irak. (Foto: euronews.com/Ammar Khalil/AP Foto).

Wabah virus corona baru (Covid-19) terus berkecamuk di hampir semua negara di dunia. Jumlah kasus secara global sudah menembus angka 3 juta. Amerika Serikat ada di puncak pandemi dengan kasus lebih dari 1 juta. Yang bisa menghadang wabah ini hanya vaksin, tapi karena vaksin Covid-19 belum ada maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus.

Beberapa negara menerapkan lockdown atau penguncian negara sehingga tidak ada pergerakan warga secara bebas. Ini merupakan bagian dari langkah untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Terkurung di rumah dan di apartemen di beberapa negara justru memunculkan solidaritas antar warga.

1. Terlambat Melakukan Tes Massal Covid-19

Selain karena penegakan hukum yang tegas penguncian bisa berjalan dengan baik di beberapa negara karena kesadaran warga yang tinggi untuk ikut aktif memerangi penyebaran virus. Ini terjadi di beberapa negara di Eropa.

Baca juga: Covid-19 Jalin Solidaritas Dunia Bagaimana Indonesia

Setelah otoritas China mengatakan bahwa Covid-19 bisa menular dari manusia ke manusia beberapa negara ambil langkah penanggulangan yaitu dengan penguncian. Tapi, tetap tidak bisa menghadang penyebaran virus karena dilakukan setelah terjadi pandemi sehingga virus sudah menyebar di masyarakat.

Langkah Korea Selatan (Korsel) yang melakukan tes spesimen swab dengan PCR hanya tiga hari setelah China mengumumkan diagnosis virus corona pertama tanggal 31 Desember 2019. Korsel menjalankan tes massal sejak tanggal 2 Januari 2020, padahal kasus pertama di Korsel baru terdeteksi tanggal 20 Januari 2020 pada seorang jemaat rumah ibadat. Belakangan tes menunjukkan 200 anggota jemaat rumah ibadah itu positif Covid-19.

Negara-negara yang melakukan penguncian disebut kalangan ahli terlambat karena mereka tidak menjalankan tes massal sejak awal. Itu sebabnya di negara yang melakukan penguncian pun kasus baru terus terdeteksi.

2. Tracing Kalah Cepat dengan Penyebaran Virus

Hal yang sama terjadi di Amerika Serikat (AS). Ketika kasus Covid-19 sudah terdeteksi di beberapa negara bagian tapi kalangan milenial Negeri Paman Sam itu tetap melakukan berbagai kegiatan yang berkerumun, seperti mandi-mandi di pantai, yang merupakan kegiatan yang berisiko terjadi penularan Covid-19. Kalangan ahli juga menyebut AS terlambat melakukan tes massal sehingga tidak mengherankan kalau kasus Covid-19 di AS sekarang tembus angka 1 juta.

Itu artinya warga AS tidak mendukung langkah-langkah pencegahan, tapi sebaliknya memberikan peluang bagi virus untuk menulari orang lain. Ini hal yang logis karena terjadi kontak antar manusia dengan yang mengidap Covid-19 bahkan tanpa gejala.

Salah satu peran serta masyarakat yang sangat berguna untuk menghambat atau menurunkan intensitas penyebaran virus adalah kesediaan untuk menghubungi fasilitas kesehatan jika pernah kontak dengan warga yang positif Covid-19.

ilus2 opini 29 apr 20Kecepatan penyebaran Covid-19 di masyarakat dibandingkan dengan tracing. (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap).

Soalnya, ketika seorang warga terdeteksi positif Covid-19 dilakukan tracing terhadap orang-orang pernah kontak. Tapi, tracing kalah cepat dengan penyebaran virus melalui kontak antar manusia dalam berbagai kegiatan sosial di masyarakat.

Baca juga: Memutus Covid-19 Hanya dengan Peran Serta Masyarakat

Dalam kaitan inilah peran serta masyarakat diperlukan agar tracing benar-benar berjalan dan rantai penyebaran virus bisa dilacak untuk seterusnya jalani tes. Hal yang terjadi bagi warga yang mudik atau berkunjung ke daerah lain yang diminta untuk melakukan isolasi selama 14 hari sesuai dengan masa inkubasi Covid-19.

3. Kaitkan Covid-19 dengan Maksiat

Keluhan puluhan warga Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tidak bisa tertahan di Pelabuhan Sape, Nusa Tenggara Barat (NTB) karena NTT melarang kapal berlabuh di semua pelabuhan menunjukkan pemahaman yang sangat rendah terhadap penyebaran Covid-19. Warga itu mengatakan bahwa mereka ingin pulang ke kampung halaman bukan mau bawa penyakit, seperti dilansir sebuah media online, 27 April 2020.

Persoalannya mereka berasal dari daerah yang ada kasus Covid-19 sehingga diperlukan isolasi karena bisa saja mereka merupakan OTG (Orang Tanpa Gejala) yaitu orang-orang yang tertular Covid-19 tapi tidak menunjukkan gejala atau keluhan kesehatan. Hanya saja yang dilakukan terhadap mereka bulan isolasi, tapi penghadangan oleh Pemprov NTT dengan tidak memberikan izin berlabuh bagi kapal di semua pelabuhan di NTT.

Ketika kasus pertama Covid-19 diumumkan ada informasi yang disebarkan yang sebenarnya tidak terkait dengan penularan virus yaitu tentang kegiatan warga yang tertular virus dengan menyebut penularan terjadi di lantai dansa. Ini menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang Covid-19 karena tidak ada kaitan antara (lantai) dansa dengan penularan Covid-19.

Baca juga: Stigma Covid-19 Kita Tidak Belajar dari Pengalaman

Informasi itu juga mendorong stigma (cap buruk) terhadap orang-orang yang terdeteksi Covid-19, bahkan terhadap keluarga serta tenaga medis yang merawat pasien Covid-19. Mitos dan stigma tanpa kental ketika spanduk yang mengaitkan Covid-19 dengan maksiat. Ini bisa jadi muncul karena penyebutan dansa yang bagi sebagian orang identik dengan maksiat.

Maka, kegiatan berkumpul untuk berbagai keperluan tetap terjadi di sekitar kita karena hal itu bukan maksiat. Imbauan pemerintah dan kalangan ahli agar tidak berkumpul tidak diindahkan sebagian warga karena hal bukan kegiatan maksiat. []

Berita terkait
Apakah Indonesia Akan Jadi Episentrum Covid-19 ASEAN
Jika berkaca ke AS yang sejak 27 Maret 2020 jadi episentrum baru penyebaran Covid-19 bisa jadi Indonesia terancam jadi episentrum di ASEAN
Indonesia Potensial Jadi Episentrum Covid-19 ASEAN
Covid-19 di Indonesia terus bertambah seiring dengan tes Covid-19, pertambahan kasus yang pesat Indonesia bisa jadi episentrum Covid-19 di ASEAN
Jakarta Bisa Jadi Episentrum Corona di Indonesia
Salah satu langkah yang konkret untuk mengatasi penyebaran virus corona (Covid-19) adalah tes Covid-19 yang sistematis terhadap warga